Kendati sama-sama mengatur proses pembelajaran, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 103 Tahun 2014 berbeda dengan Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 dalam hal penyebutan metode pembelajaran inquiry dan discovery. Pada Permendikbud
Nomor 103 Tahun 2014 keduanya disebutkan secara eksplisit terpisah, Discovery Learning dan Inquiry Learning. Namun dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, keduanya disebut secara bersamaan sebagai berikut:
”Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar-matapelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/
penelitian(discovery/inquiry learning).”
Jika dibandingkan penyebutannya, dalam buku-buku teks (misalnya Sutman et.al., 2010) dan tulisan-tulisan di jurnal terbitan luar negeri menuliskannya persis terbalik, yakni inquiry/discovery atau penelitian/ penyingkapan. Mengapa? Dalam Webster’s Collegiate Dictionary inquiry didefinisikan sebagai “bertanya tentang” atau “mencari informasi dengan cara bertanya”, sedangkan dalam kamus American Heritage, discovery disebut sebagai “tindakan menemukan”, atau “sesuatu yang ditemukan lewat suatu tindakan”. Jadi, pembelajaran ini memiliki dua proses utama. Pertama, melibatkan siswa dalam mengajukan atau merumuskan pertanyaan-pertanyaan (to inquire), dan kedua, siswa menyingkap, menemukan (to discover) jawaban atas pertanyaan mereka melalui serangkaian kegiatan penyelidikan dan kegiatan-kegiatan sejenis (Sutman, et.al., 2008:x). Dalam kegiatan ini siswa memperoleh pengalaman berharga dalam praksis keilmuan seperti proses mengamati, mengumpulkan data, menganalisis hasil, dan menarik simpulan.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa penggunaan terma inquiry/discovery - bukan discovery/inquiry - dipandang sebagai catatan pengingat bagi guru untuk selalu meningkatkan keterlibatan siswa pada kedua proses tersebut secara saling melengkapi. Kegiatan ini dimulai dari merumuskan pertanyaan (inquiry) dan dilanjutkan dengan kegiatan menemukan atau menyingkap jawaban (discovery).
Nomor 103 Tahun 2014 keduanya disebutkan secara eksplisit terpisah, Discovery Learning dan Inquiry Learning. Namun dalam Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016, keduanya disebut secara bersamaan sebagai berikut:
”Untuk memperkuat pendekatan ilmiah (scientific), tematik terpadu (tematik antar-matapelajaran), dan tematik (dalam suatu mata pelajaran) perlu diterapkan pembelajaran berbasis penyingkapan/
penelitian(discovery/inquiry learning).”
Jika dibandingkan penyebutannya, dalam buku-buku teks (misalnya Sutman et.al., 2010) dan tulisan-tulisan di jurnal terbitan luar negeri menuliskannya persis terbalik, yakni inquiry/discovery atau penelitian/ penyingkapan. Mengapa? Dalam Webster’s Collegiate Dictionary inquiry didefinisikan sebagai “bertanya tentang” atau “mencari informasi dengan cara bertanya”, sedangkan dalam kamus American Heritage, discovery disebut sebagai “tindakan menemukan”, atau “sesuatu yang ditemukan lewat suatu tindakan”. Jadi, pembelajaran ini memiliki dua proses utama. Pertama, melibatkan siswa dalam mengajukan atau merumuskan pertanyaan-pertanyaan (to inquire), dan kedua, siswa menyingkap, menemukan (to discover) jawaban atas pertanyaan mereka melalui serangkaian kegiatan penyelidikan dan kegiatan-kegiatan sejenis (Sutman, et.al., 2008:x). Dalam kegiatan ini siswa memperoleh pengalaman berharga dalam praksis keilmuan seperti proses mengamati, mengumpulkan data, menganalisis hasil, dan menarik simpulan.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa penggunaan terma inquiry/discovery - bukan discovery/inquiry - dipandang sebagai catatan pengingat bagi guru untuk selalu meningkatkan keterlibatan siswa pada kedua proses tersebut secara saling melengkapi. Kegiatan ini dimulai dari merumuskan pertanyaan (inquiry) dan dilanjutkan dengan kegiatan menemukan atau menyingkap jawaban (discovery).