Shahabat muslim yang dimuliakan Allāh Subḥānahu wa Ta’ālā, sesungguhnya Allāh Ta’ālā memiliki daerah terlarang yang tidak boleh dimasuki oleh seorang muslim. Daerah larangan Allāh tersebut adalah berbagai macam perkara yang Allāh haramkan untuk dilakukan oleh seorang hamba. Barangsiapa yang bersengaja memasuki daerah larangan Allāh tersebut, yakni semua hal yang telah Allāh haramkan bagi manusia, maka dia akan mendapatkan dosa. Namun, tidak semua orang yang meninggalkan hal-hal yang Allāh larang otomatis akan mendapatkan pahala. Mengapa demikian?
Tiga Golongan Manusia Dalam Meninggalkan Larangan Allāh
Allāh Subḥānahu wa Ta’ālā berfirman,
مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا وَمَنْ جَاءَ بِالسَّيِّئَةِ فَلَا يُجْزَى إِلَّا مِثْلَهَا وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ“Barangsiapa mengerjakan kebajikan, dia berhak mendapat sepuluh kebaikan. Dan barangsiapa mengerjakan keburukan, dia tidaklah dibalas kecuali dengan keburukan yang semisal. Dan mereka tidaklah diẓalimi”(Q.S. Al An’ām : 160)
Al-Hāfiẓ Ibnu Kaṡīr raḥimahullāh berkata ketika menafsirkan ayat ini,
“Ketahuilah bahwa orang yang meninggalkan suatu keburukan yang tidak dia kerjakan, ada tiga jenis :
1. Orang yang meninggalkannya karena Allāh. Maka, dicatat baginya ganjaran kebaikan karena telah menahan dirinya karena Allāh dari bermaksiat kepada-Nya. Ini adalah perbuatan yang disertai niat (yakni niat karena Allāh). Oleh karena itulah, orang tersebut berhak mendapat ganjaran kebaikan. Hal ini sebagaimana dalam sebuah hadits yang ṣahīh :
فإنه تركها من جرائي“Karena sesungguhnya dia meninggalkan perbuatan jelek tersebut karena diri-Ku”
2. Orang yang tidak melakukan keburukan karena lupa dan lalai. Maka, orang jenis ini tidak diganjar dengan kebaikan dan tidak dicatat dosa untuknya karena dia tidak punya niat melakukan kebaikan (yaitu meninggalkan hal yang haram karena Allāh) dan dia tidak melakukan hal yang buruk.
3. Orang yang tidak melakukan keburukan karena tidak bisa melakukannya atau karena malas, setelah dia mencurahkan usaha untuk mengerjakan perbuatan buruk yang ia niatkan tersebut serta berupaya untuk melakukan hal-hal yang dapat mewujudkan perbuatan buruknya tersebut. Orang seperti ini sama saja statusnya dengan orang yang mengerjakannya (yakni sama-sama berdosa)” (dinukil dari Fath-ul Qāwiy Al Matin, hal. 126-127)
Dari keterangan Ibnu Kaṡīr rāhimahullāh di atas, kita ketahui bahwa manusia dalam meninggalkan hal yang Allāh haramkan terbagi dalam tiga jenis :
1. Orang yang meninggalkan hal yang haram karena Allāh. Orang ini akan diberikan ganjaran kebaikan karena niatnya tersebut.
- Contoh : Seorang mahasiswa sedang berjalan menuju kampus hendak kuliah. Di jalan, tak terduga di depannya ada seorang wanita yang sedang berjalan dengan pakaian yang tidak baik. Ia pun segera menundukkan pandangannya karena di dalam hatinya dia teringat akan firman Allāh Ta’ālā :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, hendaknya mereka menundukkan pandangan mereka dan menjaga kemaluan mereka. Itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allāh Maha Teliti terhadap apa yang mereka perbuat”(QS. An-Nūr : 30)
- Maka, mahasiswa yang beriman tersebut berhak mendapat pahala karena meninggalkan keburukan dengan sebab Allāh Ta’ālā.
2. Orang yang tidak mengerjakan keburukan karena dirinya memang tidak terpikir untuk berbuat hal yang haram sehingga dia pun tidak mengerjakan keburukan.
- Contoh : Seorang mahasiswa tugas akhir yang sedang sibuk penelitian, mulai dari pagi hingga sore dia berada di laboratorium untuk eksperimen. Dalam benaknya sama sekali tidak ada pikiran untuk meminum khamr karena kesibukan yang melanda dirinya. Maka, mahasiswa yang sibuk ini tidaklah diganjar pahala meninggalkan hal yang Allāh haramkan karena dia tidak memiliki niat meninggalkan perbuatan tersebut karena Allāh dan tidak pula berdosa karena dia memang tidak minum khamr.
3. Orang yang tidak mengerjakan keburukan karena tidak mampu melakukannya, padahal dia sudah berusaha. Maka orang seperti ini statusnya sama dengan orang yang mengerjakannya, sama-sama berdosa.
- Contoh : Seseorang yang ingin mencuri harta tetangganya. Saat hendak memanjat pagar rumah tetangganya, lewatlah warga yang sedang ronda. Ia pun menunda aksinya. Setelah petugas ronda tersebut berlalu, ia kembali hendak memanjat pagar rumah tetangganya untuk mencuri. Akan tetapi, tiba-tiba lewatlah penjual nasi goreng keliling sehingga ia pun kembali menunda aksinya. Begitu seterusnya sampai akhirnya ia tidak jadi mencuri harta tetangganya karena frustasi. Meskipun tidak jadi mencuri, orang ini tetap berdosa sebagaimana dosanya orang yang berhasil mencuri. Hal ini berdasarkan sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,
إذا التقى الْمُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ» قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ؟ قَالَ «إِنَّهُ كَانَ حَرِيصًا عَلَى قَتْلِ صاحبه
“Jika dua orang muslim saling membunuh dengan pedang mereka, maka yang membunuh dan yang dibunuh sama-sama masuk neraka. Para ṣahabat bertanya, ‘Ya Rasulullāh, si pembunuh memang pantas masuk neraka, lantas kenapa yang dibunuh juga masuk neraka?’. Beliau menjawab, ‘Karena sesungguhnya dia juga ingin membunuh saudaranya tersebut’”
(HR. Bukhāri dan Muslim)
Pentingnya Niat
Penjelasan di atas menunjukkan pentingnya niat. Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan balasan sesuai dengan niatnya”(HR. Bukhāri dan Muslim)
Jika motivasi seseorang meninggalkan hal yang haram adalah karena Allāh Ta’ālā, dia akan mendapatkan pahala. Adapun jika dia tidak memiliki niat untuk meninggalkan yang haram karena Allāh, dia tidak akan mendapat pahala.
Begitu juga ketika dia berniat melakukan kebaikan. Meskipun tidak jadi melakukannya karena suatu hal, dia tetap diganjar pahala atas niat baiknya tersebut. Seorang yang berniat bangun di akhir malam untuk shālat dan sudah berusaha bangun, meskipun akhirnya tertidur, dia tetap mendapat pahala atas niat baiknya tersebut.
Dalam sebuah hadits qudsi disebutkan,
فمن هم بحسنة فلم يعملها كتبها الله عنده حسنة كاملة“Siapa yang berniat melakukan kebaikan tetapi tidak jadi melakukannya, maka Allāh akan tetapkan baginya ganjaran kebaikan yang sempurna”(HR. Bukhāri dan Muslim)
Wallāhu a’lam.
artikel: www.pemudamuslim.com
* Sumber ilustrasi gambar: http://ht.ly/em3t7