Tuesday, February 17, 2015

Kegelapan Yang ‘Dinikmati’

,
Kegelapan Yang ‘Dinikmati’

Sudah menjadi perkara yang tidak samar bagi kita, bahwa dakwah Islam mengentaskan manusia dari berlapis-lapis kegelapan menuju cahaya. Dari gelapnya kekafiran menuju terangnya keimanan. Dari gelapnya kemusyrikan menuju cahaya tauhid. Dari gelapnya bid’ah menuju terangnya sunnah. Dari gelapnya maksiat menuju cahaya ketaatan.
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Allāh adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allāh mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan.”
(QS. al-Baqarah: 257)
Saudaraku -semoga Allāh merahmatimu- realita kehidupan kita sehari-hari tidak lepas dari berbagai bentuk kegelapan yang menyelimuti alam pikiran dan hati nurani anak cucu Adam. Ada diantara mereka yang terjebak dalam kegelapan itu dan seolah tak bisa keluar darinya. Ada diantara mereka yang terjebak di dalam kegelapan itu dan ingin keluar darinya.
Ibnu Taimiyah raḥimahullāh berkata,
“Risalah adalah kebutuhan yang sangat mendesak bagi hamba. Mereka benar-benar membutuhkannya. Kebutuhan mereka terhadapnya jauh di atas segala jenis kebutuhan. Risalah adalah ruh, cahaya, dan kehidupan alam semesta. Maka kebaikan seperti apa yang ada pada alam tanpa ruh, tanpa cahaya, dan tanpa kehidupan?” (lihat Ma’ālim Uṣul al-Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 78 karya Dr. Muḥammad bin Ḥusain al-Jizani)
Imam al-Ajurri meriwayatkan dengan sanadnya dari al-Ḥasan, bahwa Abud Darda’ raḍiyallāhu’anhu berkata, “Perumpamaan ulama di tengah-tengah umat manusia bagaikan bintang-bintang di langit yang menjadi penunjuk arah bagi manusia.” (lihat Akhlaq al-’Ulamā`, hal. 29)
Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Dan apakah orang yang sudah mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya dapat berjalan di tengah-tengah umat manusia, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan, sehingga dia tidak dapat keluar darinya? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir terhadap apa yang mereka kerjakan.” (QS. al-An’ām: 122)
Ibnul Qayyim raḥimahullāh berkata mengenai tafsiran ayat ini, “Orang itu -yaitu yang berada dalam kegelapan- adalah dulunya mati [hatinya] akibat kebodohan yang meliputi dirinya, maka Allāh menghidupkannya kembali dengan ilmu dan Allāh berikan cahaya keimanan yang dengan itu dia bisa berjalan di tengah-tengah umat manusia.” (lihat al-’Ilmu, Faḍluhu wa Syarafuhu, hal. 35)
Cahaya yang akan menerangi perjalanan hidup seorang hamba dan menuntunnya menuju keselamatan adalah cahaya al-Qur`ān dan iman. Keduanya telah dipadukan oleh Allāh ta’ālā di dalam firman-Nya (yang artinya),
مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا
“Dahulu kamu -Muhammad- tidak mengetahui apa itu al-Kitab dan apa pula iman, akan tetapi kemudian Kami jadikan ia sebagai cahaya yang dengannya Kami akan memberikan petunjuk siapa saja di antara hamba-hamba Kami yang Kami kehendaki.” (QS. asy-Syūrā: 52)
Ibnul Qayyim raḥimahullāh berkata,
“…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur`ān dan iman- merupakan sumber segala kebaikan di dunia dan di akhirat. Ilmu tentang keduanya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada hakikatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya selain ilmu tentang keduanya.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 38)
Oleh sebab itu, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengaitkan antara kemuliaan dan kejayaan suatu kaum dengan komitmen mereka terhadap ajaran al-Qur’an.
Dari Umar bin al-Khaṭṭāb raḍiyallāhu’anhu, Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya Allāh akan mengangkat derajat sebagian kaum dengan sebab Kitab ini, dan akan menghinakan sebagian yang lain dengan sebab Kitab ini pula.” (HR. Muslim)
Sebagaimana Allāh ta’ālā menjadikan iman dan ilmu sebagai sebab pengangkatan derajat sebagian dari hamba-hamba-Nya. Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Allāh akan mengangkat kedudukan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang diberikan ilmu beberapa derajat.” (QS. al-Mujadilah: 11)
Di sisi lain, Allāh ta’ālā juga mengaitkan antara kekuatan iman yang ada dalam hati seseorang dengan perhatian serius terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur’an. Allāh ta’ālā berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allāh maka bergetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka…” (QS. al-Anfaal: 2)
Pandai membaca al-Qur`ān saja tidaklah cukup… Lihatlah, kaum Khawarij! Mereka adalah orang-orang yang pandai membaca al-Qur’an, tetapi dicela oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam -bahkan disebut sebagai Syarrul khalqi wal khaliqah/sejelek-jelek makhluk- akibat bacaan mereka yang tidak diiringi dengan kepahaman hati serta tidak memetik pelajaran yang semestinya dari apa yang mereka baca sebagaimana yang dipahami oleh salafus ṣālih.
Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka itu -yaitu Khawarij- pandai membaca al-Qur`ān, namun tidak melampaui pangkal tenggorokan mereka.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam an-Nawawi raḥimahullāh mengutip salah satu penafsiran hadits ini bahwa maksudnya adalah, “…Maknanya, hati mereka tidak memahaminya dan mereka tidak mengambil pelajaran dari apa yang mereka baca…” (lihat Syarh Muslim [4/349])
Apabila kita cermati, tidak sedikit manusia yang terjerumus dalam kegelapan; jauh dari keimanan, jauh dari bimbingan al-Qur`ān, jauh dari siraman ilmu, jauh dari nilai-nilai tauhid dan ketakwaan, jauh dari sunnah dan ketaatan. Hari demi hari dihiasi dengan noda dan limbah kemaksiatan. Waktu demi waktu bersimbah dengan peluh kedurhakaan.
Seolah-olah hidup di dunia adalah ajang untuk berlomba-lomba dalam keburukan. Maksiat seolah sudah seperti udara yang mengalir ke rumah-rumah, ke setiap keluarga, dan menjalar kemana-mana bak tumor ganas yang menggerogoti tubuh manusia. Mengalir di dalam tubuh laksana peredaran darah manusia. Nas`alullāhal ‘āfiyah.
Adakah solusi untuk keluar dari kegelapan-kegelapan ini?
Dari Abu Hurairah raḍiyallāhu’anhu, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Bersegeralah melakukan amal-amal (ketaatan) sebelum datangnya fitnah-fitnah (cobaan) yang datang bagaikan potongan-potongan malam yang gelap gulita. Seseorang di pagi hari masih beriman dan di sore harinya telah menjadi kafir. Atau di sore hari beriman, lalu di pagi harinya menjadi kafir. Dia rela menjual agamanya demi mendapatkan kesenangan dunia.” (HR. Muslim)
Sungguh benar firman Allāh ta’ālā;
وَمَنْ جَاهَدَ فَإِنَّمَا يُجَاهِدُ لِنَفْسِهِ إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ
 “Barangsiapa yang bersungguh-sungguh -di atas ketaatan- sesungguhnya dia berjihad (berjuang) untuk kebaikan dirinya sendiri. Sesunggguhnya Allāh benar-benar Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) dari alam semesta.” (QS. al-’Ankabut: 6)

artikel: www.pemudamuslim.com
* sumber ilustrasi gambar: http://ht.ly/ejLOM