Menepis Pemahaman Keliru dalam Mengingkari Kemungkaran
Al Ustadz M. Ali Ishmah
Amar ma'ruf nahi munkar adalah
poros penting adalam agama, walaupun hal itu sering disalahgunakan. Terkadang
untuk kepentingan politik, hawa nafsu dan lain-lain. Banyak para pemuda yang
memiliki semangat untuk memperjuangkan Islam salah langkah dalam hal ini.
Dengan hanya berbekal sedikit ilmu dan besar semangat, mereka menyeret umat
Islam yang tidak berdosa kepada pertumpahan darah yang sia-sia. Mereka tidak
mengerti adab-adab dan tingkat-tingkat beramar ma'ruf nahi munkar sehingga
mereka justru mengaburkan makna amar ma'ruf nahi munkar.
Hadits Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam yang sering digunakan dan salah ditafsirkan adalah:
عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم يَقُوْلُ: مَنْ رَأَى مِنْكُمْ
مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ
لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَ ذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radliyallahu 'anhu, ia
mengatakan: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
Barangsiapa di antara kalian melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia
merubahnya dengan tangannya. Jika ia belum sanggup, maka hendaklah ia
menggunakan lisannya. Jika ia masih belum sanggup, maka hendaklah ia
menggunakan hatinya. Itu adalah selemah-lemah keimanan. (HR Muslim dalam Shahihnya
no. 78-79, Turmudzi dalam Sunannya no. 2172, An-Nasa`i dalam Sunannya,
no. 5023-5024, Ahmad dalam Musnadnya 3/10,20,49, Abu Dawud dalam Sunannya
no. 1140, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 1275, dan Abu Ya'la Al Mushuli
dalam Musnadnya no. 1005 tahqiq Irsyadul Haq Al-Atsari. (An-Nadliyah fi
takhrij 'arba'in An-Nawawiyah))
Syarah Hadits
Hadits ini adalah hadits yang
sangat agung, mengandung kewajiban beramar ma'ruf nahi munkar[1]
yang merupakan poros terbesar dalam agama ini. Allah mengutus para nabi dengan
memikul kewajiban itu. Kalau hamparan amar ma'ruf nahi munkar digulung, akan
hancurlah agama ini. Timbullah kerusakan dan hancurlah negeri-negeri.[2]
Berkenaan dengan asbabul wurud
hadits ini dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Marwan bin Al-Hakam bin Abil
'Ash, seorang khalifah Bani Umayah di Syam, mendahulukan khutbah sebelum shalat
pada hari Ied. Ketika itu seseorang berdiri seraya berkata: "Shalat dulu,
kemudian khutbah." Maka Abu Sa'id mengomentari sikap orang tadi dengan
ucapannya: "Orang ini telah menunaikan kewajibannya, karena aku mendengar
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda... (beliau menyebutkan
hadits di atas)..." dan seterusnya.
Dalam riwayat lain disebutkan
bahwa yang melakukannya adalah Abu Sa'id sendiri. Beliau bercerita: "Kaum
muslimin terus dalam keadaan yang demikian (shalat lalu khutbah), hingga aku
keluar (ke lapangan) bersama Marwan yang ketika itu menjabat amir kota Madinah
di hari Idul Fithri atau Adlha. Ketika kami sampai di lapangan, ternyata di sana
ada mimbar yang dibuat oleh Katsir bin Ash-Shalt. Kemudian ia bermaksud naik ke
mimbar, padahal belum shalat. Maka kutarik bajunya, tetapi dia membalas menarik
pula. Ketika sudah berada di atas, dia berkhutbah sebelum shalat. Aku katakan
kepadanya: "Demi Allah, engkau telah merubah." Marwan mengatakan
lagi: "Hai Abu Sa'id, telah hilang apa yang engkau ketahui." Aku
katakan lagi: "Apa yang aku ketahui lebih baik daripada apa yang tidak
kuketahui." Marwan menambahkan: "Demi Allah, sesungguhnya orang-orang
ini tidak mau duduk mendengarkan kami setelah shalat maka aku berkhutbah
sebelum shalat."[3]
Imam An-Nawawi mengatakan:
"Dimungkinkan hal ini adalah dua peristiwa yang salah satunya adalah kisah
Abu Sa'id, sedang yang lainnya adalah kisah orang lain di hadapan Abu Sa'id.[4]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata tentang hukum amar ma'ruf nahi munkar dalam Majmu' Fatawa
28/126: "Tidak wajib atas setiap person tertentu, melainkan fardlu kifayah
sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Qur`an." (Lihat Dlawabith Amar
Ma'ruf, Ali Hasan hal. 23).
Adab-adab Amar Ma'ruf Nahi Munkar
Ibnu Qudamah dalam Mukhtashar
Minhajil Qashidin hal. 123-129 secara ringkas mengatakan bahwa rukun-rukun
amar ma'ruf nahi munkar ada empat:
Rukun pertama,
pelaku amar ma'ruf seorang yang mukallaf[5],
muslim dan sanggup. Walaupun demikian seorang anak usia tamyiz[6]
juga dapat beramar ma'ruf nahi munkar dan akan mendapatkan pahala karenanya
walaupun tidak wajib atasnya. Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa syarat
seseorang beramar ma'ruf nahi munkar harus memiliki sifat 'adalah
(meninggalkan maksiat) dan mengatakan bahwa orang fasik tidak boleh beramar
ma'ruf berdasarkan ayat:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ...
Apakah kalian menyeru manusia berbuat kebaikan sedangkan
kalian melupakan diri kalian. (Al-Baqarah: 44).
Tapi pernyataan ini tidak bisa dijadikan hujjah.
Ada pula yang mensyaratkan si
pelaku amar ma'ruf nahi munkar harus mendapatkan ijin dari imam atau penguasa
sedangkan rakyat tidak boleh melakukannya. Pendapat ini keliru sebab ayat-ayat
dan hadits-hadits secara umum menunjukkan bahwa setiap orang yang melihat
kemungkaran, kemudian mendiamkannya berarti dia bermaksiat. Maka pengkhususan
harus dengan izin sang imam akan mempersulit.
Yang mengherankan pula, Rafidlah
menambah dengan tidak boleh amar ma'ruf sebelum imam yang ma'ruf keluar. Bila
mereka datang kepada hakim untuk meminta hak-hak mereka, maka katakan kepada
mereka: Permintaan tolong dan pengembalian hak-hak kalian berarti amar
ma'ruf nahi munkar padahal masanya belum datang karena imam belum keluar.
Amar ma'ruf nahi munkar memiliki lima
tingkatan:
1. Mengenalkan kebenaran.
2. Nasehat dengan ucapan yang lembut.
3. Cercaan dan makian. Yang kita maksud di sini bukan
cercaan yang kotor melainkan kita katakan padanya seperti: Wahai jahil! Dungu!
Apakah kamu tidak takut kepada Allah? Dan lain-lain.
4. Mencegah dengan keras, seperti menghancurkan alat-alat
musik dan menumpahkan khamr.
5. Ancaman dan hukuman dengan pukulan, atau langsung dipukul
sampai ia berhenti dari perbuatannya. Tingkatan yang kelima ini membutuhkan
imam, berbeda dengan yang sebelumnya, sebab dikhawatirkan terseret kepada fitnah.
Jika ada yang bertanya apakah
boleh seorang anak beramar ma'ruf kepada ayahnya, hamba kepada tuannya, istri
kepada suaminya, atau rakyat kepada penguasa? Jawabnya: Pada asalnya hal itu
boleh bagi semuanya dan sudah kita bawakan lima tingkatan tadi. Maka bagi anak
tingkatannya adalah dengan mengenalkan kebenaran kemudian nasehat dengan
lembut. Adapun tingkatan yang ketiga dan seterusnya selayaknya dilakukan oleh
tuan kepada budak atau suami terhadap istri. Adapun rakyat kepada penguasa
perkaranya lebih keras dari anak, tidak ada kewajiban bagi rakyat kecuali
dengan pengenalan dan nasehat.
Disyaratkan juga si pelaku itu
sanggup untuk mengingkari. Adapun yang lemah tidak ada kewajiban baginya
kecuali mengingkari dengan hati. Tidak gugur kewajiban ini bagi yang lemah
tubuhnya melainkan karena dikhawatirkannya dia terkena gangguan. Itulah makna
kelemahan di sini.
Begitu pula bila dia tahu bahwa
pengingkarannya diduga tidak bermanfaat, maka terbagi dalam 4 keadaan:
1. Bila dia tahu kalau kemungkaran itu bisa lenyap dengan
ucapan atau perbuatannya, tanpa ia terkena bahaya, maka wajib baginya untuk
melakukannya.
2. Bila dia tahu bahwa ucapannya tidak bermanfaat dan
apabila dia berbicara akan dipukul, maka gugurlah kewajiban atasnya.
3. Bila dia tahu bahwa ucapannya tidak bermanfaat, tetapi
dia tidak khawatir terkena bahaya, maka tidak wajib baginya karena tidak
bermanfaat. Akan tetapi hal itu disukai untuk menunjukkan syiar-syiar Islam dan
untuk mengingatkan manusia kepada agama.
4. Bila dia tahu bahwa dia akan terkena bahaya, tetapi
kemungkaran tersebut akan hilang dengan sikapnya seperti menghancurkan
alat-alat musik atau menumpahkan khamr padahal dia tahu bahwa dia akan dipukul
setelah itu, maka kewajiban gugur darinya dan hukumnya tinggal mustahab,
berdasarkan sabda Nabi:
أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ
سُلْطَانٍ جَائِرٍ.
Jihad yang paling utama adalah ucapan yang benar yang
disampaikan di hadapan penguasa yang jahat. (HR. Abu Said, Abu Umamah, Thariq
bin Syihab, Jabir bin Abdullah dan Suhri secara mursal, lebih rinci lihat Ash-Shahihah
no. 491)
Tidak terjadi perselisihan
tentang bolehnya seorang muslim menyerang barisan orang kafir, walau akhirnya
dia harus mati. Tapi bila dia tahu dia tidak bisa mengalahkan orang kafir
seperti orang buta mencampakkan dirinya ke tengah-tengah musuh, maka haram
hukumnya. Begitu pula bila dia melihat seorang fasiq yang minum khamr dan di
tangannya ada pedang dan dia tahu kalau dia melarang minum khamr, dia akan
dibunuh, maka tidak boleh baginya untuk melakukannya. Karena hal ini tidak
memberi pengaruh yang bisa memberi manfaat. Hanya disukai baginya untuk
mengingkari bila dia sanggup untuk menghapuskan kemungkaran tersebut. Dan
tumbuh manfaat dengan sikapnya itu seperti orang yang menyerang barisan
orang-orang kafir dan lain-lain.
Jika dia tahu bila teman-temannya
juga akan terkena bahaya, maka tidak boleh baginya untuk melakukannya karena
dia tidak kuat untuk menolak kemungkaran itu kecuali dengan menyeret
kemungkaran yang lain. Hal itu tidak dianggap mampu sedikitpun. Dan yang
dimaksudkan dengan tahu di sini adalah perkiraan kuat. Siapa yang mengira
dengan kuat bahwa dia akan terkena bahaya maka tidak wajib baginya untuk
mengingkari. Jika kuat perkiraannya bahwa dia tidak akan terkena bahaya, maka
wajib baginya melakukannya. Bukan pengecut atau pemberani yang berlebihan,
tetapi dinilai dengan tabiat yang wajar. Yang dimaksud dengan bahaya di sini
adalah seperti pemukulan atau pembunuhan. Begitu juga perampasan harta atau
diumumkan di negeri itu sebagai orang jelek. Adapun penghinaan dan cercaan maka
tidak menjadi alasan untuk diam sebab orang yang beramar ma'ruf biasanya akan
menemui hal itu. (Masih dalam Mukhtashar Minhaj Al-Qashidin)
Rukun kedua,
"kemungkaran itu ada ketika itu dengan jelas". Makna mungkar
adalah dilarang dilakukan menurut syariat[7].
Mungkar lebih umum daripada maksiat. Bila seseorang melihat anak kecil atau
orang gila meminum khamr, maka wajib baginya untuk menumpahkan dan melarangnya.
Begitu juga bila lelaki gila berzina dengan wanita gila atau dengan hewan maka
wajib baginya untuk mencegah.
Kata "ada ketika itu",
berarti bukan terhadap orang yang telah selesai meminum khamr atau sejenisnya.
Dan juga bukan terhadap apa yang akan didapati dalam keadaan lain, seperti
orang yang mengetahui melalui tanda-tanda bahwa ada yang ingin
"minum" di malam hari. Tidak ada amar ma'ruf terhadap orang tersebut
kecuali dengan nasehat.
Kata "dengan jelas",
berarti orang yang melakukan maksiat tidak dengan sembunyi-sembunyi di rumahnya
dan mengunci pintunya. Orang yang bermaksiat dengan sembunyi-sembunyi tidak
boleh dimata-matai, kecuali sampai diketahui oleh orang yang di luar rumah
seperti suara alat-alat musik. Bagi orang yang mendengarkannya, hendaknya masuk
dan menghancurkannya. Atau jika keluar bau khamr, menurut pendapat yang benar
boleh diingkari.
Juga disyariatkan dalam
mengingkari kemungkaran harus benar-benar diketahui bahwa hal itu mungkar,
bukan termasuk perkara ijtihad. Setiap yang masih dalam hal ijtihad, tidak
dikenai hal ini.
Rukun ketiga,
syarat orang yang diingkari. Cukup dengan sifatnya sebagai manusia. Tidak
disyaratkan orang tersebut harus mukallaf dulu, sebagaimana yang telah
kita jelaskan tadi, maka seperti terhadap anak-anak dan orang-orang gila tetap
diingkari.
Rukun keempat,
tentang amar ma'ruf itu sendiri. Hal ini memiliki beberapa tingkat dan adab:
1. Si
pelaku amar ma'ruf memang mengetahuinya, tidak boleh baginya untuk mencari
pendengaran dari rumah yang lain untuk mendengar suara musik atau sengaja
mengendus bau khamr. Atau menyentuh sesuatu yang telah ditutup dengan pakaian
agar ia tahu apa yang ada di dalamnya. Atau mencari-cari kabar kepada para
tetangganya agar diberi tahu apa yang terjadi. Tetapi apabila ia diberi tahu
oleh dua orang yang adil bahwa si A meminum khamr, maka ketika itu dia boleh masuk
dan mengingkari.
2. Mengenalkan
kebenara karena ada orang yang dengan jahil melakukan sesuatu karena menganggap
perbuatan itu tidak mungkar dan bila dia tahu dia akan meninggalkannya. Maka
wajib memberitahukannya dengan lembut. Katakan kepadanya: "Memang manusia
ketika lahir tidak langsung menjadi orang yang tahu. Kita tidak mengetahui
tentang masalah agama sampai para ulama mengajari kita." Karena mungkin
juga temanmu itu jauh dari para ulama. Bersikap lembutlah kepadanya agar dia
mengerti tanpa menyakitinya. Barangsiapa diam ketika melihat kemungkaran dengan
alasan tidak mau menyakiti sesama muslim padahal dia harus berbicara, maka hal
ini sama dengan mencuci darah dengan air seni.[8]
3. Melarang
dengan nasehat dan menyuruhnya takut kepada Allah dengan menyampaikan
kabar-kabar yang berisi ancaman. Ceritakan kepadanya kisah-kisah para salaf.
Lakukan hal itu dengan rasa kasih sayang dan lembut tanpa perlu mencaci dan
emosi. Di sini banyak terjadi kekeliruan yang harus dijaga, yaitu seseorang
yang tahu ketika menasehati menganggap dirinya paling mulia karena dia tahu
kemudian merendahkan lawan bicara karena tidak tahu. Hal itu sama dengan
seseorang yang ingin menyelamatkan orang lain dengan membakar dirinya ke dalam
api. Ini adalah kebodohan yang sangat, kehinaan yang hebat dan tipuan setan.
Maka dibutuhkan barometer, agar seyogyanya pelaku amar ma'ruf tadi menguji
dirinya. Yaitu dengan mengingkari kemungkaran terhadap dirinya sendiri. Jika
ternyata dia mengikuti hawa nafsunya, bertujuan agar terkenal melalui amar
ma'rufnya tadi, maka hendaklah ia takut kepada Allah dan mengintrospeksi
dirinya dahulu.
Dikisahkan, ada yang bertanya
kepada Daud At-Tha'i: "Bagaimana pendapat anda terhadap seseorang yang
menemui para umara, kemudian menyuruh mereka kepada yang ma'ruf dan mencegah
dari yang mungkar? Daud menjawab: "Aku khawatir dia akan dicambuk."
Penanya: "Dia sanggup untuk menghadapinya." Daud: "Aku khawatir
dia akan terkena pedang." Penanya: "Ia sanggup." Daud: "Aku
takut dia terkena penyakit yang berbahaya, yaitu 'ujub (bangga terhadap
dirinya sendiri)."
4. Cercaan
dan makian dengan ucapan yang keras dan menusuk. Cara ini dipilih bila tidak
bisa dicegah dengan lembut dan menunjukkan sikap mengejek peringatan dan
nasehat serta terus melakukan perbuatan tersebut. Yang kita maksudkan di sini
bukan dicerca dengan ucapan yang mengandung kekejian dan dusta. Tapi katakan
kepadanya: "Hai fasiq, dungu, bodoh, apakah kamu tidak takut kepada
Allah?" Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim:
أُفٍّ لَكُمْ وَلِمَا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ
اللَّهِ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ. (الأنبياء: ٦۷)
Ah, celaka kalian dan apa yang
kalian sembah selain Allah. Apakah kalian tidak berakal? (Al-Anbiya`: 67)
5. Merubah
dengan tangan, seperti menghancurkan alat-alat musik, menumpahkan khamr dan
mengusir penghuni rumah curian dari rumah tersebut. Tingkatan ini memiliki 2
adab:
a. Jangan
langsung mengadakan perubahan selama orang yang diingkari sanggup untuk memikul
hal tersebut (yaitu) bila dia mau pergi dari tempat yang dirampasnya, tidak
perlu sampai menyeretnya.
b. Menghancurkan
alat musik itu sampai benar-benar tidak bisa dipergunakan lagi. Jangan lebih
dari itu. Dan berhati-hati ketika menumpahkan khamr agar jangan sampai memecah
bejana-bejana lain jika mungkin. Jika dia tidak sanggup untuk itu kecuali harus
dengan melempar bejana itu dengan batu atau yang sejenis, itu boleh baginya.
Dengan itu akan hilang harga bejana itu. Kalau dia menutup-nutupi khamr dengan
tangannya dan hanya bisa dijalankan dengan jalan tangan si pemilik juga
dipukul, maka tidak mengapa. Bila khamr berada dalam bejana yang mulutnya
kecil, yang bila ditumpahkan akan memakan waktu yang lama dan dia akan ditemui
pemiliknya kemudian dicegah, maka hendaklah dia memecahkannya. Ini dianggap
udzur.
Jika ada pertanyaan: Apakah boleh
memecahkannya dengan paksa dan menarik penghuni untuk meninggalkan rumah dengan
paksa?
Jawabnya: Itu boleh untuk
penguasa. Tidak untuk rakyat karena tidak adanya segi ijtihad dalam hal itu.
6. Dengan
ancaman, seperti: "Tinggalkan perbuatan ini, kalau tidak saya akan buat
kamu jadi begini dan begitu!" Jika perlu untuk dipukul tidak mengapa.
Adab dalam hal ini adalah jangan
mengancam dengan ancaman yang tidak boleh dilakukan seperti: "Akan
kuhancurkan rumahmu dan kuculik istrimu." Jika dia mengucapkan dengan
sungguh-sungguh, maka haram hukumnya. Jika tidak, berarti dusta.
7. Langsung
memukul dan menendang dan lain-lain selain senjata. Itu boleh bagi perorangan
dengan syarat terpaksa dan seperlunya. Jika kemungkaran itu sudah lenyap
selayaknya dihentikan.
8. Dia tidak
sanggup sendiri dan membutuhkan teman dengan mengangkat senjata, karena kadang-kadang
si pelaku juga memiliki teman-teman yang menjurus kepada peperangan. Yang benar
dalam hal ini butuh kepada ijin Imam karena menjurus kepada fitnah dan
kerusakan. Dan ada juga yang menyatakan tidak perlu ijin. (Selesai ucapan Ibnu
Qudamah dalam Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Tentang Sifat si Pelaku Amar Ma'ruf
Di atas sudah disebutkan
adab-adab pelaku amar ma'ruf dengan rinci. Dan kesimpulannya ada tiga sifat:
1. Ilmu tentang amar ma'ruf dan batas-batasnya agar
berada dalam batas syariat[9].
2. Wara' karena dia kadang-kadang tahu tentang
sesuatu tetapi tidak mengamalkannya karena suatu hal.
3. Baik akhlak. Ini dasar agar bisa menahan akibat.
Karena kemarahan bila bergejolak tidak bisa ditahan dengan semata-mata ilmu dan
wara' dalam memadamkannya selama tidak ada baik akhlak secara tabiat.
Sebagian para salaf berkata:
"Jangan seseorang menyuruh kepada yang ma'ruf kecuali dengan lembut dan
juga ketika melarang. Kasih sayang ketika menyuruh dan melarang. Paham dalam
menyuruh dan melarang."
Bersikap lembut dalam beramar
ma'ruf, itu jelas. Berdasarkan ayat:
فَقُوْلاَ لَهُ قَوْلاً لَيِّنًا لَعَلَّهُ
يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى. (طه: ٤٤)
Katakan kepadanya (Fir'aun) perkataan yang lembut.
(Thaha: 44)
Pernah seorang pemuda lewat dalam
keadaan menyeret pakaiannya (isbal), maka teman-teman Shilah bin Usyaim
mencercanya dengan keras. Maka Shilah berkata: "Biarkanlah aku
menyelesaikannya." Kemudian Shilah berkata kepada pemuda itu: "Wahai
anak saudaraku, aku ada perlu sedikit denganmu." Pemuda itu berkata:
"Apa itu?" Shilah: "Aku ingin agar engkau meninggikan
sarungmu." Pemuda: "Baiklah kalau begitu." Maka pemuda itu pun
mengangkat sarungnya. Kemudian Shilah beralih kepada rekan-rekannya dan
berkata: "Bukankah ini yang kalian maukan. Jika kalian mencacinya dan
menyakiti dia akan membalas kalian."
Beberapa Tujuan dalam Beramar Ma'ruf
Ibnu Rajab dalam Iqadhul Himam
hal. 465 berkata: "Ketahuilah bahwa beramar ma'ruf dan nahi munkar
kadang-kadang karena mengharap pahala, dosa jika ditinggalkan, kemarahan Allah
karena larangan-Nya dilanggar, menasehati kaum muslimin dan kasih sayang kepada
mereka, mengharap mereka terlepas dari dosa-dosa yang akibatnya mereka akan
terkena hukuman Allah di dunia dan akhirat. Dan juga karena memuliakan dan
mencintai Allah, karena Dia yang paling berhak untuk ditaati, diingat dan tidak
dilupakan, disyukuri dan tidak dikufuri. Dan menebus dengan jiwa dan harta
terhadap kehormatan Allah yang dilanggar, sebagaimana yang diucapkan oleh
sebagian salaf: 'Aku ingin agar semua manusia taat kepada Allah walau dagingku
harus digunting.'" (Iqadhul Himam)
Dalam amar ma'ruf nahi munkar ada
sekelompok orang yang meninggalkannya sama sekali. Ada yang tidak mengetahui
patokan dan batas-batasnya hingga bertindak melampaui batas. (Dlawabith,
Ali Hasan hal. 18)
Beberapa faedah yang dapat
dipetik dari pembahasan ini adalah:
1. Amar ma'ruf nahi munkar termasuk bagian dari iman. Oleh
sebab itu Imam Muslim memasukkan dalam kitabul iman.
2. Siapa yang sanggup untuk melaksanakan bagian-bagian itu,
lebih baik dari yang meninggalkannya karena lemah, walau diberi udzur.
3. Siapa yang khawatir terhadap dirinya akan dipukul,
dibunuh atau dirampas hartanya, maka gugur kewajiban darinya dengan tangan dan
lisan, tapi wajib mengingkari dengan hati. Barangsiapa yang hatinya tidak
mengingkari yang mungkar berarti telah lenyap keimanan darinya.
4. Sangat perlunya kita melihat contoh dari para salaf dalam
memahami hadits ini agar tidak salah paham.
5. Harus berilmu hingga tahu mana yang harus disikapi dengan
keras dan lembut agar jangan terbalik. Hal ini menunjukkan pentingnya ilmu dan
bimbingan para ulama.
Wallahu a'lam bish shawab.
Maraji':
Shahih Muslim, Muslim bin
Al-Hajjaj An-Naisaburi (206-261 H), Dahlan, tanpa tahun.
Sunan Turmudzi, Abu Isa
Muhammad bin Isa (209-279 H), Darul Kutub 'Ilmiyah, tahqiq Ahmad Syakir, tanpa
tahun.
Sunan Nasa`i, Ahmad bin
Syu'aib (215-303 H), Darul Ma'rifah, cet. II, 1412 H-1992 M.
Musnad Ahmad, Ahmad bin
Hambal (164-241 H), Darul Kutub Ilmiyah, cet. I, 1413 H-1993 M. Adapun naskah
keduanya tanpa tahun dan tidak jelas penerbitnya.
Sunan Abu Daud, Sulaiman bin
Al-Asy'ats As-Sijistani (202-275 H), Darul Fikr, Tahqiq Shidqi M. Jamil. 1414 H
– 1994 M.
Sunan Ibnu Majah, Muhammad
bin Yazid bin Majah (207-273/275 H), Darul Rayyan Lit Turats, tahqiq M. Fuad
Abdul Baqi, tanpa tahun.
Musnad Abu Ya'la, Ahmad
bin Ali At-Tamimi (210-307 H), Darul Qiblat, tahqiq Irsyadul Haq Al-Atsari,
cet. I, 1408 H – 1988 M.
Qawa'id wal Fawa'id,
Nadhim Sulthan, Darul Hijrah, cet. II, 1410 H.
Mukhtashar Minhajul Qashidin,
Imam Ibnu Qudamah (wafat 742 H), Al-Maktab Al-Islami, cet. VII, tahqiq Zuhair
Syawais.
Fathul Bari, Imam Ahmad
bin Ali bin Hajar Al-Asqalani (773-852 H), Darud Diyan Lit Turats, Isyraf
Syaikh Muhibbuddin Al-Khathib, Muhammad Fu'ad Abdul Baqi dan Qushay Muhibbuddin
Al-Khatib, cet. II.
Syarh An-Nawawi, Yahya bin
Syaraf An-Nawawi (631-676 H), I'dad Ali Abdul Hamid, Darul Khair, cet. II, 1414
H – 1994 M.
Majmu' Fatawa, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (661-728 H), Jam'u wat Tartib Abdurrahman bin Muhammad,
Isyraf Ar-Riyasatul Ammah Li Syu'inil Haramain, tanpa tahun.
Dhawabith, Ali Hasan,
Al-Ashalah, cet. I, 1414 H – 1994 M.
Silsilah Al-Ahadits
Ash-Shahihah, M. Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktabah Al-Ma'arif, 1415 H –
1995 M.
Iqadhul Himam, Salim
Al-Hilali, Darul Ibnul Jauzi, 1414 H – 1993 M.
[1] Qawaid wa Fawaid, Nadhim Sulthan hal. 285
[2] Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah hal. 131
[3] Fathul Bari 3/102
[4] Syarah An-Nawawi 1/217
[5] Mukallaf adalah seorang dewasa yang sudah dikenai beban syari'at
[6] Tamyiz adalah seorang anak yang sudah mulai dapat membedakan dan berpikir benar
[7] Makna ini sebagai bantahan terhadap pernyataan Syafi'i Ma'arif dalam majalah Suara Muhammadiyah no. 01/02 th ke 83 hal. 20, sebagai berikut: "Definisi ma'ruf adalah sesuatu yang dikenal baik dan diterima oleh akal maupun masyarakat. Sedangkan munkar adalah sesuatu yang ditolak oleh akal sehat."
[8] Yakni maunya membersihkan tetapi dengan sesuatu yang lebih jelek dan lebih najis.
[9] Hal ini sangat penting, karena jika tanpa ilmu niatnya yang baik tidak akan tercapai karena salah dalam penerapan. Yang seharusnya disikapi dengan keras, dia sikapi dengan lembut atau sebaliknya. (pen)
Sumber: Majalah Salafy
edisi XXV/1418 H/1998 M, Rubrik Nasehati