Wednesday, June 24, 2015

Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin

Kitab Ihya’ ‘Ulumuddin


Al-Ustadz Abu ‘Utsman ‘Ali, Lc
 
Tak banyak yang tahu, Ihya` ‘Ulumiddin, kitab yang banyak dipuja orang ini, merupakan salah satu gudangnya kemungkaran. Kajian berikut memang tidak memaparkannya secara keseluruhan. Namun cukuplah menjadi peringatan bagi kita semua agar tidak lagi menggeluti buku ini terlebih mengagungkannya.

Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan suatu umat yang senantiasa berupaya untuk komitmen di atas kemurnian agama, serta bersikap tegas terhadap segala bentuk penyimpangan atau upaya segolongan orang yang akan mengaburkan As-Sunnah.

Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Yang paling aku takutkan menimpa umatku ialah imam-imam yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud, 4/4252 dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, jilid 4 no. 1586)

Abdurrahman bin Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Aku mendengar bapakku dan Abu Zur’ah, keduanya memerintahkan untuk memboikot ahlul bid’ah. Keduanya sangat keras terhadap mereka, dan mengingkari pemahaman kitab (Al-Qur`an, red.) dengan akal semata tanpa bersandar dengan atsar (hadits, red.), melarang duduk bersama ahlul kalam (kaum filsafat), dan melihat kitab-kitab ahlul kalam.” (Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 322)
 
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu berkata: “Kalian akan mendapati segolongan kaum yang menyangka bahwa mereka menyeru kepada Kitabullah, namun hakekatnya mereka telah melemparkannya ke belakang punggung-punggung mereka.” (Al-Ibanah, 1/322)
 
Mengingat hal ini, akan kami paparkan secara ringkas tentang kitab Ihya` ‘Ulumiddin yang selalu dibanggakan segolongan orang. Bahkan dianggap sebagai literatur yang sarat akan bimbingan aqidah dan akhlak!
 
Berikut beberapa kesalahan yang terdapat dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin dan bantahannya secara global.

1. Dalam pembahasan sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala, Al-Ghazali terkadang melakukan penakwilan ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala.

 
Ahlus Sunnah Wal Jamaah selalu meyakini bahwa sifat-sifat Allah Subhanahu Wata’ala tidak boleh disamakan dengan sifat makhluk, tidak boleh ditanyakan tentang bagaimana keadaannya, tidak boleh menakwilkan dengan sesuatu yang keluar dari makna zhahir sebagaimana yang telah diyakini salafus shalih, dan tidak boleh pula mengingkarinya. (lihat Fathur Rabbil Bariyyah bi Talkhisil Hamawiyyah, hal. 27-28)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdil Wahab Al-Wushabi hafizhahullah berkata: “Tauhid asma wash shifat adalah mengesakan Allah Subhanahu Wata’ala pada apa yang telah Dia namakan diri-Nya sendiri dengannya atau dengan apa yang telah dinamakan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, dan mengesakan Allah kpada apa yang Dia sifatkan terhadap diri-Nya atau yang telah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sifatkan untuk-Nya, tanpa mempertanyakan bagaimananya (kaifiyah), atau menyerupakannya dengan makhluk, memalingkan maknanya, dan mengingkarinya. (Al-Qaulul Mufid fi Adillatit Tauhid, hal. 81)
 
Sebagai contoh, Al-Ghazali telah menakwilkan makna istiwa` (artinya naik di atas ‘Arsy) dengan istaula (menguasai). (lihat Ihya` ‘Ulumiddin, jilid 1 sub pemba-hasan Aqidah)
 
Hal ini telah menyelisihi Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ para salafush shalih. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):

“Sucikan Rabbmu yang Maha Tinggi.” (Al-A’la: 1)
 
“Sesungguhnya Allah itu Maha Tinggi dan Maha Besar.” (An-Nisa`: 34)
 
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy-Nya.” (Thaha: 5)
 
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):

“Ketika Allah menentukan ketentuan makhluk, maka Dia tulis dalam Kitab-Nya yang ada di sisi-Nya, di atas ‘Arsy…” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
 
Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: “Tidak ada satupun salafush shalih yang mengingkari bahwa Allah k benar-benar ber-istiwa` di atas Arsy-Nya. Yang tidak mereka ketahui adalah bagaimana cara ber-istiwa`. Dan sungguh hal itu tidaklah diketahui hakekatnya.” (Muhammad bin ‘Utsman bin Abi Syaibah wa Kitabuhu Al-’Arsy, hal. 187)

2. Al-Ghazali berkata tentang ilmu kalam: “Dia merupakan penjaga aqidah masyarakat awam dan yang melindungi dari berbagai kerancuan para ahli bid’ah. Dan perumpamaan ahli ilmu kalam adalah seperti penjaga jalan bagi para jamaah haji.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/22)

 
Aqidah yang bersih akan selalu terbangun di atas pondasi yang benar berlandaskan Al-Qur`an dan As-Sunnah dengan pemahaman salaful ummah. Adapun ilmu kalam adalah belenggu yang menjadikan orang terlena dengan akal, sehingga akan menjauh dari hakekat kemurnian aqidah.

Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi mereka yang mengharap Allah dan hari kiamat, dan dia banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
 
Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah: “Contoh yang baik adalah Rasulullah n. Orang yang mengambil suri teladan darinya berarti telah menempuh suatu jalan yang akan menyampaikan kepada kemuliaan Allah Subhanahu Wata’ala. Inilah jalan yang lurus.”
 
Al-Imam Al-Barbahari rahimahullah: “Ketahuilah –semoga Allah Subhanahu Wata’ala merahmatimu–, sungguh tidaklah muncul kezindiqan, kekufuran, keraguan, bid’ah, kesesatan, dan kebingungan dalam agama kecuali akibat ilmu kalam, ahli ilmu kalam, debat, berbantahan, dan perselisihan.” (Syarhus Sunnah, hal. 93)

Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Mengikuti ocehan ahli ilmu kalam dan filsafat merupakan kerusakan yang nyata. Tak sedikit orang yang mencoba menyelami perkara itu akhirnya berlumuran dengan berbagai kotorannya, sebagaimana ucapan Al-Imam Ahmad: ‘Tidaklah orang yang melihat ilmu kalam kecuali akan terpengaruh dengan Jahmiyyah’. Beliau dan para ulama salaf lainnya selalu memperingatkan dari ahli ilmu kalam walaupun (ahli ilmu kalam itu) berniat membela As-Sunnah.” (Fadhlu ‘Ilmis Salaf ‘alal Khalaf, hal. 43)
 
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Ilmu kalam –yang telah disepakati Al-Imam Malik, Abu Hani-fah, Ahmad, dan Asy-Syafi’i sebagai suatu yang bid’ah– tidak akan mungkin menjadi penjaga aqidah dari berbagai bid’ah. Karena ilmu kalam itu sendiri adalah bid’ah.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-uhu wa Tashawwufuhu hal. 9)
 
Sungguh malang nasib pengagum ilmu kalam. Na’udzubillahi min dzalika (Kita berlindung kepada Allah Subhanahu Wata’ala dari hal itu).

3. Al-Ghazali membagi ilmu menjadi dua bagian:
a. Ilmu zhahir: ilmu muamalah.
b. Ilmu batin: ilmu kasyaf. (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/19-21)
 
Keyakinan bahwa ilmu kasyaf merupakan puncak ilmu merupakan hal yang umum di kalangan para Shufi! Kasyaf menurut keyakinan Shufi adalah tersingkapnya hijab di hadapan para wali Shufi, sehingga dia bisa melihat dan mengetahui sesuatu yang ghaib tanpa melalui indera perasa. Namun ilmu kasyaf adalah ilmu yang terilhamkan dalam hati. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsu-ruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114)
 
Sungguh menakutkan keadaan mereka. Bukankah Allah Subhanahu Wata’ala telah berfirman (yang artinya):
 
“Katakanlah: ‘Tidak ada siapapun yang ada di langit dan di bumi yang mengetahui suatu yang ghaib selain Allah.’” (An-Naml: 65)
 
“(Dialah) Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan tidak menampakkannya kepada siapapun, kecuali kepada utusan-Nya yang telah Dia ridhai. Sesungguhnya Dia memberikan penjagaan (dengan para malaikat) dari depan dan belakangnya.” (Al-Jin: 26-27)

Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Dia mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Dan sungguh tidak ada makhluk-Nya yang bisa mengetahui ilmu-Nya kecuali yang Allah k beritahukan kepadanya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/462)

Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya): “Ada lima perkara yang tidak diketahui kecuali oleh Allah.” Kemudian beliau membaca ayat (yang artinya): “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Luqman: 34) [HR. Ahmad, 5/353. Dihasankan Asy-Syaikh Muqbil v dalam Shahihul Jami’, 6/361]

Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ilmu ghaib merupakan sifat khusus bagi Allah Subhanahu Wata’ala. Dan segala perkara ghaib yang Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam kabarkan merupakan sesuatu yang dikabarkan Allah Subhanahu Wata’ala kepadanya. Dan tidaklah beliau mengetahui dari dirinya sendiri.” (Fathul Bari, 9/203). Adanya keyakinan kasyaf merupakan upaya penghinaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

4. Penafsiran ayat secara ilmu batin dan keluar dari kaedah-kaedah salaf.
 
Sebagai contoh Al-Ghazali menafsirkan firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya): “Dan jauhkan aku serta keturunanku dari penyembahan terhadap berhala.” (Ibrahim: 35)

Al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud berhala adalah dua batu, yaitu emas dan perak! (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/235)
 
Cara seperti ini merupakan tipudaya setan, karena hanya akan menjadikan seseorang keluar dan menyeleweng dari pemahaman salafush shalih.
 
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
 
“Katakanlah, jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran: 31)
 
“Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami jadikan ia di Jahannam. Dan Jahannam adalah sejelek-jelek tempat kembali.” (An-Nisa`: 115)

Ilmu batin menurut Shufiyyah adalah rahasia-rahasia ilmu yang ganjil, dan hanya diketahui oleh orang-orang Shufi yang berbicara dengan lisan yang abadi. (Majmu’ Fatawa, 13/231)
 
Keadaan ini menyerupai orang-orang bathiniyyah Qaramithah yang menafsirkan Al-Qur`an secara ilmu batin, seperti shalat berarti doa, puasa berarti menahan rahasia, haji bermakna safar dan berkunjung kepada guru serta para syaikh. (Majmu’ Fatawa, 13/236)

5. Al-Ghazali terpengaruh dengan suluk orang-orang Cina dan kependetaan dalam Nasrani. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/334)
 
Ia berkata: “Upaya para wali dalam penyucian, pencerahan, kebersihan, dan keindahan jiwa sehingga suatu kebenaran menjadi gemerlap, nampak dan bersinar sebagaimana dilakukan orang-orang Cina. Dan demikianlah upaya kaum cendekiawan dan ulama untuk meraih dan menghiasi ilmu, sehingga terpatri indah dalam hati sebagaimana yang dilakukan orang-orang Romawi.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/24)
 
Bahkan hubungan manis antara Shufiyyah dengan Nasrani dinyatakan Ibrahim bin Adham. Ia berkata: “Aku mempelajari ma’rifat dari seorang pendeta bernama Sam’an dan aku pernah masuk ke dalam tempat ibadahnya.” (Talbis Iblis, hal. 137)
 
Abdurrahman Al-Badawi berkata: “Sungguh, kalangan Shufiyyah dari kaum Muslimin menganggap tidak mengapa untuk mendengarkan pelajaran-pelajaran para pendeta dan perihal olah batin mereka karena terdapatnya faedah, walaupun hal itu datang dari Nasrani. (Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 64)
 
Anggapan seperti ini sangatlah naif, dan hanya akan melumpuhkan serta menelanjangi seseorang dari al-wala` wal-bara`. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
 
“Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19)

“Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
 
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang artinya):
 
“Benar-benar kalian akan mengikuti kebiasaan orang-orang yang sebelum kalian…” (HR. Al-Bukhari no. 3456 dan Muslim no. 2669)

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk mereka.” (HR. Abu Dawud, 2/74. Dan dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adabuz Zifaf hal. 116)
 
Bahkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dengan jelas menyatakan (yang artinya): “Tidak ada kependetaan dalam Islam.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, 4/7)
 
Sungguh perilaku Shufiyyah merupakan virus pluralisme yang akan selalu bergulir seperti bola liar dengan kemerdekaan berfikir tanpa batas (freedom of thinking is every-thing).

6. Menurut Al-Ghazali, martabat kenabian bisa diraih seorang Shufi dari sisi turunnya ilham Ilahi di dalam hatinya. (Ihya`, 3/18-19)
 
Menurut para Shufi, ilham adalah pancaran ilmu kepada para syaikh dan wali dari Allah Subhanahu Wata’ala, yang tercurahkan dalam hati, yang bisa didapatkan baik saat terjaga ataupun tidur, sehingga terbukalah rahasia ilmu yang ada di Lauhul Mahfuzh. Hal ini terkadang mereka namakan ilmu laduni, yang tidak akan berakhir seperti berhentinya wahyu kepada para nabi. (Ash-Shufiyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 114-115)
 
Bahkan Al-Ghazali berkata: “Sesungguhnya hati, di hadapannya siap tergelar hakekat sesuatu yang haq dalam semua urusan. Bahkan tercurahkan segala bentuk yang rahasia dan tersingkap dengan mata hati, menjadikan apa yang tertulis di Lauhul Mahfuzh terpampang, sehingga bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”
 
Kemudian beliau menambahkan: “Berbagai urusan tersingkap bagi para nabi dan wali. Dan suatu cahaya tertuang dalam hati mereka yang didapatkan tanpa belajar, mengkaji, menulis, dan buku-buku, yang diraih dengan zuhud di dunia. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/18-19)
 
Beliau juga berkata: “Sesungguhnya ilmu-ilmu yang didapatkan para nabi dan wali itu melalui pintu batin atau melalui hati, dan melalui pintu yang terbuka dari alam malakut/ Lauhul Mahfuzh.” (Ihya` ‘Ulu-middin, 3/20)
 
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah berkata: “Perkataan Al-Gha-zali tentang kenabian merupakan kepanjangan tangan Ibnu Sina yang menganggap bahwa para nabi memiliki tiga kekuatan: kekuatan kesucian, kekuatan khayalan, kekuatan perasaan dan batin.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashaw-wufuhu hal. 35)
 
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyah menukilkan ucapan Al-Ghazali dalam kitab Al-Jawahirul Ghali: “Tidak ada perbedaan sedikitpun antara wahyu dan ilham, bahkan dalam kehadiran malaikat yang memberikan faedah ilmu. Sesungguhnya ilmu didapatkan dalam hati kita dengan perantara para malaikat.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 38)
 
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya yang terkandung dalam ucapan mereka adalah bahwa berita-berita dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidaklah berfaedah sedikitpun dalam sisi ilmiah. Bahkan hal yang seperti itu bisa diraih oleh setiap orang dengan musyahadah [1], nur, dan kasyaf.” (Dar`u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql, 5/347)

Al-Ghazali bahkan menghina para fuqaha dengan ucapannya: “Para fuqaha hanyalah sekedar ulama dunia dan tugas mereka tidak lebih dari itu.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 1/18)

Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Kebenciannya kepada para fuqaha merupakan kezindiqan terbesar. Karena para fuqaha selalu menghadirkan fatwa-fatwa tentang kesesatan dan kefasikan mereka. Dan sungguh al-haq itu berat sebagaimana beratnya zakat.” (Talbis Iblis hal. 374)
 
Abdurrahman Muhammad Sa’id Dimasyqiyyah berkata: “Fiqih merupakan suatu upaya untuk membenahi sesuatu yang zhahir dan yang batin. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya): “Akan tetapi orang-orang munafiq tidaklah memahami.” (Al-Munafiqun: 7)
 
Jikalau hati-hati mereka bersih dan tercermin dalam zhahir-zhahirnya, sungguh mereka adalah orang yang memahami. Ingatlah pemimpin para fuqaha, Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘Anhu yang didoakan oleh Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam: ‘Ya Allah, fahamkanlah dia dalam urusan agama’.” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqida-tuhu wa Tashawwufuhu hal. 45)

Perilaku Shufiyyah merupakan pintu kesombongan, kecongkakan dan sikap ekstrim dalam memposisikan diri mereka. Mereka telah melupakan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai seorang nabi yang membawa kesempurnaan syariat dan akhlak yang mulia. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
 
“Hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan telah Aku sempurnakan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagi kalian.” (Al-Ma`idah: 3)
 
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah.” (Ali ‘Imran: 164)

7. Tentang ajaran wihdatul wujud, Al-Ghazali berkata menyebutkan tingkatan orang-orang shiddiqin: “Mereka adalah segolongan kaum yang melihat Allah Subhanahu Wata’ala dalam keesaan-Nya. Dengan-Nya, mereka melihat segala sesuatu. Dan tidaklah mereka melihat dalam dua tempat selain dari-Nya, dan tidaklah mereka memperhatikan alam wujud selain Dia. Inilah memperhatikan de-ngan pandangan tauhid. Hal ini mengajarkan kepadamu bahwa yang bersyukur adalah yang disyukuri. Dan dia adalah yang mencintai dan yang dicintai [2]. Inilah pandangan seseorang yang mengetahui bahwa tidaklah ada di alam yang wujud ini melainkan Dia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/86)

Bahkan terdapat keterikatan yang kuat antara Al-Ghazali dan Al-Hallaj yang meyakini aqidah wihdatul wujud, bahkan sebagai puncak dari tauhid. (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/247)

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata membantah keyakinan yang bejat ini: “Para salaf mengkafirkan Jahmiyah karena perkataan mereka bahwa Allah Subhanahu Wata’ala berada di semua tempat. Di antara bentuk pengingkaran para salaf adalah: Bagaimana mungkin Allah Subhanahu Wata’ala berada di perut, di tempat-tempat kotor, di tempat-tempat sunyi? Maha Tinggi Allah dari perkara tersebut! Lalu bagaimanakah dengan mereka yang menjadikan perut, tempat-tempat kotor, tempat-tempat sunyi, barang-barang najis, dan kotoran-kotoran sebagai bagian dari Dzat-Nya?” (Majmu’ Fatawa, 2/126)
 
Ahlus Sunnah meyakini bahwa Allah Subhanahu Wata’ala ber-istiwa` di atas ‘Arsy dan Allah Subhanahu Wata’ala tidak membutuhkan ‘Arsy. Dan Allah Subhanahu Wata’ala tidaklah serupa dengan makhluk dalam segala sifat-Nya.
 
Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):
 
“Ar-Rahman ber-istiwa` di atas ‘Arsy.” (Thaha: 5)
 
“Sesungguhnya Rabb kalian telah menciptakan langit dan bumi dalam enam hari kemudian ber-istiwa` di atas Arsy.” (Yunus: 3)
 
“Tidaklah Allah serupa dengan apapun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)

8. Ajaran khalwat atau menyendiri dan menyepi, dan kesalahan dalam memahami ‘uzlah. Al-Ghazali berkata: “Dalam ‘uzlah (menyingkir dan menjauhi umat), ada jalan keluar (kedamaian). Adapun dalam beramar ma’ruf dan nahi mungkar akan meninggalkan perselisihan dan membangkitkan kedengkian hati. Dan siapapun yang mencoba beramar ma’ruf niscaya kebanyakannya akan menyesal.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/228)
 
Bahkan dengan khalwat akan tersingkap kehadiran Rabb dan nampak baginya Al-Haq. (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/78)
 
Syarat-syarat khalwat menurut kaum Shufi:
  • Meminta bantuan dengan ruh para syaikh, dengan perantara gurunya.
  • Menyibukkan diri dengan dzikir sehingga nampak Allah Subahanahu Wata’ala baginya.
  • Bertempat di ruangan yang gelap dan jauh dari suara serta gerakan manusia.
  • Tidak berbicara.
  • Tidak memikirkan kandungan makna Al-Qur`an dan hadits, karena akan menyibukkan dari dzikir yang sebenarnya.
  • Tidak boleh masuk dan keluar dari tempat khalwat kecuali dengan izin dari syaikhnya.
  • Selalu mengikat hati dengan mengingat syaikh. (Ash-Shufiyah wa Ta‘atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 186)
Ini merupakan amalan-amalan yang akan menguburkan nilai-nilai agama yang suci, akibat salah memahami ‘uzlah dan upaya meniru gaya kependetaan.

Makna ‘uzlah bukanlah khalwat ala Shufiyyah yang rancu. Maknanya adalah menjauhi suatu fitnah agar tidak menimpanya, baik itu di dalam rumah ataupun di suatu tempat, yang apabila telah hilang fitnah tersebut maka dia kembali melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, berdakwah, dan berjihad di jalan-Nya. (lihat Ash-Shufiyyah wa Ta`atstsuruha bin Nashraniyyah wal Yahudiyyah, hal. 188)
 
Suatu fitnah harus dihadapi dengan ilmu dan bimbingan yang benar, bukan dengan sikap emosional atau mengekor pola-pola orang kafir. (baca kitab Al-Qaulul Hasan fi Ma’rifatil Fitan)

9. Al-Ghazali lebih mengutamakan as-sama’ (mendengarkan nasyid dan dendang kerohanian) daripada membaca Al-Qur`an. Setelah menceritakan keutamaan as-sama’, beliau berkata: “Dan apabila hati telah terbakar (mabuk) dalam kecintaan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, maka untaian bait syair yang aneh akan lebih membangkitkan sesuatu yang tidak bisa dibangkitkan dengan membaca Al-Qur`an.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 2/301)

Keganjilan kaum Shufi ini merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat. Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata: “Berkumpul untuk mendengarkan dendangan-dendangan rohani baik yang diiringi tepuk tangan, dawai, ataupun rebana, merupakan sesuatu yang tidak pernah dilakukan para shahabat, baik Ahlush Shuffah atau yang lainnya. Demikian pula para tabi’in (tidak pernah melakukannya).” (Majmu’ Fatawa, 11/57)
 
Al-Imam Asy-Syafi’i Rahimahullah berkata: “Tidaklah aku tinggalkan Baghdad kecuali telah muncul at-taghbir (dendang kerohanian) yang dibuat orang-orang zindiq, yang hanya menghalangi manusia dari Al-Qur`an. Dan Yazid bin Harun berkata: “Tidaklah melakukan at-taghbir kecuali orang fasiq.” (Majmu’ Fatawa, 11/569)
 
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang yang membiasakan mencari semangat dengan as-sama’ niscaya tidak akan lembut dan senang hatinya dengan Al-Qur`an. Dan dia tidak akan mendapatkan apapun saat mendengarkan Al-Qur`an sebagaimana ketika mendengarkan bait-bait syair. Bahkan apabila mendengarkan Al-Qur`an, dia akan mendengarkan dengan hati dan lisan yang lalai.” (Majmu’ Fatawa, 11/568)

Orang-orang Shufi telah melupakan firman Allah Subhanahu Wata’ala (yang artinya):

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah apabila diingatkan tentang Allah maka hati-hati mereka bergetar, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka bertambahlah keimanan mereka.” (Al-Anfal: 2)

“Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati akan tenang.” (Ar-Ra’d: 28)

10. Kesalahan yang fatal dalam memahami makna tawakkal, sehingga menghilangkan sebab yang harus ditempuh. Al-Ghazali berkata: “Telah diceritakan dari Banan Al-Hammal: ‘Suatu hari saya dalam perjalanan pulang dari Mesir, dan saya membawa bekal keperluanku. Datanglah kepadaku seorang wanita dan menasehatiku: ‘Wahai Banan, engkau adalah tukang pembawa yang selalu membawa bekal di punggungmu dan engkau menyangka bahwa Dia tidak memberimu rizki?’ Banan berkata: ‘Maka aku buang bekalku’.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/271)
 
Hal ini sangatlah berseberangan dengan bimbingan Al-Qur`an dan As-Sunnah. Allah Subhanahu Wata’ala berfirman (yang artinya):

“Hendaknya kalian mengambil bekal, dan sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Al-Baqarah: 197)

Asy-Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata: “Allah Azza Wa Jalla memerintahkan untuk membawa bekal bagi safar yang mubarak (diberkahi) ini (yakni haji). Sesungguhnya persiapan bekal akan mencukupinya dan bisa mencegah dari harta orang lain, tidak mengemis dan meminta bantuan. Bahkan dengan memperbanyak bekal akan bisa menolong para musafir.” Kemudian beliau berkata: “Adapun bekal yang hakiki yang akan terus bermanfaat di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, inilah bekal untuk menuju rumah abadi.” (Taisirul Karimirrahman hal. 74)

Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menyimpan persediaan makanan untuk 40 hari atau kurang dari itu, maka akan terharamkan dari al-maqam al-mahmud (kedudukan terpuji) yang dijanjikan kepada orang yang bertawakkal di akhirat kelak.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 4/276)

Al-’Iraqi berkata setelah menyebutkan hadits bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mempersiapkan makanan untuk keluarganya selama satu tahun yang diriwayatkan Al-Imam Al-Bukhari: “Apakah Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam telah keluar dari tingkatan orang-orang yang bertawakkal, sebagaimana yang diterangkan Al-Ghazali dalam manhajnya yang rusak dalam masalah tawakkal?” (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 79)
 
Bahkan ketika orang-orang Nasrani menyerbu negeri Baghdad, ia lebih memilih untuk ber-khalwat daripada berjihad. (Abu Hamid Al-Ghazali ‘Aqidatuhu wa Tashawwufuhu hal. 89)

11. Menjauhi suatu yang fitrah, bahkan yang diperintahkan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam, seperti nikah.
 
Al-Ghazali berkata: “Barangsiapa menikah maka sungguh dia telah cenderung kepada dunia.” (Ihya` ‘Ulumiddin, 3/101)
 
Hal ini sangat menyelisihi sabda Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang artinya): “Menikahlah kalian, sesungguhnya aku berbangga dengan banyaknya umat dari kalian, dan janganlah kalian meniru kependetaan Nasrani.” (Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah, 4/385, hadits no. 1782. Beliau mengatakan hadits ini diriwayatkan Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra, 7/78)

PERINGATAN ULAMA SALAF TERHADAP KITAB IHYA` ‘ULUMUDDIN [3]

Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdur-rahman Alusy Syaikh berkata: “Di dalam kitab Ihya`, beliau (yakni Al-Ghazali) menulis dengan metode filsafat dan ilmu kalam dalam banyak pembahasan yang berkaitan dengan permasalahan ketuhanan dan teologi, serta membingkai filsafat dengan syariat. Ibnu Taimiyyah berkata: ‘Namun Abu Hamid telah memasuki ruang lingkup ilmu filsafat dalam banyak hal, yang Ibnu ‘Aqil menyatakan ilmu filsafat sebagai bagian dari zindiq’."

Ibnul ‘Arabi, murid Al-Ghazali mengatakan: “Guru kami Abu Hamid telah masuk dalam cengkeraman ilmu filsafat, dan beliau ingin melepaskannya namun tidak berhasil.” [4]

Abu ‘Ali Ash-Shadafi berkata: “Syaikh Abu Hamid terkenal dengan berbagai berita buruk dan memiliki karya yang besar. Beliau sangat ekstrim dalam tarekat Shufiyyah dan mencurahkan waktunya untuk membela madzhabnya, bahkan menjadi penyeru dalam Shufiyyah. Beliau mengarang berbagai tulisan yang terkenal dalam hal ini dan membahasnya dalam berbagai tempat, sehingga mengakibatkan umat berburuk sangka kepadanya. Sungguh Allah Yang Maha Tahu rahasianya. Dan penguasa di tempat kami di negeri Maghrib –berdasarkan fatwa para ulama– telah memerintahkan untuk membakar dan menjauhi karyanya.”

Adz-Dzahabi berkata: “Karyanya ini penuh dengan musibah yang sungguh sangat tidak menyenangkan.”
 
Ahmad bin Shalih Al-Jaili: “(Al-Ghazali adalah) seorang yang fatwa-fatwanya terbangun dari sesuatu yang tidak jelas. Di dalamnya banyak riwayat-riwayat yang dicampuradukkan antara sesuatu yang tsabit/jelas dengan yang tidak tsabit. Demikian pula apa yang dia nisbatkan kepada para ulama salaf, tidak mungkin untuk dibenarkan semuanya. Ia juga menyebutkan berbagai kejadian-kejadian para wali dan renungan-renungan para wali sehingga mengagungkan posisi mereka. Ia mencampurkan sesuatu yang manfaat dan yang berbahaya.”
 
Abu Bakr Ath-Thurthusi berkata: “Abu Hamid telah memenuhi kitab Ihya` dengan berbagai kedustaan atas nama Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Dan tidaklah ada di atas bumi yang lebih banyak kedustaan darinya, sangat kuat keterikatannya dengan filsafat dan risalah Ikhwanush Shafa, yaitu segolongan orang yang menganggap bahwa kenabian adalah sesuatu yang bisa diraih manusia biasa dan mu’jizat hanyalah halusinasi dan khayalan.”

Semoga Allah Subhanahu Wata’ala selalu menjaga kita dari tipu daya, kesesatan dan makar setan.
Wallahu a’lam.

[1]
Musyahadah menurut kalangan Shufi adalah melihat kehadiran Allah Subhanahu Wata’ala yang kemudian memberikan/membuka rahasia-rahasia-Nya kepada hamba-Nya.
[2] Maksudnya dia telah bersatu dengan Allah, sehingga tidak lagi terpisah antara dia dengan Allah.
[3] Diambil dari kitab At-Tahdzirul Mubin min Kitab Ihya` ‘Ulumiddin karya Asy-Syaikh Abdul Lathif bin Abdurrahman Alusy Syaikh
[4] Tentang akhir kehidupan Al-Ghazali, Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan: “…Oleh karena itu, menjadi jelas baginya (Al-Ghazali, ed) di akhir hayatnya bahwa jalan tasawuf tidaklah menyampaikan kepada tujuannya. Kemudian ia mencari petunjuk melalui hadits-hadits Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Mulailah ia menyibukkan diri dengan Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim. Dan ia meninggal di tengah kesibukannya itu, dalam keadaannya yang paling baik. Beliau juga membenci apa yang terdapat dalam bukunya berupa perkara-perkara semacam itu, yaitu perkara yang diingkari oleh orang-orang.” (‘Aqidah Asfahaniyyah, hal. 108, ed)
 
Judul Asli: "Mengurai Kesesatan Ihya’ ‘Ulumiddin"