Wahai Saudara- Saudariku …
Shalat adalah kebutuhan seorang hamba, sebagaimana makan dan minum.
Sehari saja manusia tidak makan, badannya akan terasa lemas dan tidak berdaya, karena makan adalah hajat manusia dan penopang kesehatan badannya. Jika Kebutuhan jasmani terhadap makanan harus dipenuhi, begitu juga kebutuhan rohani. Kebutuhan hati kita harus dipenuhi dengan banyak berżikir kepada Allāh, di antaranya dengan mengerjakan shalat.
Wahai Saudariku …
Perhatikanlah orang-orang yang tidak shalat! Hidupnya tidak tenang. Meskipun secara lahiriah hidupnya kaya raya dan mempunyai harta yang berlimpah, dia tidak mendapatkan ketenangan dan tidak merasa ṭuma’ninah.
Berbeda dengan orang yang shalat; ia merasa tenang dan bahagia. Melaksanakan shalat dapat menenangkan hati karena di dalam shalat terkandung żikrullāh (mengingat Allāh). Itu membawa ketenangan batin. Sebagaimana firman Allāh,
أَلاَ بِذِكْرِ اللّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allāh-lah hati menjadi tenteram.”
(Q.s. Ar-Ra’d: 28)
Orang yang enggan shalat akan hidup dalam perasaan waswas, ketidaktenangan, ketakutan, dan selalu diganggu oleh setan. Setan selalu menyuruh berbuat maksiat. Meski begitu, orang yang shalat telah memenuhi kebutuhannya, menegakkan hati dan jiwanya.
Wahai Saudariku …
Sebagaimaan kita harus makan dalam berbagai keadaan untuk tetap bertahan hidup, begitu pula dengan shalat.
Bagaimana pun keadaannya, kita harus tetap melakukannya, baik ketika sehat maupun ketika sakit. Musafir (orang yang sedang safar), baik dengan menggunakan bus, pesawat, perahu, kereta api, maupun yang lainnya, ia tetap berkewajiban melakukan shalat. Namun, Pembuat syariat yang Mahabijaksana memberikan rukhṣah (keringanan) bagi musafir untuk mengqaṣar (meringkas) shalat mereka; shalat yang empat rakaat menjadi dua rakaat. Begitu pula orang yang sakit. Dia tetap berkewajiban melakukan shalat. Apabila ia tidak sanggup shalat sambil berdiri, ia boleh shalat sambil duduk. Apabila ia tidak sanggup sambil duduk, ia boleh shalat sambil berbaring. Apabila ia tidak sanggup sambil berbaring, ia boleh shalat dengan rebah terlentang. Apabila ia tidak sanggup juga, ia boleh shalat dengan isyarat.
Bagaimana pun keadaannya, seorang mulism tetap wajib mengerjakan shalat yang lima waktu, kecuali orang-orang yang memang mendapatkan użur syar’i sehingga shalat tidak wajib bagi mereka, seperti wanita haid, wanita nifas, atau orang gila.
Shalat tetap harus dikerjakan bagaimana pun keadaannya. Rasulullahṣallallāhu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan tata cara shalat kepada umatnya.
—
*) Dikutip dari buku Sebaik-Baik Amalan adalah Sholat, karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka At-Taqwa, Bogor.
*) Dikutip dari buku Sebaik-Baik Amalan adalah Sholat, karya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Pustaka At-Taqwa, Bogor.
artikel: www.pemudamuslim.com