Saturday, March 7, 2015

Ngalap Berkah di Kubur atau Pohon Keramat Syirik

,
Ngalap Berkah di Kubur atau Pohon Keramat Syirik

Dari sini kita mengetahui bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang di sisi kubur para wali atau orang soleh berupa mencari berkah (baca: ngalap berkah) dengan menyentuhkan pakaian atau bagian tubuh padanya merupakan perbuatan syirik kepada Allāh ta’ālā.
Dari Abu Waqid al-Laiṡi raḍiyallāhu’anhu, dia menceritakan,
“Dahulu kami berangkat bersama Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menuju Hunain, sedangkan pada saat itu kami masih baru saja keluar dari kekafiran (baru masuk Islam, pent). Ketika itu orang-orang musyrik memiliki sebuah pohon yang mereka beri’tikaf di sisinya dan mereka jadikan sebagai tempat untuk menggantungkan senjata-senjata mereka. Pohon itu disebut dengan Żātu Anwaṭ.
Tatkala kami melewati pohon itu, kami berkata, “Wahai Rasulullah! Buatkanlah untuk kami Żātu Anwaṭ (tempat menggantungkan senjata) sebagaimana mereka memiliki Żātu Anwaṭ.”
Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Allāhu akbar! Inilah kebiasaan itu! Demi Allāh yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalian telah mengatakan sebagaimana ucapan Bani Isrā’il kepada MusaJadikanlah untuk kami sesembahan sebagaimana mereka memiliki sesembahan-sesembahan!” Musa berkata: “Sesungguhnya kalian adalah kaum yang bertindak bodoh.” (QS. al-A’raaf: 138). Kalian benar-benar mengikuti kebiasaan buruk orang-orang sebelum kalian.”
[HR. Tirmidzi]

Faidah Hadits
  • Hadits ini menunjukkan bahwa mencari berkah kepada pohon adalah terlarang -bahkan termasuk syirik-, dan hal itu merupakan salah satu kebiasaan buruk umat-umat terdahulu yang sesat (lihat al-Qaul al-Mufid [1/126 dan 128]).
  • Larangan ini berlaku juga untuk sasaran atau benda-benda yang lain seperti mencari berkah kepada batu, kubur, atau yang lainnya. Termasuk yang terlarang adalah mencari berkah dengan keringat orang soleh, bersentuhan dengan tubuh mereka, atau menyentuh pakaian mereka dan yang semacamnya (lihat al-Jadid, hal. 103).
Hadits ini menunjukkan bahwa orang-orang musyrik di kala itu memiliki keyakinan yang keliru terhadap Żātu Anwaṭ, yang hal itu mencakup tiga perkara:
  1. Mereka mengagung-agungkan pohon tersebut,
  2. Mereka melakukan i’tikaf (berdiam dalam rangka ibadah) di sisinya,
  3. Mereka menggantungkan senjata-senjata mereka dalam rangka mengharapkan keberkahan pohon tersebut mengalir kepada senjata-senjata mereka sehingga diharapkan senjata itu menjadi lebih tajam dan mendatangkan kebaikan yang lebih bagi orang yang menggunakannya (lihat at-Tam-hid, hal. 132).
  • Dari sini kita mengetahui bahwa kebiasaan yang dilakukan oleh sebagian orang di sisi kubur para wali atau orang soleh berupa mencari berkah dengan menyentuhkan pakaian atau bagian tubuh padanya, merupakan perbuatan syirik kepada Allāh ta’ālā.
  • Hadits ini menunjukkan terlarangnya meniru-niru kebiasaan jahiliyah (lihat al-Jadid, hal. 102). Hadits ini juga menunjukkan bahwa jahiliyah itu tidak khusus berlaku bagi orang-orang yang hidup di masa sebelum Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi, siapa pun yang tidak mengetahui kebenaran dan melakukan perbuatan-perbuatan orang jahil, dia tergolong ahlul jahiliyah (lihat al-Qaul al-Mufid [1/130]).
  • Hadits ini menunjukkan disunnahkannya mengucapkan takbir [Allāhu akbar] ketika mengingkari atau heran terhadap sesuatu, demikian juga halnya ucapan tasbih [Subḥānallāh]. Di sisi lain, hadits ini juga menunjukkan bahwa yang menjadi pegangan -dalam menyikapi dan menetapkan hukum- adalah hakikat sesuatu bukan nama atau istilahnya. Kebatilan tetap batil, meskipun nama dan istilahnya berganti (lihat Syarh Kitab Tauhid karya Syaikh Bin Baz, hlm. 66-67)
  • Selain itu, hadits ini juga menunjukkan bahwa orang yang berpindah dari suatu kebatilan yang sudah terbiasa melekat dalam hatinya, terkadang masih ada saja sisa-sisa kebatilan itu pada dirinya. Bahkan, terkadang butuh waktu yang lama untuk menghilangkan sisa keburukan itu (lihat al-Qaul al-Mufid [1/132])
Wallāhu a’lam biṣ ṣawāb.
artikel: www.pemudamuslim.com