Tidak akan ada lagi yang menyangkal bahwasanya madrasah pertama bagi seorang anak adalah di rumahnya. Dan kunci pendidikan tersebut selayaknya dipegang silabus panduannya oleh seorang ibu. Namun sungguh disaat seruan emansipasi dan gender bertiup kencang menyusul tajamnya arus demokrasi yang diikuti reformasi. Maka seakan semua itu sirna ditelan masa.
Sungguh sulit menemukan ibu di kota besar yang sedang mengajarkan anaknya membedakan warna, mengajarkan sang buah hati mengenali tetangga sambil menyuapi makan sorenya, memberikan si kecil di malam hari cerita yang menenangkan hati dan membuat pulas tidur, dan aktifitas lain yang membantu tumbuh kembang kecerdasan serta keterampilan sang anak.
Para orang tua lebih mempercayai kinerja para pengasuh bayi yang kini mudah didapati di setiap biro jasa, walaupun sebagian diantaranya tak langsung percaya dan kadang waspada dibalut dengan curiga tetap ada. Tapi tetap saja kiprah para pembantu masih diperlukan.
Para orangtua seperti ayah tentunya telah berangkat di pagi hari mengais rezeki, adakalanya mereka berangkat ketika sang anak belum bangun dari tidur dan pulang ketika si anak telah bermimpi indah. Keluarga yang mengherankan bila dilihat dari kacamata pandangan pendidikan ideal, namun bagi mereka yang mengalaminya seakan ini adalah pola pendidikan penuh tanggung jawab. Sebuah tanggung jawab yang semoga si anak menirunya ketika besar kelak. Walaupun sang ayah tak tahu pasti akankah si anak yang telah terlatih hidup enak menjadi bijak setelah besar nanti.
Begitu juga para ibu yang sekalipun tidak lebih pagi dari suami, tetap bersiap diri menuju panah target rezeki yang memang telah digelutinya sejak masih usia muda. Dengan dalih alasan pendidikan dirinya yang telah terlanjur berjenjang tinggi sekaligus bergelar gengsi, jika tidak dimanfaatkan akan sangat rugi. Adapula yang mengatakan warisan keluarga wajib diteruskan dengan sekuat tenaga untuk banting tulang menghidupkan usaha. Bahkan secara ekstrim mengatakan bahwasanya bekerja adalah jiwanya sehingga tak boleh siapapun melarangnya sekalipun sang suami telah sanggup mencukupi kehidupan dapur keluarga.
Itulah potret realitas yang sekarang kini ada. Miris memang, tetapi itulah sebuah kenyataan. Tak bisa ditutupi dan sulit untuk tidak dibicarakan. Ada kepentingan besar dibalik ini, lebih dari sekedar mendidik anak. Kepentingan tersebut bernama tanggung jawab. Kemana para ibu pergi ketika sang anak yang beranjak remaja hidup berlimpah materi dengan obat terlarang di tangan kanan dan memeluk gadis di tangan kiri. Sungguh sangat disayangkan, seharusnya mereka berkaca bahwa alangkah baiknya jenjang pendidikan mereka dimanfaatkan untuk mendidik anaknya sendiri, memberikan waktu dan semua kemampuannya untuk tetap dirumah dan memberikan perhatian pada si anak sehari-hari.
Jangan salahkan siapapun ketika bumerang yang akan timbul nantinya. Si anak menjadi pembangkang karena para ibu telah lepas tanggung jawab. Semua kata dibantah dan semua masukan dari ibunda ditolak mentah-mentah. Sang anak lebih senang bercerita ke pembantu yang telah bersama selama puluhan tahun dalam berbagi cerita, padahal si bibi tidak memiliki otoritas pendidikan yang berkapasitas dan jenjang pengalaman memadai. Sehingga para pembantu setia tersebut hanya dapat berkata tidak lebih dari ucapan “sabar... ya den, sabar..... yaa non,”
Harus dibuat komitmen bagi para orang tua jika menginginkan keluarga bahagia. Jangan hanya senang dalam membuat anak namun tak mampu memberikan kebahagiaan hakiki bagi si anak. Sungguh tidak adil kepada hak-hak manusia terlebih mereka adalah anak yang lahir dari rahim suci.
Ibu sebagai tempat pertama kali belajar hendaknya lebih rela mengorbankan waktu dan kesenangannya demi mendidik buah hati. Melempar tanggung jawab bukanlah bijak. Kesan menelantarkan itulah yang akhirnya timbul secara kolektif di lubuk hati orang tua perkotaan.
Jika kita memberikan sedikit waktu untuk mengulas bagaimana kisah hidup manusia-manusia mulia yang memiliki kekayaan jiwa bukan sekedar harta, tentulah mereka yang hidup saat ini akan terkesima. Bagaimana seorang ibu dari Imam Asy Syafi’i membesarkan anaknya hingga menjadi ulama besar dan hebat bahkan diakui kepiawaiannya dalam berbagai disiplin ilmu, mundur kembali kebelakang bagaimana seorang Khansa radhiyallahu ‘anha dapat mengantarkan anaknya menjadi para syuhada mulia dengan didikan hebat dan keberanian yang penuh tekad, serta berbagai kisah perjalanan lain yang mengisi lembaran sejarah masa-masa keemasan. Sebuah lembaran sejarah yang kini telah berganti dengan sebuah otobiografi seorang Bill Gates, George Sorosh, Lady Diana, Bunda Theresa, Bill Clinton, bahkan tak jarang memberikan potret muslim sejati kepada Saddam Hussain, dan sederetan nama yang justru mempermalukan status keagamaan yang dimiliki.
Sungguh ketika indikator materi menjadi orientasi setiap keluarga kini, justru tak pelak menyebabkan semakin jauh generasi berikutnya dari agama yang telah sempurna. Sulit genderang perang melawan orientalis diserukan tapi anak jaman sekarang sedang asyik bersekolah di sekolah berlabel Islam mahal yang akan siap menjadi penghancur Islam. Bukti lepas tanggung jawabnya orang tua yang bekerja ialah ketika kecerobohan mereka memasukkan sang anak kedalam sekolah non-Islam, banyak dalih yang diungkapkan dari mulai tingkat kedisiplinan dan pergaulan yang seimbang juga tingkat kecerdasan maksimal bisa berkembang sudah menjadi trend. Walaupun kini bermunculan sekolah ber-label Islam yang harus dikoreksi kembali kinerjanya. Seorang ‘alim mengatakan bahwasanya sekolah Islam yang ada sekarang ini tidak terlepas dari dua hal; jika tidak mengajarkan anaknya menjadi sekuler-liberal, atau mengajarkan kegiatan ibadah dan keagamaan yang tak pernah disyariatkan.
Pesan Untukmu Orangtua
Butuh sebuah pembenahan yang tak lagi ada di ucapan. Kebangkitan Islam akan datang jika generasi yang hilang dapat terselamatkan. Padahal dalam beerapa ayat Allah Ta’ala telah menegaskan akan peran serta dan kontribusi orang tua dikala mendidik anaknya. Allah memberikan permisalan terhadap bakti seorang anak atas didikan orangtuanya seperti dalam QS. Luqman : 12 – 19
“Dan Sesungguhnya Telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), Maka Sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya Telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, Hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, Dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
Luqman ‘alayhis salam telah mengajarkan tentang cara dan bagaimana model pembinaan dalam mendidik seorang anak. Beliau alaihis salam telah menanamkan pendidikan mengenal Allah untuk anaknya sebagai fase pertama dalam pendidikan anak. Sungguh sangat berbeda dengan realita yang terjadi saat ini kadangkala pemukulan atas anak yang tidak melakukan shalat dianggap sebagai bentuk tindakan KDRT dan dianggap sebagai metode pendidikan yang telah usang. Orangtua akhirnya mendidik anaknya dengan mencontoh televisi yang penuh dengan kehinaan.
Payahnya lagi, orangtua justru menelantarkan anaknya di depan televisi dan diperbolehkan mengakses teknologi tanpa pengawasan, entah itu internet ataukah telepon. Sebab mereka berfikir, metode pendidikan yang efektif bagi para orangtua dengan tingkat kesibukan tinggi ialah dengan memenuhi apa yang diinginkan oleh sang anak. Sebelum akhirnya nanti mereka khawatir sang anak akan menuntut haknya kepada orangtua yang paling asasi, yakni bentuk pendidikan dan kasih sayang secara langsung.
Ibnul Qayyim dalam Tuhfatul Maududu bi Ahkamil Maulud memaparkan penjelasan yang sangat gamblang. Beliau rahimahullah berkata, “Bila anak dilatih ketika awal bicara dengan kalimat ‘Laa Ilaha Ilallah’ maka hendaknya kalimat yang pertamakali ia dengar adalah tentang pengenalan kepada Allah Ta’ala, mentauhidkanNya, dan Allah bersemayam diatas ‘Arsy, melihat dan mendengarkan hambaNya serta Dia bersama hambaNya dimana saja ia berada”
Beliau rahimahullah menjelaskan kembali, “Barangsiapa tidak mendidik anaknya tentang perkara yang bermanfaat dan menelantarkan pendidikan mereka maka ia telah melakukan kesalahan fatal. Kebanyakan anak rusak akibat dari keteledoran dan kesalahan orangtua yang tidak mau mengajarkan kepada anak-anak tentang pokok-pokok ajaran Islam, sehingga mereka hidup penuh dengan penyesalan dan sia-sia, mereka tidak mengambil manfaat dari mereka. Sebagian mereka (orangtua) ada yang mencela anaknya atas sikap durhaka kepada orangtua maka anak membalas, “Wahai bapakku engkau menyia-nyiakan aku pada masa kecil maka pada masa dewasa aku mendurhakaimu dan engklau telah menelantarkanku pada masa kecil, maka aku sekarang menelantarkanmu ketika kamu menginjak masa tua.”
Rasulullah shalallahu ‘alayhi wasallam dimasanya adalah seorang kepala negara, dalam konteks saat ini, pastilah seorang kepala negara adalah orang tersibuk dengan jadwal yang sangat menyita waktu termasuk untuk menengok anaknya. Namun ini tidak terjadi kepada beliau shalallahu ‘alayhi wa sallam. Abdullah bin Ja’far radhiyallohu anhu mengatakan, “Bila Rasulullah datang dari bepergian disambut anak-anak kecil dari keluarganya. Pernah suatu ketika beliau datang dari bepergian disambut anak-anak kecil dari keluarganya. Pernah suatu ketika beliau datang dari bepergian dan aku diajak untuk menyambutnya lalu aku dituntun dihadapannya dan beliau menggandeng kedua anak Fathimah, al-Hasan dan al-Husain sementara Rasulullah shalallahu ‘alayhi wa sallam dibonceng dibelkangnya hingga kami masuk Madinah bertiga naik tunggangannya.” (HR. Muslim 2428).
Sungguh bagi setiap orang tua yang masih memiliki hati nurani sekalipun sedikit mestilah mereka akan sangat mencintai anaknya. Cinta adalah membutuhkan suatu tindakan, kecintaan kepada anak adalah bukan sekedar memberikan apa yang diinginkan, melempar tanggung jawab kepada anak dengan mengutus baby sitter atau pembantu rumah tangga, bukan pula memasukkan secara paksa ke lembaga pendidikan beragam label dengan tuntutan penuh waktu di lembaga pendidikan tersebut. Kecintaan itu adalah, luangkan waktu bersama dengan anak dalam sehari. Jangan sampai engkau wahai orang tua, pergi dalam keadaan anak masih tidur dan pulang dalam keadaan sang anak kembali tertidur dan bermimpi. Mimpi agar orangtuanya bisa membacakan kisah Sirah Nabawiyah atau sejarah para generasi terbaik Islam, bukan memberikan kepingan VCD berisi dongeng cerita rakyat.
Oleh Rizky Aji dari sobatmuda.com