Al Ustadz Idral Harits
"Kiai-ku
lebih pintar dari kamu!", "Imamku-lah yang paling benar!",
ungkapan-ungkapan seperti ini sering kita dengar ketika ada nasehat
disampaikan. Inilah antara lain gambaran taqlid dan fanatisme golongan,
penyakit yang telah lama menjangkiti umat.
Hancurnya
kaum muslimin dan jatuhnya mereka ke dalam kehinaan tidak lain
disebabkan kebodohan mereka terhadap Kitab Allah dan Sunnah Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta tidak memahami pengertian dan
pelajaran yang terdapat pada keduanya.
Demikian
pula yang menjatuhkan umat Islam ke dalam perbuatan bid’ah serta
khurafat. Bahkan kebodohan terhadap agamanya ini merupakan faktor utama
yang menumbuhsuburkan taqlid.
Berbagai
kebid’ahan tumbuh dengan subur di atas ketaqlidan dan kebodohan yang
ada di tengah-tengah kaum muslimin. Hal ini juga disebabkan adanya pada
dajjal (pembohong besar) dari berbagai golongan (sempalan) yang
menyandarkan dirinya kepada imam-imam madzhab yang telah dikenal.
Padahal pengakuan mereka yang menyebutkan bahwa mereka adalah pengikut
para imam tersebut adalah pengakuan dusta.
Kita
dapati dalam kitab-kitab tentang tafsir, fiqih, tasawwuf ataupun syarh
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbagai kebid’ahan bahkan
khurafat yang ditulis oleh mereka yang menyatakan dirinya bermadzhab
Fulani. Innaa lillah wa Inna ilaihi raji’un.
Begitu
hebatnya penyakit ini melanda kaum muslimin seakan-akan sudah menjadi
wabah yang tidak ada obatnya di dunia ini. Dan akibat taqlid ini,
muncullah sikap-sikap fanatik terhadap apa yang ada pada dirinya atau
kelompoknya. Sampai-sampai seorang yang bermadzhab dengan satu madzhab
tertentu tidak mau menikahkan puterinya dengan orang dari madzhab lain,
tidak mau pula shalat di belakang imam yang berbeda madzhab, dan
sebagainya. Bahkan yang ironis, di antara penganut madzhab ada yang
saling mengkafirkan. Inilah sesungguhnya penyakit yang mula-mula menimpa
makhluk ciptaan Allah. Iblis yang terkutuk, makhluk pertama yang
mendurhakai Allah, tidak lain disebabkan oleh sikap fanatiknya, di mana
dia merasa unggul karena unsur yang menjadi asal dia diciptakan. Allah
subhanahu wa ta’ala menerangkan hal ini: "Aku lebih baik daripadanya. Engkau menciptakanku dari api sedangkan dia Kau ciptakan dari tanah." (Al A’raf: 12)
Definisi Taqlid
Definisi Taqlid
Taqlid secara bahasa diambil dari kata (قَلَّدَ، يُقَلِّدُ)
yang bermakna mengikatkan sesuatu di leher. Jadi orang yang taqlid
kepada seorang tokoh, ibarat diberi tali yang mengikat lehernya untuk
ditarik seakan-akan hewan ternak. Sedangkan menurut istilah, taqlid
artinya beramal dengan pendapat seseorang atau golongan tanpa didasari
oleh dalil atau hujjah yang jelas.
Dari
pengertian ini, jelaslah bahwa taqlid bukanlah ilmu dan ini hanyalah
kebiasaan orang yang awam (tidak berilmu) dan jahil. Dan Allah subhanahu
wa ta’ala telah mencela sikap taqlid ini dalam beberapa tempat dalam Al
Qur’an. Firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Atau
adakah Kami memberikan sebuah kitab kepada mereka sebelum Al Qur’an lalu
mereka berpegang dengan kitab itu? Bahkan mereka berkata: ‘Sesungguhnya
kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan sesungguhnya
kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak
mereka.’ Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang
pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang
hidup mewah di negeri itu berkata: ‘Sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka.’ (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan
mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih
(nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapak
kalian menganutnya?’ Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami mengingkari
agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.’ Maka Kami binasakan
mereka, maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang
mendustakan itu." (Az-Zukhruf: 21-25)
Al-Imam
Asy-Syaukani rahimahullah sebagaimana dinukil oleh Asy-Syaikh Muqbil
bin Hadi rahimahullah, mengatakan: "Ayat-ayat ini adalah dalil terbesar
tentang batil dan jeleknya taqlid. Karena sesungguhnya orang-orang yang
taqlid ini, mengamalkan ajaran agama mereka hanyalah dengan pendapat
para pendahulu mereka yang diwarisi secara turun temurun. Dan apabila
datang seorang juru dakwah yang mengajak mereka keluar dari kesesatan,
kembali kepada al-haq, atau menjauhkan mereka dari kebid’ahan yang
mereka yakini dan warisi dari para pendahulu mereka itu tanpa didasari
dalil yang jelas -hanya berdasarkan katanya dan katanya-, mereka
mengatakan kalimat yang sama dengan orang yang biasa bermewah-mewah:
‘Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan
sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.’ Atau ungkapan
lain yang semakna dengan ini."
Firman Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Mereka menjadikan pendeta-pendeta dan ahli-ahli ibadah mereka sebagai Rabb selain Allah." (At-Taubah: 31)
Maksudnya,
mereka menjadikan para ulama dan ahli ibadah di kalangan mereka sebagai
Rabb selain Allah. Artinya, ketika para ulama dan ahli ibadah itu
menghalalkan untuk mereka apa yang diharamkan oleh Allah, mereka
mengikuti penghalalan tersebut. Dan ketika mereka mengharamkan sesuatu
yang dihalalkan oleh Allah mereka juga mengikuti pengharaman tersebut.
Bahkan ketika para ulama dan ahli ibadah tersebut menetapkan suatu
syariat yang baru dalam agama mereka yang bertentangan dengan ajaran
para Rasul itu, mereka juga mengikutinya. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman (yang artinya):"Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya? Mereka menjawab: ‘Kami dapati bapak-bapak kami menyembahnya’." (Al-Anbiya’: 52-53)
Dan
perhatikanlah bagaimana jawaban yang mereka berikan. Walhasil, taqlid
ini menghalangi mereka untuk menerima kebenaran, sebagaimana disebutkan
oleh Allah subhanahu wa ta’ala (yang artinya): "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (Az-Zukhruf: 24)
Dan
para ulama menjadikan ayat-ayat ini dan yang semakna dengannya sebagai
hujjah (pedoman hukum) tentang batilnya taqlid. Tidaklah menjadi
halangan bagi mereka untuk berhujjah dengan ayat ini meskipun ayat ini
berbicara tentang orang-orang kafir, karena kesamaan yang terjadi bukan
pada kekufuran satu golongan atau keimanan yang lain, akan tetapi
kesamaannya adalah bahwa taqlid itu terjadi karena keduanya sama-sama
mengikuti suatu keyakinan atau pendapat tanpa hujjah atau dalil yang
jelas.
Demi
Allah Yang Maha Agung, sesungguhnya kaum muslimin itu, ketika
benar-benar sebagai kaum muslimin yang sempurna dan benar keislaman
mereka, keadaan mereka senantiasa mendapat pertolongan dan menjadi
pahlawan-pahlawan yang membebaskan berbagai negara dan menundukkannya di
bawah kedaulatan muslimin. Akan tetapi ketika mereka mengubah-ubah
perintah-perintah Allah, maka Allah-pun memberi balasan kepada mereka
dengan mengganti nikmat-Nya kepada mereka, dan menghentikan kekhalifahan
yang ada di tangan mereka. Dan inilah kenyataan yang kita saksikan dan
kita rasakan.
Al-’Allamah
Al-Ma’shumi mengatakan bahwa termasuk yang berubah adalah adanya
prinsip dan kewajiban harusnya seorang muslim bermadzhab dengan satu
madzhab tertentu dan bersikap fanatik meskipun dengan alasan yang batil.
Padahal madzhab-madzhab ini baru muncul sesudah berakhirnya masa tiga
generasi terbaik umat ini. Dan akhirnya dengan bid’ah ini tercapailah
tujuan Iblis memecah-belah kaum muslimin. Kita berlindung kepada Allah
subhanahu wa ta’ala dari hal itu.
Beliau
juga menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan harusnya seseorang
bermadzhab dengan satu madzhab tertentu sesungguhnya dibangun di atas
satu kepentingan politik tertentu, dan ambisi-ambisi atau tujuan
pribadi. Dan sesungguhnya madzhab yang haq dan wajib diyakini dan
diikuti adalah madzhab junjungan kita Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang merupakan Imam yang Agung yang wajib diikuti, kemudian
para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): "Dan apa-apa yang datang dari Rasul kepada kamu maka ambillah dia, dan apa yang kamu dilarang mengerjakannya maka jauhilah!" (Al-Hasyr: 7)
Dan
adapun yang dimaksud dengan Sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang harus
diikuti tidak lain adalah jalan hidup mereka yang sesuai dengan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Daftar bacaan:
1. Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘Abdil Barr
2. Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
3. Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi
4. Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al-Albani
5. Ma’na Qaulil Imam Al-Muththalibi, As-Subki
6. Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ani
7. Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi
8. Al-Ihkam, Ibnu Hazm
Daftar bacaan:
1. Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi, Ibnu ‘Abdil Barr
2. Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i
3. Hadiyyatus Sulthan, Muhammad Sulthan Al-Ma’shumi
4. Al-Hadits Hujjatun Binafsihi, Asy-Syaikh Al-Albani
5. Ma’na Qaulil Imam Al-Muththalibi, As-Subki
6. Irsyadun Nuqqad, Al-Imam Ash-Shan’ani
7. Al-Mudzakkirah, Asy-Syinqithi
8. Al-Ihkam, Ibnu Hazm
Al-Imam Abu Hanifah rahimahullah mengatakan, "Tidak halal bagi siapapun mengambil pendapat kami tanpa mengetahui dari mana kami mengambilnya." Dalam riwayat lain, beliau mengatakan, "Haram bagi siapapun yang tidak mengetahui dalil yang saya pakai untuk berfatwa dengan pendapat saya. Karena sesungguhnya kami adalah manusia, perkataan yang sekarang kami ucapkan, mungkin besok kami rujuk (kami tinggalkan)."
Al-Imam
Malik rahimahullah mengatakan, "Saya hanyalah manusia biasa, mungkin
salah dan mungkin benar. Maka perhatikanlah pendapatku, apabila sesuai
dengan Al Qur’an dan As Sunnah maka ambillah. Dan apabila tidak sesuai
dengan keduanya maka tinggalkanlah."
Al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan, "Semua permasalahan yang sudah
disebutkan dalam hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam dan berbeda dengan pendapat saya, maka saya rujuk dari
pendapat itu ketika saya masih hidup ataupun sudah mati."
Al-Imam
Ahmad rahimahullah mengatakan, "Janganlah kalian taqlid kepadaku dan
jangan taqlid kepada Malik atau Asy-Syafi’i, atau Al-Auza’i, ataupun
(Sufyan) Ats-Tsauri. Tapi ambillah (dalil) dari mana mereka
mengambilnya."
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’Edisi ke-10 Tahun ke-3 / 04 Februari 2005 M / 24 Dzul Hijjah 1425 H