بسم
الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi
Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, kepada
keluarganya, kepada para sahabatnya dan orang-orang yang mengikutinya hingga
hari Kiamat, amma ba’du:
Allah Azza wa
Jalla berfirman,
إِنَّ اللّهَ لاَ يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُواْ مَا
بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan
suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS. Ar Ra’d: 11)
Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Jahm dari Ibrahim, ia berkata,
“Allah mewahyukan kepada salah seorang Nabi dari para nabi Bani Israil, yang
isinya, “Katakan kepada kaummu, “Sesungguhnya tidak ada penduduk suatu kampung
dan penghuni suatu rumah yang sebelumnya berada di atas ketaatan kepada Allah,
lalu beralih kepada maksiat, melainkan akan berubah keadaan yang sebelumnya
mereka senangi kepada keadaan yang mereka benci.” Ia berkata, “Hal ini
dibenarkan dalam kitabullah yang berbunyi, “Sesungguhnya Allah tidak merubah
keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka
sendiri.“ (QS. Ar Ra’d: 11)
Komentar
para mufassir
(1) Menurut As Samarqandiy, maksud firman Allah Ta’ala,
“Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah
keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah, bahwa Allah tidak akan
merubah kenikmatan yang ada pada suatu kaum yang Allah berikan kepada mereka,
sampai mereka merubah, yakni merubah diri mereka dengan meninggalkan sikap
syukur[1].
Al Faqih Abul
Laits rahimahullah berkata, “Dalam ayat tersebut terdapat peringatan kepada
semua manusia agar mengenali nikmat yang Allah berikan kepada mereka dan
mensyukurinya agar kenikmatan itu tidak hilang dari mereka.”
(2) Menurut Ibnu Abi Zamanain, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah apabila mengutus seorang
rasul kepada suatu kaum, lalu mereka mendustakannya, maka Allah akan
membinasakan mereka[2].
(3) Menurut Abu Bakr Al Jaza’iri, maksud firman Allah, “Sesungguhnya
Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri,“ adalah Allah tidak merubah keadaan suatu kaum
yang sebelumnya berada dalam afiyah (keselamatan) dan nikmat kepada musibah dan
azab, sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Ia juga berkata
tentang maksud ayat di atas, “Allah Ta’ala memberitahukan tentang salah satu
sunnah (ketetapan) di antara sunnah-sunnah-Nya terhadap makhluk-Nya yang terus
berlaku, yaitu, bahwa Dia tidaklah menyingkirkan nikmat yang Dia karuniakan
kepada suatu kaum, baik berupa keselamatan, keamanan, maupun kelapangan yang
disebabkan keimanan dan amal saleh mereka sampai mereka merubah keadaan mereka
yang sebelumnya bersih kemudian dikotori oleh dosa dan tenggelam di dalam
maksiat akibat berpaling dari kitab Allah, meremehkan syariat-Nya, menolak
batasan-Nya, tenggelam dalam syahwat, dan menempuh jalan-jalan kesesatan.”
(4)
Menurut Al Wahidiy, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak
merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri,“ adalah bahwa Dia tidak akan mencabut kenikmatan yang ada
pada suatu kaum sampai mereka mengerjakan kemaksiatan kepada-Nya.
(5) Menurut As Sam’ani, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Dia tidak akan merubah sedikit pun
nikmat yang diberikan kepada suatu kaum, sampai mereka merubah keadaan diri
mereka dengan bermaksiat.
(6) Menurut Al Baghawi, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak akan merubah keadaan
suatu kaum yang berada dalam keselamatan dan kenikmatan, sampai mereka merubah
keadaan diri mereka dari keadaan yang baik tersebut lalu berbuat maksiat kepada
Tuhan mereka.
(7) Menurut Ibnu ‘Athiyyah, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah memberitahukan, Dia tidaklah
merubah keadaan suatu kaum dengan menimpakan azab dan musibah sampai terjadi
tindak kemaksiatan dari mereka dan mereka merubah ketaatan yang diperintahkan
(dengan kemaksiatan).
(8) Menurut Ibnul Jauziy, maksud firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah tidak akan mencabut
nikmat-nikmat-Nya dari mereka sampai mereka merubah keadaan diri mereka dengan
mengerjakan kemaksiatan kepada-Nya.
(9) Menurut Ar Raziy, pendapat para mufassir menunjukkan, bahwa
maksudnya, Allah tidak akan merubah keadaan mereka yang berada dalam kenikmatan
dengan menggantinya menurunkan siksa, kecuali jika muncul dari mereka
kemaksiatan dan kerusakan.
(10) Menurut Al Qurthubiy, tentang firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya
Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada
pada diri mereka sendiri,“ bahwa Allah Ta’ala memberitahukan di ayat ini,
bahwa Dia tidaklah merubah keadaan suatu kaum sampai mereka melakukan
perubahan, baik dari kalangan mereka, pengawas mereka, atau dari salah seorang
mereka karena suatu sebab, sebagaimana Allah merubah keadaan orang-orang yang
kalah pada perang Uhud karena sebab sikap berubah yang dilakukan oleh para
pemanah, dan contoh-contoh lainnya yang ada dalam syariat. Maksud ayat tersebut
bukanlah berarti tidak ada siksa yang turun kepada seseorang kecuali setelah
didahului oleh dosa, bahkan bisa saja musibah turun karena dosa yang lain
sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Apakah
kita akan binasa, sedangkan di tengah-tengah kita masih banyak orang yang
saleh?” Beliau menjawab, “Ya, jika keburukan (kefasikan) banyak
terjadi.” (HR. Bukhari, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Zainab binti
Jahsy, Shahihul Jami’ no. 7176), wallahu a’lam.
(11)
Menurut An Nasafi, maksud firman Allah
Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah
tidak merubah keadaan suatu kaum yang sebelumnya berada dalam keselamatan dan
kenikmatan sampai mereka merubah keadaan diri mereka dengan banyak melakukan
kemaksiatan.
(12)
Menurut Al Khazin, maksud firman Allah
Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan suatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah
tidak akan merubah keadaan suatu kaum yang berada dalam keselamatan dan
kenikmatan yang Dia berikan kepada mereka sampai mereka mereka merubah keadaan
diri mereka dari yang keadaan sebelumnya baik, beralih kepada maksiat dan
mengingkari nikmat-nikmat-Nya, ketika itulah turun siksa-Nya kepada mereka.
(13)
Menurut Asy Syaukani, maksud firman
Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa
Allah tidak akan mencabut nikmat yang Dia berikan kepada suatu kaum sampai
mereka merubah keadaan diri mereka kepada kebaikan dan amal saleh atau kepada
fitrah yang Allah ciptakan mereka di atasnya.
(14)
Menurut Asy Syinqithi maksud firman
Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa
Allah tidak akan mencabut nikmat yang Dia karuniakan kepada suatu kaum sampai
mereka merubah ketaatan dan amal saleh yang mereka lakukan. Makna seperti ini
juga dijelaskan di tempat yang lain dalam Al Qur’an, misalnya firman Allah
Ta’ala, “(siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah
sekali-kali tidak akan merubah suatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Terj.
QS. Al Anfaal: 53) dan firman Allah Ta’ala, “Dan apa saja musibah yang
menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (Terj. QS. Asy
Syuuraa: 30).
(15)
Menurut Az Zuhailiy, maksud firman
Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa
Allah tidak merubah keadaan yang ada pada suatu kaum berupa kenikmatan dan
keselamatan, lalu Dia hilangkan hal itu dari mereka dan menghukum mereka
kecuali karena mereka merubah diri mereka dengan melakukan kezaliman, kemaksiatan,
kerusakan, mengerjakan keburukan dan dosa yang merobohkan bangunan masyarakat
dan menghancurkan eksistensi umat. Imam Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah
meriwayatkan dari Abu Bakar Ash Shiddiq ia berkata: Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya manusia apabila melihat orang yang
berbuat zalim, lalu mereka tidak mencegahnya, maka hampir saja Allah meratakan
azab kepada mereka.”
Menurutnya juga,
bahwa di ayat ini Allah Ta’ala menerangkan karunia-Nya dan keadilan-Nya, yaitu
bahwa Dia tidak menyiksa tanpa adanya dosa sebelumnya.
(16)
Menurut As Sa’diy, maksud firman Allah
Ta’ala, “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka
merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri,“ adalah bahwa Allah
tidak akan merubah keadaan yang ada pada suatu kaum, berupa kenikmatan, ihsan,
dan kehidupan yang menyenangkan sampai mereka merubah keadaan diri mereka
dengan berpindah dari keimanan kepada kekafiran, dari ketaatan kepada
kemaksiatan, atau dari mensyukuri nikmat Allah kepada mengkufurinya, sehingga
Allah mencabut kenikmatan itu dari mereka. Demikian pula, ketika manusia
merubah keadaan diri mereka dari maksiat kepada ketaatan kepada Allah, maka
Allah akan merubah keadaan mereka dari kesengsaraan kepada kebaikan, kesenangan,
kegembiraan, dan rahmat.”
Kesimpulan
QS. Ar Ra’d: 11
1.
Keadilan Allah Ta’ala, bahwa Dia tidak
memberikan hukuman tanpa adanya dosa.
2.
Kemaksiatan merupakan penyebab
dicabutnya nikmat sebagaimana ketaatan merupakan penyebab tetapnya nikmat.
3.
Musibah dan tercabutnya nikmat bisa
saja terjadi karena tindakan kemaksiatan orang lain ketika orang yang mampu
mengingkari malah membiarkan.
Wallahu
a'lam, wa shallallahu 'alaa nabiyyinaa
Muhammad wa 'alaa aalihi wa shahbihi wa sallam.
Marwan bin Musa
Maraji’: Maktabah Syamilah versi 3.45, Tafsir Al
Qur’anil Azhiim (Isma’il bin Katsir), Aisarut Tafasir (Abu Bakr Al Jaza’iriy),
An Nukat wal ’Uyun (Abul Hasan Ali Al Mawardi), Bahrul Ulum (Abul
Laits As Samarqandiy), Tafsir Al Qur’anil ’Aziz (Ibnu Abi Zamanain), Lathaa’iful
Isyarat (Abdul Karim Al Qusyairiy), Al Wajiz fii Tafsiril Kitabil ’Aziz (Abul
Hasan Al Wahidi), Tafsirul Qur’an (Abul Muzhaffar As Sam’ani), Ma’alimut
Tanzil Fii Tafsiril Qur’an (Abu Muhammad Al Baghawi), Al Muharrar
Al Wajiz fii Tafsiril Kitabil ’Aziz (Ibnu Athiyyah Al Andalusi), Hidayatul
Insan bitafsiril Qur’an (Abu Yahya Marwan), Zaadul Masiir (Ibnul
Jauziy), Mafaatihul Ghaib (Fakhruddin Ar Raaziy), Al Jaami’ Liahkamil
Qur’an (Abu Abdillah Syamsuddin Al Qurthubi), Mausu’ah Haditsiyyah
Mushaghgharah (Markaz Nurul Islam Liabhatsil Qur’ani was Sunnah), Madarikut
Tanzil wa Haqaa’iqut Ta’wil (Abul Barakat An Nasafi), Lubabut ta’wil fii
Ma’anit Tanzil (Alauddin Ali Al Khazin), Ad Durrul Mantsur fit tafsir
bil Ma’tsur (jalaluddin As Suyuthi), Fathul Qadir (M. Ali Asy
Syaukani), Adhwa’ul Bayan fii Idhahil Qur’ani bil Qur’an (Muhammad Al
Amin Asy Syinqithi), At Tafsirul Munir fil ’Aqidah wasy Syari’ah wal Manhaj
(Dr. Wahbah Az Zuhailiy), Taisirul Karimir Rahman fi Tafsir Kalaamil Mannan
(Abdurrahman As Sa’diy), dll.
[1] Dengan demikian, hal ini seperti pada
kisah kaum Saba’ yang sebelumnya berada dalam kemakmuran dan kenikmatan, tetapi
ketika mereka bersikap kufur, maka Allah ganti kenikmatan itu dengan musibah
dan azab (lihat QS. Saba’: 15-21).
[2] Oleh karenanya, pada lanjutan ayat
tersebut, Allah berfirman, “Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
suatu kaum,” yakni azab. “Maka tidak ada yang dapat menolaknya;” yakni
menolak azab itu selain Allah. Dalam ayat lain, Allah berfirman, “Maka
larilah kepada Allah (dengan kembali menaati-Nya). Sesungguhnya aku seorang
pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu.” (Terj. QS. Adz
Dzaariyat: 50) Digunakan kata “fafirru” (maka larilah kepada Allah)
karena tidak ada jalan untuk meloloskan diri dari azab-Nya kecuali dengan
kembali kepada-Nya.