Al Ustadz Abu Musa Saifuddin Zuhri , Lc
Sesungguhnya
setiap muslim telah dibimbing untuk senantiasa memohon kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala agar ditunjukkan kepada jalan yang lurus, yaitu
jalan yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ini sebagaimana doa yang selalu dilantunkan dalam shalat yakni saat
membaca surat Al-Fatihah.
Surat
tersebut mengandung permohonan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar
bisa berpegang dengan ajaran Islam secara benar dan dijauhkan dari
mengikuti jalan Yahudi dan Nashara. Namun barangkali karena tidak
memahami apa yang terkandung dalam doa yang dibaca atau tidak
menghadirkan hati ketika membacanya, maka kita melihat sebagian kaum
muslimin banyak yang terjatuh dalam perbuatan meniru-niru orang kafir.
Diantara bentuk meniru-niru orang kafir yang banyak dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah sebagai berikut:
1.
Mengeramatkan kuburan/makam tertentu, mengagungkan orang-orang shalih
secara berlebihan, serta menjadikan kuburan mereka sebagai masjid, yaitu
dengan melakukan berbagai bentuk ibadah di atasnya atau dengan mengubur
seseorang di masjid.
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah menjelaskan: “Dan di
antara perbuatan bid’ah dan perkara yang mengantarkan pada perbuatan
syirik adalah apa yang dilakukan di sekitar kuburan berupa shalat,
membaca Al Qur’an, dan membangun masjid atau bangunan kubah di atasnya.
Ini semua adalah bid’ah dan kemungkaran, serta menghantarkan pada syirik
besar.
Oleh karena itu, telah datang hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Allah melaknat Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Kemudian setelah menyebutkan hadits lain yang semakna dengan hadits di atas, beliau rahimahullah menyatakan:
Oleh karena itu, telah datang hadits yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda: “Allah melaknat Yahudi dan Nashara yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Kemudian setelah menyebutkan hadits lain yang semakna dengan hadits di atas, beliau rahimahullah menyatakan:
“Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dalam dua hadits
ini dan hadits-hadits lainnya yang semakna dengan kedua hadits tersebut
bahwasanya Yahudi dan Nashara menjadikan kuburan nabi-nabi mereka
sebagai masjid. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan
umatnya untuk tidak meniru-niru mereka dengan menjadikan kuburan sebagai
masjid. Seperti shalat, i’tikaf, dan membaca Al Qur’an di kuburan,
karena semua itu termasuk dari perkara-perkara yang akan menyebabkan
kesyirikan. Termasuk dalam perkara ini adalah membuat bangunan di atas
kuburan, membangun kubah, serta memberikan kain kelambu di atasnya. Maka
semua itu adalah hal-hal yang menyebabkan kesyirikan dan
berlebih-lebihan terhadap yang dikubur. Sebagaimana hal tersebut telah
terjadi di kalangan Yahudi dan Nashara dan juga orang-orang bodoh dari
umat sekarang ini…” (Fatawa Muhimmah Tata’allaq Bil ‘Aqidah, hal. 14-15 )
2. Merayakan perayaan-perayaan yang tidak ada dalam Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan perayaan orang-orang kafir sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya:
2. Merayakan perayaan-perayaan yang tidak ada dalam Islam.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan perayaan orang-orang kafir sebagaimana tersebut di dalam firman-Nya:
وَالَّذِيْنَ لاَيَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan az-zuur.” (Al-Furqan: 72)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang tafsir ayat tersebut: “Dan sungguh telah berkata lebih dari satu orang dari kalangan salaf tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata tentang tafsir ayat tersebut: “Dan sungguh telah berkata lebih dari satu orang dari kalangan salaf tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَالَّذِيْنَ لاَيَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ
Mereka mengatakan (tentang makna az-zuur) yaitu hari-hari raya orang kafir. (Majmu Fatawa, 25/331)
Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menghadiri perayaan orang-orang kafir terlebih merayakannya.
Dan termasuk dalam hal ini adalah menjadikan hari raya mereka sebagai hari libur, seperti mengkhususkan hari Sabtu dan Ahad sebagai hari libur.
Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Arab Saudi) menyebutkan dalam fatwanya: “Tidak boleh mengkhususkan hari Sabtu atau Ahad sebagai hari libur, atau menjadikan keduanya sebagai hari libur karena hal itu termasuk meniru-niru orang Yahudi dan Nashara. Karena sesungguhnya Yahudi meliburkan hari Sabtu dan Nashara meliburkan hari Ahad dalam rangka memuliakan kedua hari tersebut…” (Fatawa Al-Lajnah, 2/75)
Kemudian lebih rinci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan: “Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka. Tidak pula dalam makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh untuk mengadakan pesta, memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/ tempat tertentu dalam rangka menyemarakkan perayaan tersebut, pent).” (Majmu’ Fatawa, 25/329)
Namun sangat disayangkan masih banyak di antara kaum muslimin yang meniru-niru perayaan mereka. Bahkan ada yang ikut serta merayakan hari raya mereka. Di antaranya ada yang memberikan ucapan selamat atau ikut meramaikannya dengan berbagai acara seperti meniup terompet pada malam tahun baru dan yang semisalnya. Serta memasang hiasan-hiasan di rumahnya pada saat perayaan mereka.
Selanjutnya termasuk dalam hal ini adalah memperingati hari kelahiran seseorang baik itu memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (perayaan Maulud Nabi) atau hari kelahiran lainnya. Begitu pula merayakan peristiwa-peristiwa tertentu seperti Isra’ Mi’raj, awal tahun baru Hijriyyah, serta merayakan hari atau pekan tertentu sebagai hari khusus untuk beramal seperti hari ibu, pekan kebersihan, dan sebagainya.
Ini bukan berarti kaum muslimin mengabaikan serta tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut. Bahkan kaum muslimin senantiasa dituntut untuk selalu mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun (hal ini dilarang) karena perayaan adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh dikhususkan dengan dilakukan secara berulang-ulang (ditradisikan, red) kecuali ada perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya.
Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk menghadiri perayaan orang-orang kafir terlebih merayakannya.
Dan termasuk dalam hal ini adalah menjadikan hari raya mereka sebagai hari libur, seperti mengkhususkan hari Sabtu dan Ahad sebagai hari libur.
Al-Lajnah Ad-Daimah (Lembaga Fatwa Arab Saudi) menyebutkan dalam fatwanya: “Tidak boleh mengkhususkan hari Sabtu atau Ahad sebagai hari libur, atau menjadikan keduanya sebagai hari libur karena hal itu termasuk meniru-niru orang Yahudi dan Nashara. Karena sesungguhnya Yahudi meliburkan hari Sabtu dan Nashara meliburkan hari Ahad dalam rangka memuliakan kedua hari tersebut…” (Fatawa Al-Lajnah, 2/75)
Kemudian lebih rinci Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan: “Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk meniru-niru mereka dalam hal-hal yang dikhususkan untuk perayaan-perayaan mereka. Tidak pula dalam makanan, pakaian, mandi, menyalakan api, meliburkan kebiasaan bekerja atau beribadah, atau yang selainnya. Dan tidak boleh untuk mengadakan pesta, memberikan hadiah, atau menjual sesuatu yang membantu dan bertujuan untuk acara tersebut. Serta tidak boleh membiarkan anak-anak kecil atau yang seusianya untuk bermain-main kaitannya dengan perayaan tersebut dan tidak boleh memasang hiasan (menghiasi rumah/ tempat tertentu dalam rangka menyemarakkan perayaan tersebut, pent).” (Majmu’ Fatawa, 25/329)
Namun sangat disayangkan masih banyak di antara kaum muslimin yang meniru-niru perayaan mereka. Bahkan ada yang ikut serta merayakan hari raya mereka. Di antaranya ada yang memberikan ucapan selamat atau ikut meramaikannya dengan berbagai acara seperti meniup terompet pada malam tahun baru dan yang semisalnya. Serta memasang hiasan-hiasan di rumahnya pada saat perayaan mereka.
Selanjutnya termasuk dalam hal ini adalah memperingati hari kelahiran seseorang baik itu memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam (perayaan Maulud Nabi) atau hari kelahiran lainnya. Begitu pula merayakan peristiwa-peristiwa tertentu seperti Isra’ Mi’raj, awal tahun baru Hijriyyah, serta merayakan hari atau pekan tertentu sebagai hari khusus untuk beramal seperti hari ibu, pekan kebersihan, dan sebagainya.
Ini bukan berarti kaum muslimin mengabaikan serta tidak mengambil pelajaran dari peristiwa-peristiwa tersebut. Bahkan kaum muslimin senantiasa dituntut untuk selalu mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang bermanfaat dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Namun (hal ini dilarang) karena perayaan adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak boleh dikhususkan dengan dilakukan secara berulang-ulang (ditradisikan, red) kecuali ada perintah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala atau Rasul-Nya.
Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan: “…Dan perbuatan ini
(perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pent) tidak pernah
dilakukan pada masa-masa terbaik umat ini, akan tetapi ini hanyalah
perbuatan yang diada-adakan pada abad ke-6 Hijriyah dalam rangka
mengikuti Nashara yang merayakan hari kelahiran Al-Masih ‘alaihissalam
Dan sungguh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari
meniru-niru mereka.” (Al-Khuthab Al-Mimbariyyah, hal. 89)
Jika orang-orang terbaik dari umat ini tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya? Sungguh betapa jelasnya kesesatan yang ia lakukan.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga menyatakan:“Dan termasuk mengikuti mereka (orang-orang kafir, pent) di dalam perayaan-perayaan baik yang bersifat syirik ataupun bid’ah adalah seperti memperingati perayaan-perayaan hari kelahiran, baik kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelahiran para pemimpin atau penguasa. Dan kadang-kadang perayaan-perayaan yang sifatnya syirik dan bid’ah ini diberi nama dengan penyebutan hari-hari atau pekan-pekan. Seperti hari kemerdekaan, hari ibu, atau pekan kebersihan.” (Al-Khuthab, hal. 43)
3. Menggunakan kalender Masehi (kalender orang kafir) dan meninggalkan kalender Islam (Hijriyyah)
Sebagian besar kaum muslimin saat ini hampir tidak lepas dari kalender Masehi. Bahkan sebagian mereka nampak tidak peduli dengan kalender Hijriyyah. Terbukti, ketika ditanya kepada sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin tentang bulan hijriyyah, maka banyak di antara mereka yang tidak hafal atau tidak mengetahuinya. Padahal penggunaan kalender hijriyyah sangat penting, karena banyak berhubungan dengan amalan ibadah seperti puasa wajib dan sunnah, ibadah haji, dan lainnya.
Al-Lajnah Ad-Daimah dalam fatwanya berkenaan seputar tahun 2000 M menyebutkan: “Kemuliaan bagi kaum muslimin adalah berpegangnya mereka dengan kalender hijrah Nabi mereka Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana shahabat telah menyepakatinya. Mereka menggunakannya sebagai kalender tanpa ada perayaan (tahun baru, pent) dan kaum muslimin telah mewarisinya 14 abad setelah mereka sampai hari ini. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berpaling dari kalender Hijriyyah dan mengambil kalender lainnya yang digunakan manusia seperti kalender masehi. Hal itu berarti telah meminta ganti sesuatu yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih buruk.”
4. Meniru-niru aturan, kebiasaan, serta akhlak orang kafir.
Semestinya seorang muslim selalu berpegang kuat dengan agamanya dalam seluruh aspek kehidupannya baik akidah, tata cara beribadah, aturan-aturan pergaulan, akhlak, maupun kebiasaannya. Namun masih banyak dari kaum muslimin yang kurang memperhatikan masalah ini. Maka tentunya hal ini menunjukkan lemahnya iman. Mereka tidak tahu bahwa dirinya telah tertipu dengan meninggalkan ajaran yang mulia dan mengambil ajaran yang rendah dan hina.
Di antara bentuk-bentuk meniru orang kafir dalam masalah ini seperti:
Jika orang-orang terbaik dari umat ini tidak melakukannya, lalu apa yang menyebabkan seseorang melakukannya? Apakah dirinya merasa lebih tahu dan lebih tinggi ilmunya dari para shahabat? Ataukah dia menganggap para shahabat lebih tahu namun mereka tidak mau mengamalkan ilmunya? Sungguh betapa jelasnya kesesatan yang ia lakukan.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah juga menyatakan:“Dan termasuk mengikuti mereka (orang-orang kafir, pent) di dalam perayaan-perayaan baik yang bersifat syirik ataupun bid’ah adalah seperti memperingati perayaan-perayaan hari kelahiran, baik kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kelahiran para pemimpin atau penguasa. Dan kadang-kadang perayaan-perayaan yang sifatnya syirik dan bid’ah ini diberi nama dengan penyebutan hari-hari atau pekan-pekan. Seperti hari kemerdekaan, hari ibu, atau pekan kebersihan.” (Al-Khuthab, hal. 43)
3. Menggunakan kalender Masehi (kalender orang kafir) dan meninggalkan kalender Islam (Hijriyyah)
Sebagian besar kaum muslimin saat ini hampir tidak lepas dari kalender Masehi. Bahkan sebagian mereka nampak tidak peduli dengan kalender Hijriyyah. Terbukti, ketika ditanya kepada sebagian saudara-saudara kita kaum muslimin tentang bulan hijriyyah, maka banyak di antara mereka yang tidak hafal atau tidak mengetahuinya. Padahal penggunaan kalender hijriyyah sangat penting, karena banyak berhubungan dengan amalan ibadah seperti puasa wajib dan sunnah, ibadah haji, dan lainnya.
Al-Lajnah Ad-Daimah dalam fatwanya berkenaan seputar tahun 2000 M menyebutkan: “Kemuliaan bagi kaum muslimin adalah berpegangnya mereka dengan kalender hijrah Nabi mereka Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana shahabat telah menyepakatinya. Mereka menggunakannya sebagai kalender tanpa ada perayaan (tahun baru, pent) dan kaum muslimin telah mewarisinya 14 abad setelah mereka sampai hari ini. Maka tidak boleh bagi seorang muslim untuk berpaling dari kalender Hijriyyah dan mengambil kalender lainnya yang digunakan manusia seperti kalender masehi. Hal itu berarti telah meminta ganti sesuatu yang lebih baik dengan sesuatu yang lebih buruk.”
4. Meniru-niru aturan, kebiasaan, serta akhlak orang kafir.
Semestinya seorang muslim selalu berpegang kuat dengan agamanya dalam seluruh aspek kehidupannya baik akidah, tata cara beribadah, aturan-aturan pergaulan, akhlak, maupun kebiasaannya. Namun masih banyak dari kaum muslimin yang kurang memperhatikan masalah ini. Maka tentunya hal ini menunjukkan lemahnya iman. Mereka tidak tahu bahwa dirinya telah tertipu dengan meninggalkan ajaran yang mulia dan mengambil ajaran yang rendah dan hina.
Di antara bentuk-bentuk meniru orang kafir dalam masalah ini seperti:
[1]
Menggunakan aturan sosialis, sekuler, demokrasi, dan yang semisalnya
dari aturan-aturan tata negara yang dibuat orang kafir. Demikian pula
dalam sistem ekonomi seperti sistem riba dan sebagainya. Asy-Syaikh
Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Termasuk bentuk meniru-niru
orang kafir adalah menjalankan aturan-aturan dan perundang-undangan
orang kafir. Atau ajaran-ajaran yang berbahaya seperti ajaran sosialis
dan ajaran sekuler yang membedakan antara agama dan pemerintahan, serta
yang lainnya dari hukum, aturan ekonomi, dan aturan lainnya…”
(Al-Khuthab, 2/168)
[2] Berbangga diri dengan menggunakan bahasa orang kafir atau menggunakannya tanpa ada kebutuhan. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Dan termasuk dalam bentuk meniru-niru orang kafir adalah bercakap-cakap dengan bahasa orang-orang kafir pada kebutuhan yang tidak mendesak. Serta menulis dengan bahasa mereka di tempat-tempat berjualan di negara kaum muslimin. Atau mencampur kalimat dan istilah-istilah dari bahasa mereka di dalam buku-buku Islam dan karya-karya lainnya.” (Al-Khuthab, 2 / 168)
[3] Mencukur jenggot dan membiarkan kumis memanjang, serta menggunakan pakaian yang meniru-niru mereka dengan bentuk model yang tidak menutup aurat baik karena bentuknya yang ketat ataupun yang tipis kainnya (lihat Al-Khuthab, 1/102-104). Dan sebenarnya masih banyak sekali yang lainnya, yang tidak bisa kita sebutkan dalam kesempatan ini karena terbatasnya tempat.
[4] Tidak menyukai tersebarnya kebenaran, dan hasad terhadap ilmu serta keutamaan yang Allah berikan kepada ahlul ilmi, dan berbagai akhlak jelek lainnya.
Di dalam kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan beberapa akhlak Yahudi yang banyak ditiru oleh sebagian kaum muslimin. Diantaranya:
[2] Berbangga diri dengan menggunakan bahasa orang kafir atau menggunakannya tanpa ada kebutuhan. Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata: “Dan termasuk dalam bentuk meniru-niru orang kafir adalah bercakap-cakap dengan bahasa orang-orang kafir pada kebutuhan yang tidak mendesak. Serta menulis dengan bahasa mereka di tempat-tempat berjualan di negara kaum muslimin. Atau mencampur kalimat dan istilah-istilah dari bahasa mereka di dalam buku-buku Islam dan karya-karya lainnya.” (Al-Khuthab, 2 / 168)
[3] Mencukur jenggot dan membiarkan kumis memanjang, serta menggunakan pakaian yang meniru-niru mereka dengan bentuk model yang tidak menutup aurat baik karena bentuknya yang ketat ataupun yang tipis kainnya (lihat Al-Khuthab, 1/102-104). Dan sebenarnya masih banyak sekali yang lainnya, yang tidak bisa kita sebutkan dalam kesempatan ini karena terbatasnya tempat.
[4] Tidak menyukai tersebarnya kebenaran, dan hasad terhadap ilmu serta keutamaan yang Allah berikan kepada ahlul ilmi, dan berbagai akhlak jelek lainnya.
Di dalam kitab Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah telah menyebutkan beberapa akhlak Yahudi yang banyak ditiru oleh sebagian kaum muslimin. Diantaranya:
- Mereka hasad terhadap hidayah dan ilmu yang Allah Subhanahu Wata’ala berikan kepada kaum muslimin.
- Mereka menyembunyikan ilmu, baik karena bakhil yaitu agar selain mereka tidak mendapatkan keutamaan, atau karena takut akan dijadikan hujjah untuk membuktikan kesalahan mereka.
- Mereka tidak mengakui kebenaran kecuali apa yang sesuai dengan kaum mereka.
- Mereka merubah Kalam Allah Subhanahu wa Ta’ala baik lafadz ataupun maknanya.(Lihat Al-Iqtidha, 1/83-88)
Karena
seorang muslim semestinya tahu bahwa tidak ada agama yang diterima oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali agama Islam, dan bahwa agama ini
telah menghapus agama-agama yang dibawa oleh nabi-nabi sebelumnya.
Sehingga kalau agama yang benar yang dibawa oleh para rasul saja dihapus
dengan datangnya agama yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam ini, lalu bagaimana dengan agama yang sudah berubah
sebagaimana agama Yahudi dan Nashara yang ada sekarang ini? Maka
tentunya sangatlah tercela perbuatan orang-orang yang meniru-niru orang
kafir.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab.