Al Ustadz Abu Khaulah Zainal Abidin
Sungguh
tak ada manusia di muka bumi ini yang lebih sayang kepada orang beriman
selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Penderitaan orang-orang
beriman adalah penderitaannya. Bahkan kesusahan orang-orang beriman ia
rasakan lebih perih, seakan ia pusat saraf paling peka dari sebuah
tubuh.
Tak ada
manusia di muka bumi ini yang lebih bersungguh-sungguh ingin memberikan
petunjuk dan bimbingan serta ingin memberikan jalan keluar terbaik bagi
orang-orang beriman, selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam.
Keselamatan dan kebahagiaan orang-orang beriman adalah kebahagiaannya.
Tak
ada manusia di muka bumi ini yang lebih sayang dan tulus kepada
orang-orang beriman selain Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Apa
yang ia beri tak pernah ia harap kembali. Dialah yang tak pernah menjual
nasihat demi sekedar mereguk ni’mat, syahwat atau pangkat, juga tidak
pernah gila hormat.
Sungguh pribadi agung ini telah ALLAH SUBAHANAHU WA TA’ALA gambarkan akan sifatnya (yang artinya):
Telah datang kepada kalian seorang rasul dari kaummu sendiri. Berat
baginya penderitaanmu, sangat mengingingkan –keimanan dan keselamatan-
atas kalian, dan amat penuh belas kasih sayang terhadap orang-orang
beriman. (At-Taubah: 128)
Ya,
dialah orang paling jujur nan amanah serta tulus menasihati ummah.
Lisannya terjaga penuh, bukan mengikuti hawa nafsu melainkan di bawah
bimbingan wahyu. Dan sebagaimana yakinnya kita akan kelengkapan dan
kesempurnaan Islam, yakin pula kita akan lengkap dan sempurnanya
bimbingan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Dan
tentu saja bimbingan itu -melalui nasihatnya- meliputi ragam macam
masalah yang bakal kita hadapi, sepanjang masa..Dalam urusan diri,
keluarga, atau masyarakat. Yang bahkan sahabatnyapun –Abu Dzar-
bersaksi: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah meninggalkan
kami. Dan tidaklah burung yang terbang di udara dengan kedua sayapnya
kecuali telah sampai kepada kami ilmu tentangnya.
Lebih
dari itu. Amalan dan perkara yang dapat mendekatkan kita ke surga dan
menyelamatkan kita dari neraka pun telah dia jelaskan !
“Tidak
tertinggal sedikitpun perkara yang dapat mendekatkan ke surga dan
menjauhkan dari neraka, kecuali telah aku jelaskan bagi kalian.”
Di
dalam kehidupan masyarakat, di sana ada pihak yang mengatur, ada pula
yang diatur. Islam bukan hanya membimbing para pengatur, bagaimana cara
mengatur orang banyak. Islam juga membimbing pihak yang diatur,
bagaimana cara bertutur kepada pengatur.
Ya,
kekasih ALLAH yang paling mengerti urusan umatnya dan paling sayang
kepada mereka menasihati dan membimbing agar mereka menyadari, bahwa
para pengatur mereka itu juga manusia yang tak luput dari kekeliruan
atau kesalahan. Karena itu mereka harus saling menasihati.
Barangsiapa
memiliki nasihat bagi penguasa, hendaknya tidak ia sampaikan secara
terang-terangan. Pegang tangannya dan bicarakan berdua. Seandainya
penguasa itu mau menerima, itulah yang diharapkan. Jika tidak, yang
menasihati itu telah menunaikan kewajibannya, sedang penguasa itu
bertanggung jawab atas kewajibannya. (Dikeluarkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim :As-Sunnah , Al Baihaqi: As-Sunnan Al Kubro, Al Hakim: Al Mustadrak, dan Ahmad: Al Musnad)
Ya, menasihati penguasa bukan dengan cara membuat orasi-orasi di mimbar-mimbar bebas, yang kata mereka -dengan gagahnya-: “Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kebenaran di hadapan penguasa yang jahat.”
Hendaknya mereka memperhatikan betul kata “di hadapan penguasa”, yakni hendaknya –sejalan dengan hadits di atas- menyampaikan nasihat itu tidak di hadapan orang banyak.
Bagaimana
akan menerima nasihat, jika telah lebih dahulu dipermalukan, dibeberkan
aib, dan dilukai hatinya. Membeberkan kesalahan dengan cara semacam ini
justru akan membuat mereka semakin sulit menerima nasihat. Ingatlah
pesan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam: Jangan kalian bantu syaithan menguasai saudaramu.
Ya,
gara-gara salah di dalam cara menasihati, hasilnya bahkan semakin
parah. Syaithan semakin kuat memeluk dan menguasainya. Tidak sedikit
datangnya kebrutalan kaki tangan penguasa justru diundang oleh cara-cara
mereka yang -katanya- ingin menasihati penguasa. Ya, keadaan semacam di
atas, sungguh sangat mungkin terjadi disebabkan ulah penasihat yang
tidak hikmah. Memaksakan kehendak agar semua nasihat didengar, diterima,
dan dijalankan saat itu juga. Apalagi jika telah terang-terangan
melanggar rambu-rambu nasihat.
Kita
lupa mungkin, masing-masing kita -ketika ingin mengubah kemungkaran-
harus tetap berada di atas posisi yang benar. Keluar dari posisi berarti
juga telah berbuat kemungkaran. Bagaimana mungkin kemungkaran bisa
diubah dengan cara yang juga mungkar?
Para
penguasa mengubah kemungkaran dengan kekuasaan dan kekuatannya, di
situlah posisinya. Para ulama, da’i, atau guru mengubah kemungkaran
lewat nasihat-nasihatnya, di situlah posisinya. Orang awam semacam
kita, yang tidak berilmu juga tak memiliki kekuasaan mengubah
kemungkaran dengan hati, berupa do’a dan pengingkaran hati, di situlah
posisinya. Inilah yang dimaksud dari sabda Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam (yang artinya): Barangsiapa melihat kemungkaran, hendaknya
ia ubah dengan tangannya. Jika tak sanggup, dengan lisannya. Jika tak
anggup, dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman. (HR: Muslim dari Abi Sa’id Al Khudri)
Dan
hendaknya kita sadar, bahwa syaithan menggoda siapa saja. Ahli
ma’shiyat digoda, sehingga semakin tenggelam di dalam kema’shiyatannya.
Ahli ibadah juga digoda, sehingga semakin tenggelam di dalam keasyikan
beribadah yang bercampur dengan kesyirikan dan kebid’ahan, tanpa mereka
sadari. Mereka yang ber-amar ma’ruf dan nahi mungkar juga tak luput dari
godaannya. Digoda dengan semangat dan sikap berlebih-lebihan sehingga
keluar dari posisinya. Manakala telah keluar dari posisi serta mengambil
yang bukan porsinya, tinggalah menunggu saatnya mereka terjerumus ke
dalam sikap selalu beroposisi kepada penguasa, yang berujung kepada
pengkafiran dan pemberontakan. Dan bukan ini yang dikehendaki dari
mencegah kemungkaran.
Betul, kita diperintahkan untuk mencegah kemungkaran: Dari
Anas bi Malik, dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam,
berkata,”Tolonglah saudaramu yang berbuat dzalim dan yang didzalimi.”
Beliau ditanya,” Ya, Rasulullah. Kami mengerti tentang menolong yang
didzalimi. Akan tetapi, bagaimana cara menolong yang berbuat dzalim?”
Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab,”Cegahlah dia dari perbuatan
dzalim tersebut. Demikianlah cara kalian menolong mereka.” (HR: Al Bukhari / At-Tirmidzi. Dan ini lafadz At-Tirmidzi)
Namun, ketika orang yang paling mengerti urusan umat dan paling sayang kepada mereka ini mengungkapkan kata “cegah” dengan “tolong” , itu artinya perbuatan tersebut haruslah dilandasi kasih sayang, bukan kebencian!!!
Ya,
orang yang paling mengerti urusan umat dan paling sayang kepada mereka
ini telah menasihati kita agar tulus dan tidak berjual-beli di dalam
nasihat: Dari Anas bin Malik, bahwasanya Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam telah bersabda: “Sesungguhnya kelak akan kalian dapati penguasa
yang hanya mementingkan dirinya.” Para sahabat bertanya:”Apa yang harus
kami perbuat (-jika mendapati hal itu-), wahai Rasulullah?” Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam menjawab:” Tunaikan kewajiban kalian kepada mereka, dan mintalah hak-hak kalian kepada ALLAH!” (HR: Al Bukhari)
Ya,
kekasih ALLAH yang paling mengerti urusan umatnya dan paling sayang
kepada mereka menasihati dan membimbing agar mereka senatiasa ta’at
kepada orang-orang yang diserahi tanggung jawab mengurus umat, tanpa
pamrih dan tawar-menawar keta’atan, selama bukan dalam urusan
ma’shiyat. Beliau tidak mengajari kita mengatakan: Kami ta’ati kalian
kalau kalian memenuhi tuntutan kami. Bahkan meskipun orang-orang
tersebut memakan harta atau memukul punggung mereka.
Dari
Ubadah bin Shaamit, berkata: Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
telah memanggil kami, maka kamipun berbai’at dan ia mengambil janji dari
kami untuk mendengar dan ta’at dalam senang atau terpaksa, dalam
kelapangan atau kesempitan. Dan tidak mencabut ketaatan. Kemudian
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata: "Kecuali jika kalian
melihat kekufuran yang nyata yang menjadi bukti bagimu di hadapan
ALLAH." (HR: Al Bukhari)
Pada riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban ada tambahan: "Meskipun mereka memakan hartamu dan memukuli punggungmu."
Perhatikanlah, wahai orang yang mengaku pengikut Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam (Meskipun mereka memakan hartamu dan memukuli punggungmu) !!!. Jangan lupa, bahwa yang mengatakan ini adalah yang tidak berkata-kata kecuali di bawah bimbingan wahyu.
Begitu
pula, ketika umat ditimpa paceklik, barang langka harga melambung,
sebagaimana kejadian semacam ini -di mana saja dan kapan saja- dijadikan
momentum untuk “menyadarkan” umat akan haknya, Sang Kekasih ALLAH ini
justru mengingatkan kita untuk kembali kepada ALLAH: Dari Anas bin
Malik, ia berkata: Pernah di zaman Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam
harga-harga melambung. Maka para sahabat berkata,”Ya Rasulullah,
turunkan harga!” Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam pun
menjawab,” Sesungguhnya ALLAH-lah yang menetapkan harga. Dia-lah yang
Menaikkan, Menurunkan, dan Memberi Rezeki. Sungguh aku berharap dapat
berjumpa dengan rabb-ku dalam keadaan tak seorangpun di antara kalian
menuntutku karena ketidakadilanku dalam urusan darah dan harta.” (HR: At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Beliau
tidak pernah menyuruh umatnya -apalagi kaum ibu- untuk turun ke jalan
membawa alat dapur, memukul-mukulnya agar riuh kedengarannya, menarik
perhatian orang banyak seraya berteriak-teriak menuntut turunnya harga
Sebagian lagi bertindak anarkis asyik bermain-main dengan api di jalan
tempat orang berlalu lalang, membikin semua orang kegerahan karena
macet. Sungguh sulit untuk percaya bahwa mereka sedang membela nasib
orang-orang susah. Ya, pribadi yang paling mengerti urusan umat dan
paling sayang kepada mereka tak pernah mengajari kita melakukan
tindakan sia-sia -yang merendahkan martabat- semacam ini!!!
Akankah
kita katakan bahwa Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam tidak mengerti
penderitaan umatnya? Alangkah kejamnya Beliau Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam, membiarkan umatnya didzalimi ??? Apakah para provokator -yang
senantiasa memanas-manasi umat ini- lebih tulus nasihatnya dan lebih
arif pertimbangannya dibanding Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam ?
Tentu
saja, sangat dimaklumi, bahwa nasihat-nasihat Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam di atas sangat tidak menguntungkan bagi mereka yang suka menjadikan kedzaliman penguasa sebagai komoditi politik.
Dan sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah
mengajari kita demikian, menjual nasihat demi syahwat atau pangkat. Maka
tidak ada tempat untuk bertanya: “Bagaimana jika pemerintah tidak mau
menerima nasihat dan teguran kita?” Juga tak ada tempat untuk mencurigai
ulama, bahwa mereka tidak pernah menasihati penguasa. Apa dasar
kecurigaan ini dan dari mana mereka tahu bahwa para ulama diam saja
melihat kemungkaran? Apakah para ulama, da’i, ustadz-ustadz itu harus
melaporkan kepada masyarakat bahwa mereka telah berkata ini dan itu
kepada penguasa ???
Merekalah
yang lebih layak untuk dicurigai -kalau memang boleh kita berburuk
sangka kepada mereka- ketimbang para ulama. Mereka yang sering -di atas
mimbar- menasihati orang banyak dengan kemasan agama. Ya, cukup kepada
mereka, dan kita tak punya urusan kepada yang jahil, yang hanya jadi
kaki tangan, operator lapangan yang tak mengerti sedikitpun agama ini.
Tanyakan kepada mereka,: "Mengapa kalian -yang mengaku tahu dan
peduli terhadap urusan umat- tak pernah menyampaikan hadits-hadits di
atas? Dikemanakan hadits-hadits ini? Dikemanakan?"
Buletin Jum’at Risalah Tauhid -Depok- edisi 81
Buletin Jum’at Risalah Tauhid -Depok- edisi 81
Judul Asli: Dikemanakan Hadits-Hadits Ini?
Sumber:www.mimbarislami.or.id