Islam telah membimbing kita dalam
membangun rumah tangga, dimulai dari memilih pasangan hidup. Islam
mengikat suami istri dalam ikatan kokoh, menentukan hak dan kewajiban,
serta mewajibkan mereka menjaga buah pernikahan ini. Islam juga
mengantisipasi segala problema yang dapat menghadang kehidupan rumah
tangga secara tepat. Itulah kesempurnaan islam yang sangat indah.
Pernikahan! Kata itu sangat indah
didengar tetapi keindahan di dalamnya harus serta-merta dibarengi dengan
persiapan. Pernikahan berarti mempertemukan kepentingan-kepentingan dua
individu dan bukan mempertentangkannya.
Ketika biduk rumah tangga telah
berlayar, apa saja yang bisa anda lakukan di dalamnya? Hari berlalu,
pekan berlalu, bergantilah bulan. Tiba-tiba suatu hari anda merasakan
ada sesuatu yang tidak mengenakkan anda. Anda mengamati sifat dan
pasangan anda selama beberapa pekan sejak pernikahan, ternyata ada yang
tidak anda sukai dan yang tidak anda harapkan. Sejak saat itu, anda
menemukan bahwa rumah tangga tidak hanya berisi kegembiraan, namun juga
tantangan, bahkan bisa juga ancaman. Seorang suami mungkin
bertanya-tanya siapakah gerangan engkau wahai istriku? Demikian ia
sering bertanya dalam hatinya. Sekian banyak hal-hal aneh dan asing yang
ia temukan pada diri seorang ‘makhluk halus’ bernama istrinya itu.
Demikian pula, pertanyaan itu muncul di benak sang istri. Seperti ia
sedang dihadapkan pada sebuah laboratorium bernyawa, tengah ada banyak
penelitian dan pelajaran yang bisa dieksplorasi di dalamnya. Ia
menghadapi hari-hari yang berharga, pengenalan demi pengenalan,
pengalaman demi pengalaman dan berbagai pertanyaan yang belum
terjawabkan.
Dulu waktu masih lajang, seorang muslimah yang belum pernah
bersentuhan kulit dengan lawan jenis, kini tiba-tiba dihadapkan pada
seorang asing yang nantinya akan mengetahui banyak ‘rahasia’ dirinya. Ia
seorang wanita yang ‘clingus’ menurut orang jawa, wanita yang tak
berani ngobrol dan bercanda dengan lawan jenisnya, namun tatkala masuk
ke jenjang pernikahan ia harus berhadapan dengan ‘dunia’ laki-laki.
Kini, ia mencoba menyesuaikan irama kehidupan dirinya dengan sang suami.
Ia mulai mengenal dunia laki-laki secara dekat tanpa jarak. Demikian
pula hal-nya dengan sang suami.
Sebenarnyalah kesulitan yang dihadapi
merupakan sesuatu yang wajar dan manusiawi. Betapa tidak! Pernikahan
telah mempertemukan bukan saja dua individu yang berbeda, laki-laki dan
perempuan, tetapi dua kepribadian, dua selera, dua latar budaya, dua
karakter, dua hati, dua otak dan ruh yang hampir dapat dipastikan banyak
ketidaksamaan yang akan ditemui oleh keduanya. Seorang manusia yang
terkadang bisa saja tak paham akan suasana hatinya, sekarang malah
dituntut untuk memahami hati orang lain?!
Kehidupan rumah tangga tak semuanya bisa
dirasionalkan begitu saja, terkadang memerlukan proses kontemplasi yang
rumit, memahami dunia baru, memahami suasana jiwa, logika, psikologis
dan fisiologis yang bergulir bersama di dalam kehidupan rumah tangga.
Kuliah S1 ternyata tak cukup membekali teori tentang ’siapakah laki-laki
dan perempuan’ dalam tataran teoritis maupun praktis. Tentunya kita
kurang mampu memahami dunia pasangan kita, kecuali menempuh pembelajaran
dan saling membantu untuk terbuka kepada pasangannya tentang apa yang
dirasakan, kepedihan duka, kegembiraan, kecemburuan, kekecewaan,
kebanggaan, keinginan, dan jutaan determinasi perasaan lainnya. Saling
mencintai memerlukan proses pembelajaran. Saling membantu mengajarkan
tentang diri sendiri, bahwa aku adalah makhluk Allah yang punya
keinginan dan mestinya engkau mengerti keinginanku. Akan tetapi bahasan
verbal tak senantiasa berhasil mengungkap hakikat perasaan.
Menikah adalah pilihan sadar setiap
laki-laki dan perempuan dalam islam. Seorang laki-laki berhak menentukan
pasangan hidup sebagaimana perempuan. Jika kemudian sepasang laki-laki
dan perempuan memutuskan untuk saling menerima dan sepakat melangsungkan
pernikahan, atas alasan apakah satu pihak merasa terpaksa berada di
samping pasangan hidupnya setelah resmi berumah tangga??!! Sebelum
terjadinya akad nikah, pilihan masih terbuka lebar, akan tetapi setelah
adanya akad nikah, adalah sebuah pengkhianatan terhadap makna akad itu
sendiri apabila satu pihak senantiasa mencari-cari keburukan dan
kesalahan pasangannya dengan merasa benar dan bersih sendiri. Tentunya
hal tersebut merupakan salah satu bentuk penyucian diri, terlebih lagi
tindakannya tersebut akan menumbuhkan benih-benih kebencian dalam hati
terhadap seseorang yang telah menjadi pilihannya. Allah ta’ala
berfirman:
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى
“Janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An Najm: 32).
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci seorang mukminah, karena walaupun
dirinya membenci salah satu perangainya, tentulah akan ada perangai lain
yang disukainya.” (HR. Muslim nomor 2672)
Imam An Nawawi mengatakan, “Yang benar,
hadits ini merupakan larangan bagi seorang suami agar tidak membenci
istrinya, karena apabila istrinya memiliki perangai yang tidak
disenanginya, tentulah akan ada perangai lain yang disukainya, misalnya
istrinya memiliki akhlak yang jelek, akan tetapi mungkin saja dia
komitmen terhadap agama, memiliki paras yang cantik, mampu menjaga diri,
lembut atau yang semisalnya.” (Syarh Shahih Muslim, 5/209).
Memang ada pilihan lain yang dicontohkan shahabiyah Habibah binti
Sahl ketika menemukan kebuntuan dalam rumah tangga sehingga dirinya
mengajukan khulu’. Nabi pun memberikan jalan keluar.(HR. Malik nomor
1032; Abu Dawud nomor 1900, 1901; An Nasaa’i nomor 3408; Ibnu Majah
nomor 2047; Ahmad nomor 26173; dishahihkan oleh Al ‘Allamah Al Albani
dalam Al Irwa’, 7/102-103, Shahih Sunan Abu Dawud nomor 1929).
Namun, cerai bukanlah jalan pertama yang
harus ditempuh, sebab proses belajar menerima dan mencintai harus
terjadi dan ditempuh terlebih dahulu. Karena tujuan kita menikah adalah
ibadah, mengabdi pada Allah dan mencapai keridhoan-Nya. Sedangkan hasil
akhir dari ibadah itu sendiri adalah mencapai tingkat ketakwaan atau
pemeliharaan diri dari segala kemaksiatan, yang akan membawa pemiliknya
merengkuh ridho Allah. Berbagai upaya akan ditempuh oleh orang yang
ingin mencapai derajat ketakwaan, tidak terkecuali melalui pernikahan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اتَّقِ اللَّهِ حَيْثُمَا كُنْتَ وَأَتْبِعْ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَن
“Bertakwalah kamu dimanapun kamu berada, bila kamu berbuat kejahatan,
segera iringi dengan perbuatan baik, sehingga dosamu terhapus, lalu
pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik.” (HR. Tirmidzi nomor 1910;
dihasankan Syaikh Al Albani dalam Al Misykah nomor 5083, Ar Raudlun
Nadhir nomor 855, Shahih wadl Dhaif Sunan At Tirmidzi, 4/487)
Setiap pasangan hendaknya merenungkan
bahwasanya ketika mereka menikah, mereka tinggal menyempurnakan
“setengah ketakwaan”, apakah “setengah ketakwaan” yang telah
dianugerahkan Allah kepada mereka hendak disia-siakan?
Mari kita belajar membentuk bahtera
rumah tangga yang mampu berlayar merengkuh keridhoaan-Nya. Bertakwalah
kepada Allah dalam setiap mengambil keputusan dan bersabarlah menghadapi
kekurangan dan kelemahan pasangan kita, karena tak ada manusia yang
sempurna, teruslah bermuhasabah diri. Mudah-mudahan dengan kesabaran
kita, Allah akan memudahkan dan memberikan kebahagiaan dalam rumah
tangga kita. Teruslah berusaha melaksanakan semua kewajiban yang Allah
bebankan pada kita dengan segala kemampuan dan kekuatan yang ada,
Allah-lah sumber kekuatan kita, dengan mengharap ridha-Nya dan
cinta-Nya. Berjanjilah, mulai hari ini, bahwa keindahan hidup rumah
tangga pada mulanya berasal dari kesadaran anda akan janji besar ini!
Dengan demikian, semoga kita mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Semoga Allah mengumpulkan kita dengan pasangan beserta anak-anak kita
dalam jannah-Nya. Amiin.
8 comments:
Isu rumahtangga memang antara yang terhangat terutama ketika dilanda konflik.
Apa yang pasti, tak ada satu perhubungan pun yang sentiasa aman dari sebarang ujian. Ujian itu sebenarnya untuk mengukuhkan ikatan dan merapatkan hubungan sebagai suami isteri. Asalkan jangan mudah goyang, itu sudah cukup bagus. Selesaikan segalanya bersama-sama dan paling penting, saling meredhai.
Saya yakin dengan anda masalah ini karena anda tinggal berjauhan dengan istri kan
ya tinggal berjauhan jarak juga perlu kebijaksanaan yang tinggi untuk menghadapinya
Sabar sangat perlu dalam menghadapi perkara seumpama ini..
dalam rumahtangga kalau berlandaskan takwa insyaAllah dipelihara..
Asam garam rumahtangga memang penuh suka duka. Apapun kalau nak bahagia,lakukan semuanya hanya kerana Allah.
Sedangkan lidah lagi tergigit, inikan pula hidup berumahtangga..suami isteri perlu amalkan sikap tolak ansur utk mengekalkan ke bahagian rumahtangga..ikut apa yg disarankan oleh islam dan Rasulullah SAW..
sabar dan teguh hati selalu..dekat pada Dia ..Dia akan ada untuk kita...
Post a Comment