Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsari
Dasar
agama Islam ialah hanya beramal dengan Kitabullah dan Sunnah rasulNya.
Keduanya adalah sebagai marja’ -rujukan- setiap perselisihan yang ada di
tengah-tengah kaum muslimin. Siapa yang tidak mengembalikan kepada
keduanya maka dia bukan seorang mukmin. Allah berfirman (yang artinya), "Maka
demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian
mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya." (QS An Nisa : 65).
Telah
mafhum bersama bahwa Allah menciptakan manusia bukan untuk suatu urusan
yang sia-sia, tetapi untuk satu tujuan agung yang kemaslahatannya
kembali kepada manusia yaitu agar beribadah kepadaNya. Kemudian tidak
hanya itu saja, tetapi Allah juga mengutus rasulNya untuk menerangkan
kepada manusia jalan yang lurus dan memberikan hidayah -dengan izin
Allah- kepada shirothil azizil hamid. Allah berfirman (yang artinya), "Dan
Kami tidak menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar
kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu
dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman." (QS An Nahl : 64).
Sungguh,
betapa besar rahmat Allah kepada kita, dengan diutusnya Rasulullah,
Allah telah menyempurnakan agama ini. Allah telah berfirman (yang
artinya), "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan
telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu dan telah Kuridhoi islam itu jadi
agama bagimu" (QS Al Maidah : 3).
Tak
ada satu syariatpun yang Allah syariatkan kepada kita melainkan telah
disampaikan oleh rasulNya. Aisyah berkata kepada Masyruq, "Siapa
yang mengatakan kepadamu bahwa Muhammad itu telah menyembunyikan sesuatu
yang Allah telah turunkan padanya, maka sungguh ia talah berdusta!" (HR. Bukhori Muslim).
Berkata
Al Imam As Syatibi, "Tidaklah Nabi meninggal kecuali beliau telah
menyampaikan seluruh apa yang dibutuhkan dari urusan dien dan dunia"
Berkata
Ibnu Majisyun, "Aku telah mendengar Malik berkata, "Barangsiapa yang
membuat bid’ah (perkara baru dalam Islam), kemudian menganggapnya baik,
maka sungguh dia telah mengira bahwa Muhammad telah mengkhianati
risalah, karena Allah telah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu" (QS Al Maidah : 3).
Kaum muslimin -rahimakumullah-, sahabat Ibnu Mas’ud telah berkata, "Ikutilah, dan jangan kalian membuat perkara baru!".
Suatu peringatan tegas dimana kita tidak perlu untuk menambah-nambah
sesuatu yang baru atau bahkan mengurangi sesuatu dalam hal agama. Banyak
ide atau atau anggapan-anggapan baik dalam agama yang tidak ada
contohnya bukanlah perbuatan terpuji yang akan mendatangkan pahala,
tetapi justru yang demikian itu berarti menganggap kurang atas syariat
yang telah dibawa oleh Rasulullah, dan bahkan yang demikian itu dianggap
telah membuat syariat baru. Seperti perkataan Iman Syafi’i, "Siapa yang membuat anggapan-anggapan baik dalam agama sungguh ia telah membuat syariat baru."
Ucapan
"shodaqollahul adhim" setelah membaca Al Quran atau satu ayat darinya
bukanlah hal yang asing di kalangan kita kaum muslimin -sangat
disayangkan-. Dari anak kecil sampai orang tua, pria atau wanita sudah
biasa mengucapkan itu. Tak ketinggalan pula -sayangnya- para qori Al
Quran dan para khotib di mimbar-mimbar juga mengucapkannya bila selesai
membaca satu atau dua ayat AlQuran. Ada apa memangnya dengan kalimat itu
?
Kaum
muslimin -rahimakumullah-, mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah
selasai membaca Al Quran baik satu ayat atau lebih adalah bid’ah, perhatikanlah keterangan- keterangan berikut ini.
Pertama:
Dalam shahih Bukhori no. 4582 dan shahih Muslim no. 800, dari hadits
Abdullah bin Mas’ud berkata, "Berkata Nabi kepadaku, "Bacakanlah
padaku." Aku berkata, "Wahai Rasulullah, apakah aku bacakan kepadamu
sedangkan kepadamu telah diturunkan?" beliau menjawab, "ya". Maka aku
membaca surat An Nisa hingga ayat "Maka bagaimanakah (halnya orang kafir
nanti), apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap
umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu
(sebagai umatmu)." (QS An Nisa : 41) beliau berkata, "cukup". Lalu aku
(Ibnu Masud) menengok kepadanya ternyata kedua mata beliau
berkaca-kaca."
Sahabat
Ibnu Mas’ud dalam hadits ini tidak menyatakan "shodaqollahul adhim"
setelah membaca surat An Nisa tadi. Dan tidak pula Nabi memerintahkannya
untuk menyatakan "shodaqollahul adhim", beliau hanya mengatakan kepada
Ibnu Mas’ud "cukup".
Kedua:
Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 6 dan Muslim no. 2308
dari sahabat Ibnu Abbas beliau berkata, "Adalah Rasulullah orang yang
paling giat dan beliau lebih giat lagi di bulan ramadhan, sampai saat
Jibril menemuinya -Jibril selalu menemuinya tiap malam di Bulan
Ramadhan- bertadarus Al Quran bersamanya".
Tidak dinukil satu kata pun bahwa Jibril atau Nabi Muhammad ketika selesai qiroatul Quran mengucapkan "shodaqollahul adhim".
Ketiga:
Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 3809 dan Muslim no. 799
dari hadits Anas bin Malik -radhiyallahu anhuma-, "Nabi berkata kepada
Ubay, "Sesungguhnya Allah menyuruhku untuk membacakan kepadamu "lam
yakunil ladzina kafaru min ahlil kitab" ("Orang-orang kafir yakni ahli
kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan
meninggalkan (agamanya)") (QS Al Bayyinah : 1). Ubay berkata ,
"menyebutku?" Nabi menjawab, "ya", maka Ubay pun menangis".
Nabi tidak mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membaca ayat itu.
Keempat:
Diriwayatkan oleh Bukhori dalam shahihnya no. 4474 dari hadits Raafi’
bin Al Ma’la -radhiyallahu anhuma- bahwa Nabi bersabda, "Maukah engkau
kuajari surat yang paling agung dalam Al Quran sebelum aku pergi ke
masjid?" Kemudian beliau (Nabi) pergi ke masjid, lalu aku
mengingatkannya dan beliau berkata, "Alhamdulillah, ia (surat yang agung
itu) adalah As Sab’ul Matsaani dan Al Quranul Adhim yang telah
diberikan kepadaku."
Beliau tidak mengatakan "shodaqollahul adhim".
Kelima:
Terdapat dalam Sunan Abi Daud no. 1400 dan Sunan At Tirmidzi no. 2893
dari hadits Abi Hurairah dari Nabi, beliau bersabda, "Ada satu surat
dari Al Quran banyaknya 30 ayat akan memberikan syafaat bagi pemiliknya
-yang membacanya/ mengahafalnya- hingga ia akan diampuni,
"tabaarokalladzii biyadihil mulk" ("Maha Suci Allah yang ditanganNyalah
segala kerajaan") (QS Al Mulk : 1).
Nabi tidak mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membacanya.
Keenam:
Dalam Shahih Bukhori no. 4952 dan Muslim no. 494 dari hadits Baro’ bin
‘Ajib berkata, "Aku mendengar Rasulullah membaca di waktu Isya dengan
"attiini waz zaituun", aku tidak pernah mendengar seorangpun yang lebih
indah suaranya darinya".
Dan beliau tidak mengatakan setelahnya "shodaqollahul adhim".
Ketujuh:
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahihnya no. 873 dari hadits Ibnat
Haritsah bin An Nu’man berkata, "Aku tidak mengetahui/hafal "qaaf wal
qur’aanil majiid" kecuali dari lisan rasulullah, beliau berkhutbah
dengannya pada setiap Jumat".
Tidak
dinukil beliau mengucapkan setelahnya "shodaqollahul adhim" dan tidak
dinukil pula ia (Ibnat Haritsah) saat membaca surat "qaaf" mengucapkan
"shodaqollahul adhim".
Jika
kita mau menghitung surat dan ayat-ayat yang dibaca oleh Rasulullah dan
para sahabatnya serta para tabiin dari generasi terbaik umat ini, dan
nukilan bahwa tak ada satu orangpun dari mereka yang mengucapkan
"shodaqollahul adhim" setelah membacanya maka akan sangat banyak dan
panjang. Namun cukuplah apa yang kami nukilkan dari mereka yang
menunjukkan bahwa mengucapkan "shodaqollahul adhim" setelah membaca Al
Quran atau satu ayat darinya adalah bid’ah -perkara yang baru- yang
tidak pernah ada dan di dahului oleh generasi pertama.
Kaum muslimin -rahimakumullah-, satu hal lagi yang perlu dan penting untuk diperhatikan bahwa meskipun
ucapan "shodaqollahul adhim" setelah qiroatul Quran adalah bid’ah,
namun kita wajib meyakini dalam hati perihal maknanya bahwa Allah maha
benar dengan seluruh firmannya, Allah berfirman, "Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya daripada Allah", dan Allah berfirman, "Dan siapa lagi yang lebih baik perkataanya dari pada Allah". Barangsiapa yang mendustakanya -firman Allah- maka ia kafir atau munafiq.
Semoga Allah senantiasa mengokohkan kita diatas Al Kitab dan Sunnah dan Istiqomah diatasnya. Wal ilmu indallah.
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’ Bandung