Al Ustadz Abdul Mu’thi Al Maidany
Islam
memiliki cara dan metode dalam berdakwah sesuai dengan situasi dan
kondisi yang dihadapi. Tentunya hal itu tidak lepas dari bimbingan
syari’at. Terkadang dakwah harus disampaikan dengan sikap lemah lembut
dan terkadang dengan sikap keras, tegas, dan lugas. Namun sikap yang
kedua ini sering dianggap sebagai sikap yang salah dan tidak mengandung
hikmah. Bahkan terkadang dianggap dapat menimbulkan akibat yang fatal
bagi dakwah itu sendiri. Sehingga muncul protes dari berbagai pihak
ketika salah seorang da’i bersikap keras, tegas dan lugas dalam
dakwahnya.
Fenomena
ini tampak ketika salah seorang Ahlus Sunnah berdakwah kepada sunnah
dan membela Ahlus Sunnah sekaligus membantah bid’ah dan ahlul bid’ah
dengan tegas. Maka muncul berbagai macam protes dari berbagai kelompok
dakwah yang ada. Mereka menganggap bahwa sikap keras, tegas, dan lugas
dalam dakwah tidak mencerminkan akhlak mulia karena mengandung
kezhaliman terhadap pihak lain dan menyebabkan umat lari dari seruan
dakwah. Anggapan mereka ini timbul dari prinsip dakwah mereka yang
bathil berupa semboyan yang mengajak kepada perasatuan kaum Muslimin
walaupun di atas kebathilan. Setiap hal yang berakibat memecah-belah
kaum Muslimin harus dijauhkan dari dakwah [1]. Fakta
ini sering memunculkan di tengah-tengah dakwah mereka sikap basa-basi,
tidak terus terang dan lemah lembut yang bukan pada tempatnya. Justru
keberadaan dakwah mereka beserta segala sikap yang menyimpang itu
menambah kekaburan bagi kaum Muslimin dalam menilai Al Haq. Sehingga
banyak kaum Muslimin tak bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil
serta tak sedikit pula diantara mereka yang menyangka bahwa yang haq
itu adalah bathil dan yang bathil itu adalah haq. Lalu bagaimana
sebenarnya Islam berbicara tentang sikap keras, tegas, dan lugas dalam
dakwah? Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat nash-nash Al
Qur’an dan As Sunnah serta beberapa penjelasan para ulama dalam masalah
ini.
Nash
Al Quran Dan As Sunnah Serta Penjelasan Para Ulama Tentang Sikap Keras
Ketika Pengharaman Allah Dilanggar Dan Ketika Hukum Had Ditegakkan
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Perempuan
yang berzina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-tiap seorang
dari keduanya seratus kali dera dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah jika kamu beriman
kepada Allah dan hari akhir ….” (QS. An Nur: 2)
Imam
Bukhari dalam menafsirkan firman Allah yang berbunyi: “ … janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama
Allah.” Mengatakan: “Maksudnya adalah janganlah mencegah kalian untuk
menegakkan hukum-hukum had karena belas kasihan kepada orang yang akan
dihukum dan janganlah kalian memperingan pukulan agar tidak menyakitkan.
Pendapat ini adalah pendapat sekelompok Ahli Tafsir” (Tafsir Al
Qurthubi jilid 6 halaman 111, cetakan Darul Kutub IImiyah)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan ayat di atas berkata: “Secara
umum Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang segala perkara (baca: belas
kasihan) yang diperintahkan oleh setan ketika memberikan siksa (pada
setiap pelanggaran, pent.).
Demikian
pula terlebih khusus pada perbuatan-perbuatan keji. Karena hal itu
dibangun atas dasar cinta, syahwat atau kasih sayang yang dihiasi oleh
setan dengan rasa kecenderungan hati dan sifat kasih sayang kepada para
pelaku kekejian. Akhirnya, kebanyakan manusia disebabkan oleh penyakit
ini masuk ke dalam sikap kurang cemburu dan kurang semangat (dalam
menegakkan hukum-hukum Allah yang telah ditetapkan, pent.). Mereka
beranggapan bahwa sikap ini termasuk sikap kasih sayang, lemah lembut,
dan akhlak mulia terhadap makhluk. Padahal yang demikian adalah sikap
yang menunjukkan kurang rasa cemburu, kerendahan, tidak agamis, dan
keimanan yang lemah. Membantu mereka atas sikap yang demikian berarti
saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan serta
meninggalkan sikap untuk saling mencegah dari kekejian dan kemungkaran.”
(Daqaiqut Tafsir karya Ibnu Taimiyah 3/385)
Dalam sebuah hadits dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha, beliau berkata: “Tidaklah
Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam ketika diberi dua pilihan
melainkan beliau memilih yang paling mudah dari keduanya selama tidak
mengandung dosa. Apabila mengandung dosa, maka beliau menjauhkan diri
dari keduanya. Demi Allah, beliau tidak pernah marah karena hal yang
dilakukan terhadapnya kecuali jika pengharaman Allah dilanggar maka
beliau marah karena Allah.” (HR. Bukhari)
Al
Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani menjelaskan dalam mengomentari hadits
ini: “Dalam hadits ini terdapat anjuran untuk memberi maaf kecuali
terhadap haq-haq Allah (yang tidak ditunaikan).” (Fathul Bari karya Ibnu
Hajar 5/576)
Imam
Ar Razi rahimahullah berkata: “Sikap lemah lembut dan kasih sayang
hanya diperbolehkan apabila tidak menyebabkan pengabaian terhadap salah
satu haq Allah. Jika sikap itu membawa kepada kondisi yang demikian maka
tidak diperbolehkan.” (At Tafsirul Kabir 9/64 dan Gharaibul Qur’an wa
Gharaibul Furqan karya An Naisaburi 4/ 107)
Pada
sebuah riwayat yang shahihah dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha
diceritakan bahwa orang-orang Quraisy merasa belas kasihan terhadap
seorang wanita dari Bani Makhzum yang telah mencuri. Mereka berkata:
“Tak ada seorang pun yang berani membicarakan tentang pembelaannya
(terhadap wanita tersebut) kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam melainkan Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Apakah engkau (Usamah) memberi pembelaan bagi pelanggaran terhadap
salah satu batas-batas Allah?!” Kemudian beliau berdiri dan berkhutbah
lalu bersabda: “Wahai sekalian manusia, tidaklah orang-orang sebelum
kalian sesat melainkan karena apabila seorang yang mulia mencuri, mereka
membiarkannya. Sedangkan apabila seorang yang lemah mencuri, mereka
tegakkan hukuman atasnya. Demi Allah, kalaulah seandainya Fatimah binti
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mencuri, aku akan memotong
tangannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabul Hudud bab Karahiyah Syafaah Fil
Hadd Idza Rufi’a Ilas Sulthan hadits nomor 6778, 12/87)
Nash
Al Qur’an Dan As Sunnah Serta Penjelasan Para Ulama Tentang Sikap Keras
Ketika Muncul Sikap Penentangan Dan Peremehan Terhadap Dakwah Al Qur’an
telah menceritakan tentang sikap keras para Nabi terhadap kaum mereka
yang menentang dakwah dan terus-menerus dalam kebodohan. Sebagai contoh
kita mendapatkan dalam Al Qur’an ucapan Nabi Nuh ‘Alaihis Salam kepada
kaumnya yang menentang dakwahnya. Allah berfirman menceritakan ucapan
Nabi Nuh ‘Alaihis Salam (yang artinya): “ … akan tetapi aku memandang kalian sebagai kaum yang bodoh.” (QS. Hud: 29)
Demikian pula Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam berkata kepada kaumnya sebagaimana yang diceritakan dalam Al Qur’an (yang artinya):
Ibrahim berkata: “Maka mengapakah kalian menyembah selain Allah yaitu
sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikit pun dan tidak (pula)
memberi mudharat kepada kalian. Ah (celakalah) kalian dan apa yang
kalian sembah selain Allah. Maka apakah kalian tidak berakal.” (QS. Al Anbiya’: 66-67)
Juga ucapan Nabi Luth ‘Alaihis Salam kepada kaumnya (yang artinya): “Mengapa
kalian mendatangi jenis lelaki diantara manusia, kalian tinggalkan
isteri-isteri yang dijadikan oleh Rabb kalian untuk kalian bahkan kalian
adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Asy Syu’ara: I65-166)
DR.
Fadll Ilahi setelah membawakan beberapa ayat di atas menyatakan: “Pada
ayat-ayat di atas terdapat teguran keras yang ditujukan kepada kaum
–kaun para Nabi. Para Nabi bersikap demikian tatkala mereka mendapatkan
penentangan, peremehan, dan pelecehan terhadap dakwah diri kaum mereka.
Wallahu Ta’ala A’lamu Bish Shawab.” (Al Lin wa Ar Rifq, karya DR. Fadll
Ilahi halaman 40)
Allah
Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada Nabi-Nya yang mulia, Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, untuk mendebat ahlul kitab dengan cara
yang terbaik kecuali terhadap orang-orang yang berlaku zhalim diantara
mereka. Allah berfirman (yang artinya): “Dan janganlah kalian
berdebat dengan Ahli Kitab melainkan dengan cara yang terbaik kecuali
dengan orang-orang zhalim diantara mereka ….” (QS. Al Ankabut: 46)
Dalam
ayat lain Allah memerintahkan Nabi-Nya untuk menggunakan sikap keras
dan tegas ketika berhujjah dengan kaum munafik. Allah berfirman (yang
artinya): “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang munafik itu dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat
mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang
seburuk-buruknya.” (QS. At Taubah: 73)
Ibnu
Abbas radliyallahu ‘anhu dalam menafsirkan ayat di atas berkata: “Allah
memerintahkannya (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam)
untuk berjihad (melawan) orang-orang kafir dengan pedang sedangkan
orang-orang munafiq dengan lisan dan menghilangkan sikap lemah lembut
terhadap mereka.” (Tafsir Ath Thabari 14/358-359 dan Tafsir Al Baghawi
5/311)
Perintah
ini telah dilaksanakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
dengan sebaik-baiknya. Dalam sebuah hadits, Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam berdakwah dengan mengancam kaum munafiq yang berpaling dari
shalat jamaah di masjid. Beliau bersabda (yang artinya): “Tak ada
shalat yang lebih berat bagi kaum munafiq (selain) dari shalat fajar dan
shalat Isya’. Kalau seandainya mereka mengetahui keutamaan pada
keduanya niscaya mereka akan mendatanginya walaupun dengan merangkak.
Sungguh aku berkeinginan memerintahkan seorang muadzin (untuk beradzan)
kemudian iqamah. Selanjutnya aku perintahkan seseorang mengimami
manusia. Setelah itu aku nyalakan api dan aku bakar orang-orang yang
tidak keluar untuk shalat.” (HR. Bukhari)
Al
Hafizh lbnu Hajar berkata: “Dalam uraian hadits ini terungkap bahwa
beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melarang kaum munafiq dari
meninggalkan shalat jamaah dengan ucapan. Sampai akhirnya mereka berhak
mendapatkan ancaman dengan suatu hukuman yang akan beliau perbuat
(kepada mereka). Hal ini juga telah dijelaskan oleh Bukhari dalam
Kitabul Asykhash dan Kitabul Ahkam, keduanya dalam bab tentang
mengeluarkan ahli maksiat dan keraguan dari rumah-rumah mereka setelah
diketahui.” (Fathul Bari 2/130)
Disebutkan
dalam Shahih Muslim bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendoakan
kejelekan terhadap orang yang tidak mau menjalani perintah beliau karena
sombong. Dari Salamah bin Al Akwa’ radliyallahu ‘anhu, bahwasanya
seseorang makan di sisi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dengan
tangan kirinya. Maka beliau bersabda: “Makanlah dengan tangan kananmu!”
“Aku tidak bisa”, jawab orang tersebut. Selanjutnya Nabi bersabda:
“Engkau tidak akan pernah bisa.” Tidak ada yang mencegahnya kecuali
karena sombong. Dia (perawi) berkata: “Maka dia tidak mampu mengangkat
tangannya sampai ke mulutnya.” (HR. Muslim 2021, 3/1599)
Nash
As Sunnah Dan Beberapa Penjelasan Para Ulama Tentang Sikap Keras
terhadap Penyelisihan Syari’at Yang Dilakukan Oleh Orang-Orang Yang
Tidak Pantas Hal Hal itu Terjadi pada Dirinya
Imam
Bukhari meriwayatkan dari Abu Mas’ud Al Anshari radliyallahu ‘anhu, dia
berkata: “Seorang laki-laki berkata (kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam): “Wahai Rasulullah, hampir saja aku tidak mengerti shalat kami
yang diimami oleh si fulan karena sangat panjang.” Maka aku (perawi)
tidak pernah melihat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam marah dalam
menasehati yang lebih keras daripada hari itu. Beliau bersabda : “Wahai
sekalian manusia, sesungguhnya kalian telah membuat orang lari. Maka
barangsiapa shalat mengimami manusia hendaklah dia memperingan
(shalatnya) karena diantara mereka ada orang yang sakit, lemah, dan
orang yang memiliki kebutuhan.” (HR. Bukhari)
Al
’Allamah Al ’Ainy berkata dalam mengomentari hadits di atas: “Pada
hadits ini terdapat makna yang menunjukkan tentang bolehnya marah karena
perkara-perkara agama yang diingkari.” (‘Umdatul Qari’ 2/107)
Pada
riwayat Imam Bukhari yang lain dari Abi Hurairah radliyallahu ‘anhu
bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah melihat
seseorang yang menggiring seekor unta yang akan disembelih di Mekah.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Naiki unta itu!” Orang
tersebut menjawab: “Sesungguhnya ini adalah unta yang akan disembelih di
Mekah.” Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Celaka kamu,
naiki unta itu!” (Beliau menyatakan hal ini) pada kali yang ketiga atau
kedua. DR. Fadll Ilahi berkata: “Perkataan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam kepadanya ‘Celaka kamu’ adalah pendidikan agar dia kembali kepada
(perintah) Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Karena dia mengetahui
dengan jelas bahwa tidak boleh seorang Mukmin bersikap ragu dan menahan
diri dari melaksanakan perintah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Hal
ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Al-Qurthubi. (Al Lin wa Ar
Rifq halaman 52)
Imam
Ad Darimi telah meriwayatkan dari Jabir radliyallahu ‘anhu bahwasanya
Umar bin Khaththab radliyallahu ‘anhu mendatangi Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam dengan membawa satu naskah dari Taurat seraya berkata:
“Ya Rasulullah, ini adalah satu naskah dari Taurat.” Kemudian beliau
diam. Setelah itu beliau mulai membacanya. Wajah Rasulullah pun berubah.
Maka Abu Bakr radliyallahu ‘anhu berkata: “Celaka engkau, apakah engkau
tidak melihat wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam? Umar
menoleh kepada wajah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam seraya
berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari kemarahan Allah dan
Rasul-Nya. Kami ridla Allah sebagai Rab (kami), Islam sebagai agama
(kami), dan Muhammad sebagai Nabi (kami).” Maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya,
kalau seandainya Musa muncul di hadapan kalian niscaya kalian akan
mengikutinya dan meninggalkanku. Sungguh kalian telah sesat dari jalan
yang lurus. Kalau seandainya Musa itu hidup dan mendapatkan kenabianku
niscaya dia akan mengikutiku.” (Sunan Ad Darimi nomor hadits 44, 1/95)
Imam
Bukhari dalam Shahih-nya membuat dua bab yang berkaitan dengan masalah
ini. Yang pertama, bab tentang marah dalam memberi nasehat dan pelajaran
apabila dia melihat sesuatu yang dibenci. Yang kedua, bab tentang
perkara-perkara yang diperbolehkan marah dan bersikap keras karena
perintah Allah Ta’ala. Kemudian Imam Bukhari membawakan beberapa hadits
yang menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam marah
dan bersikap keras ketika melihat sebagian shahabatnya melakukan
perkara-perkara yang dibencinya[2].
Demikianlah
beberapa dalil dan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah serta beberapa
perkataan para ulama yang berbicara tentang sikap keras, tegas, dan
lugas dalam dakwah. Tentunya masih banyak yang lainnya. Kami sebutkan
beberapa saja di atas untuk meringkas. Hakekat Sikap Keras Dalam Dakwah
Penjelasan-penjelasan yang telah lalu menggambarkan kepada kita bahwa
Islam sebenarnya juga mengajarkan untuk bersikap keras, tegas, dan lugas
dalam dakwah di samping memerintahkan untuk bersikap lemah lembut pada
tempatnya. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
masalah ini:
1.
Sikap keras, tegas, dan lugas dilakukan setelah sikap lemah lembut dan
kasih sayang dalam dakwah tidak berhasil merubah orang-orang yang
terus-menerus dalam kemungkaran. Syaikh Muhammad Amin Asy Syanqithi
pernah berkata: “Ketahuilah bahwasanya dakwah ke jalan Allah (dilakukan)
dengan dua cara. Pertama dengan cara lemah lembut dan kedua dengan cara
kekerasan. Adapun cara yang lemah lembut yaitu berdakwah ke jalan Allah
dengan hikmah dan memberikan nasehat yang baik. Apabila engkau berhasil
dengan cara ini alangkah baiknya dan inilah yang diinginkan. Namun jika
engkau tidak berhasil, gunakanlah cara kekerasan dengan pedang sampai
hanya Allah sajalah yang diibadahi dan ditegakkan hukum-hukum-Nya,
dilaksanakan perintah-perintah-Nya, serta ditinggalkan
larangan-larangan-Nya. Hal inilah yang telah diisyaratkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya (yang artinya): ‘Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca
(keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan
besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat
bagi manusia ….’ (QS. Al Hadid: 25)
Pada
ayat ini terdapat isyarat untuk menggunakan pedang setelah tegaknya
hujah sehingga apabila kitab-kitab tidak bermanfaat maka batalyon
pasukan sangat berguna (dalam merubah kemungkaran). Karena terkadang
Allah mencegah suatu (kemungkaran) melalui para penguasa, tidak melalui
Al Qur’an (yang dibacakan).” (Tafsir Adlwa’ul Bayan, Syaikh Muhammad
Amin Asy Syanqithi 2/174-175)
2.
Sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah diperlakukan kepada orang
yang menentang Al Haq dan menampakkan kefasikan dan kejelekannya secara
terang-terangan. Imam Ahmad rahimahullah berkata: “Manusia membutuhkan
bujuk rayuan dan sikap lemah lembut tanpa kekerasan saat mereka diajak
kepada kebaikan kecuali seorang yang menentang (Al Haq) dan menampakkan
kefasikan berserta kejelekannya secara terang-terangan. Maka wajib
atasmu mencegahnya (dengan keras) dan mengumumkannya (di hadapan
khalayak ramai), karena dahulu dikatakan bahwa tak ada kehormatan bagi
seorang yang fasiq. Oleh sebab itu orang yang seperti ini tak ada
kehormatan baginya.” (Al Amru bil Ma’ruf Wa An Nahyu ‘Anil Munkar, Al
Khallal halaman 47)
Al ‘Allamah Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata tentang makna firman Allah Ta’ala yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan peringatan yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang terbaik.” (QS. An Nahl: 125)
“Allah
Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan tingkatan-tingkatan dakwah dan
menjadikannya tiga bagian sesuai dengan keadaan orang yang didakwahi.
(Pertama),
orang yang didakwahi adalah pencari dan pecinta Al Haq. Dia lebih
mendahulukan Al Haq daripada yang selainnya bila dia mengetahuinya. Maka
orang ini didakwahi dengan hikmah, tidak butuh diperingatkan (dengan
ancaman) dan perdebatan.
(Kedua),
orang yang didakwahi sibuk dengan selain Al Haq. Akan tetapi kalau dia
mengetahuinya, dia akan lebih mendahulukan Al Haq dan mengikutinya. Maka
orang ini butuh (didakwahi) dengan peringatan yang memberikan semangat
dan peringatan yang memberikan ancaman.
(Ketiga),
orang yang didakwahi suka menentang dan melawan (Al Haq). Maka orang
ini perlu didebat dengan cara yang terbaik jika dia mau kembali. Kalau
tidak, orang ini dibawa kepada kekerasan jika memungkinkan.” (Fathul
Majid Syaikh Abdurrahman Alu Syaikh dengan ta’liq Syaikh bin Baz dan
tahqiq Syaikh Asyraf bin Abdil Maqsud halaman 101)
3.
Mempertimbangkan mashlahat dan madlarat yang akan timbul akibat sikap
keras dan tegas dalam dakwahnya. Jika seorang da’i mempertimbangkan
dengan praduga yang kuat dalam hatinya dan tanda-tanda yang ada di
sekitarnya, bahwa dengan sikap keras dan tegas dalam dakwahnya akan
menimbulkan kemungkaran yang lebih besar daripada kemungkaran yang dia
cegah, atau akan luput suatu kebaikan yang lebih penting daripada
kebaikan yang dia dakwahkan dengan cara yang keras, maka tidak boleh dia
bersikap keras dan tegas dalam dakwahnya yang akan berakibat pada
keadaan yang lebih fatal. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang
hal ini: “Sesungguhnya (dakwah) amar ma’ruf nahi munkar yang mengandung
mashlahat dan menolak kerusakan perlu dilihat akibat yang muncul
karenanya. Apabila berakibat hilangnya mashlahat (yang lebih penting)
dan timbulnya kerusakan yang lebih besar maka tidaklah diperintahkan
untuk berdakwah amar ma’ruf nahi mungkar. Bahkan haram bila kerusakan
(yang timbul) lebih besar daripada mashlahatnya. Akan tetapi mengukur
(besar dan kecil) mashlahat-mashlahat dan kerusakan-kerusakan
(hendaklah) dengan timbangan syari’ah.” Selanjutnya beliau berkata:
“Termasuk dalam hal ini adalah perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam membiarkan Abdullah bin Ubai dan para tokoh kemunafikan serta
kejahatan yang semisalnya, karena mereka memiliki pengikut-pengikut
(yang banyak). Menghilangkan kemungkaran (dari mereka) dengan cara
menghukum mereka akan melenyapkan kebaikan yang lebih banyak. Sebab
kaumnya akan marah dan membela dengan sikap fanatik. Manusia pun akan
lari (dari dakwah) bila mereka mendengar bahwasanya Muhammad Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam membunuh shahabatnya.” (Al Amru bil Ma’ruf wa An
Nahyu ‘Anil Munkar, Al Khallal halaman 21)
Masalah
ini juga dapat dilihat dalam kitab karya Ibnu Qayyim Al Jauziyah yang
berjudul I’lamul Muwaqqi’in 3/15-16. Demikianlah Islam berbicara tentang
sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah.
KESIMPULAN
Dari semua keterangan di atas ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil:
1. Islam mengajarkan untuk bersikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah ketika:
a. Timbulnya pelanggaran terhadap pengharaman-pengharaman Allah dan saat ditegakkan hukum-hukum had.
b. Timbulnya penentangan dan pelecehan terhadap dakwah.
c.
Timbulnya penyimpangan dari syari’ah yang dilakukan oleh orang-orang
yang tidak pantas hal itu terjadi pada dirinya. Seperti orang yang paham
tentang syari’at kemudian menyelisihinya. Demikian pula orang yang
menentang Al Haq padahal telah ditegakkan hujah atasnya dan lain-lain.
2. Sikap keras, tegas, dan lugas dalam dakwah dibenarkan apabila:
a. Sikap lemah lembut dan kasih sayang tidak mampu merubah orang yang terus-menerus dalam kemungkaran.
b. Dilakukan pada orang yang menentang Al Haq dan menampakkan kefasikan beserta kejelekannya secara terang-terangan.
c. Menimbulkan mashlahat yang lebih besar daripada kerusakan.
3. Telah salah orang yang beranggapan bahwa Islam hanya mengajarkan dakwah dengan sikap lemah lembut dan kasih sayang saja.
4. Dakwah dengan sikap keras, tegas, dan lugas jika pada tempatnya bukanlah suatu kezhaliman.
5.
Dakwah dengan sikap keras, tegas, dan lugas yang pada tempatnya
termasuk dakwah Ilallah yang menggunakan hikmah. Karena Islam
mengajarkan untuk berdakwah dengan sikap yang demikian pada tempatnya.
Mustahil Islam mengajarkan sesuatu yang tidak mengandung hikmah.
Semoga
Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas kita dengan kebaikan dan pahala yang
tidak terkira dan mudah-mudahan kaum Muslimin juga mendapatkan manfaat
dengan membacanya. Wallahu A’lamu Bish Shawwab.
Catatan kaki
[1] Penjelasan
tentang semboyan yang menjadi prinsip dakwah mereka ini dapat dibaca
lebih lanjut dalam Kitab Al Quthbiyah karya Syaikh Abu Ibrahim bin
Shulthan Al Adnan.
[2] Disadur dari buku Al Lin wa Ar Rifq karya DR. Fadll Ilahi halaman 34-53.
Dikutip dari majalah Salafy Edisi XV/Tahun 1417 H/1997 M
judul asli "Salahkah Sikap Keras Dalam Dakwah"
judul asli "Salahkah Sikap Keras Dalam Dakwah"