Friday, December 26, 2014

Islam Agama yang Sempurna (Bagian 1: Tauhid, Mengesakan Allah)

,
Islam Agama yang Sempurna (Bagian 1: Tauhid, Mengesakan Allah)

Disusun oleh Syekh Muhammad Al-Amin bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi (1305 H–1393 H)
Diterjemahkan oleh Ustadz Muslim Atsari
1. Tauhid (Mengesakan Allah)
Dengan telaah terhadap Alquran maka diketahui bahwa tauhid terbagi menjadi tiga bagian.
Pertama: Tauhid rububiyah (Mengesakan Allah di dalam perbuatan-Nya; yaitu bahwa Dia tidak memiliki sekutu di dalam seluruh perbuatan-Nya. Bahwa hanya Allah yang menciptakan, memiliki, memberi rizeki, menguasai seluruh makhluk, pent.). Naluri/tabiat seluruh orang yang berakal telah diciptakan mengakui tauhid ini.

Allah ta’ala berfirman,
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh, jika kamu bertanya kepada mereka tentang siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab, ‘Allah,’ maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Q.s. Az-Zukhruf [43]:87)
Allah ta’ala juga berfirman,
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَآءِ وَاْلأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ وَاْلأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ اْلأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللهُ فَقُلْ أَفَلاَتَتَّقُونَ
“Katakanlah, ‘Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang berkuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati serta yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan.’ Maka mereka menjawab, ‘Allah.’ Maka katakanlah, ‘Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?’” (Q.s. Yunus [10]:31)
Ayat-ayat seperti ini sangat banyak.
Adapun pengingkaran Fir’aun terhadap tauhid ini, termuat di dalam firman Allah,
قَالَ فِرْعَوْنُ وَمَارَبُّ الْعَالَمِينَ
“Fir’aun bertanya, ‘Siapa Rabb semesta alam itu?’ (Q.s. Asy-Syu’ara [26]: 23)
Maka itu merupakan kesombongan dan pura-pura bodoh! Dengan dalil firman Allah,
قَالَ لَقَدْ عَلِمْتَ مَآأَنزَلَ هَآؤُلآءِ إِلاَّ رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ بَصَآئِرَ
“Musa menjawab, ‘Sesungguhnya, kamu (wahai Fir’aun) telah mengetahui, bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb yang memelihara langit dan bumi, sebagai bukti-bukti yang nyata.” (Q.s. Al-Isra’ [17]:102)
Serta firman Allah,
وَجَحَدُوا بِهَا وَاسْتَيْقَنَتْهَآ أَنفُسُهُمْ ظُلْمًا وَعُلُوًّا
“Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan.”
(Q.s. An-Naml [27]:14)
Oleh karena itulah, Alquran turun menetapkan tauhid jenis ini dengan bentuk pertanyaan penetapan. Seperti firman Allah,
أَفِي اللهِ شَكٌّ
“(Rasul-rasul mereka berkata), ‘Apakah ada keraguan terhadap Allah?’”
(Q.s. Ibrahim [14]:10)
Juga firman-Nya,
قُلْ أَغَيْرَ اللهِ أَبْغِي رَبًّا وَهُوَ رَبُّ كُلِّ شَيْءٍ
“Katakanlah, ‘Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb bagi segala sesuatu?” (Q.s. Al-An’am [6]:164)
Serta firman-Nya,
قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ قُلِ اللهُ
“Katakanlah, ‘Siapakah Rabb langit dan bumi?’ Jawablah, ‘Allah.’” (Q.s. Ar-Ra’d [13]:16)
Juga (ayat-ayat) semacam itu, karena mereka mengakuinya.
Jenis tauhid ini tidak bermanfaat bagi orang-orang kafir (walaupun mereka telah mengakuinya, pent.), karena mereka tidak mengesakan Allah di dalam peribadahan (ketundukan mutlak) kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah,
وما يؤمن أكثرهم بالله إلا وهم مشركون
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (Q.s. Yusuf [12]:106)
(Allah berfirman memberitakan perkataan orang-orang musyrik jahiliah,)
مَا نَعْبُدُهُمْ إِلاَّ لِيُقَرِّبُونَآ إِلَى اللهِ زُلْفَى
“Kami tidak menyembah mereka (sembahan selain Allah) melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah, sedekat-dekatnya.” (Q.s. Az-Zumar [39]:3)
وَيَقُولُونَ هَاؤُلآءِ شُفَعَاؤُنَا عِندَ اللهِ قُلْ أَتُنَبِّئُونَ اللهَ بِمَا لاَ يَعْلَمُ
“Dan mereka berkata, ‘Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah.’ Katakanlah, ‘Apakah kamu mengabarkan kepada Allah tentang sesuatu yang tidak diketahui-Nya?’” (Q.s. Yunus [10]:18)
Kedua: Tauhid uluhiyah (tauhid ibadah), yaitu mengesakan Allah di dalam beribadah kepada-Nya.
Tauhid inilah yang menjadi ajang peperangan antara seluruh rasul dengan umat-umat mereka. Inilah tauhid yang menjadi tujuan pengutusan para rasul. Kesimpulannya adalah makna “la ilaha illallah”. Ini dibangun di atas dua pondasi, yaitu: an-nafyu (peniadaan) dan al-itsbat (penetapan) dari “la ilaha illallah”.
Makna an-nafyu (peniadaan) dari “la ilaha illallah” yaitu: melepaskan segala sesuatu yang diibadahi selain Allah, di dalam seluruh jenis-jenis ibadah, apa pun bentuknya.
Adapun makna al-itsbat (penetapan) dari “la ilaha illallah” yaitu: mengesakan Allah semata, dengan seluruh jenis-jenis ibadah, dengan bentuk yang Allah telah mensyari’atkan untuk digunakan beribadah kepada-Nya. Mayoritas isi Alquran membahas tentang jenis tauhid ini.
Allah berfirman,
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أَمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُوا اللهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
“Dan sesungguhnya, Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), ‘Beribadahlah (menyembahlah) kepada Allah (saja), dan jauhilah tagut.’” (Q.s. An-Nahl [16]:36)
Allah ta’ala berfirman,
وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لآ إِلَهَ إِلآ أَنَا فَاعْبُدُونِ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasul sebelum-mu, melainkan Kami wahyukan kepadanya, ‘Bahwasanya tidak ada sembahan (yang berhak disembah) melainkan Aku, maka kamu sekalian hendaklah menyembah-Ku.’” (Q.s. Al-Anbiya’ [21]:25)
Allah ta’ala juga berfirman,
فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
Barang siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sesunguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (Q.s. Al-Baqarah (2):256)
Allah ta’ala juga berfirman,
وَسْئَلْ مَنْ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رُّسُلِنَآ أَجَعَلْنَا مِن دُونِ الرَّحْمَنِ ءَالِهَةً يُعْبَدُونَ
Dan tanyakanlah kepada rasul-rasul Kami yang telah Kami utus sebelum kamu, adakah Kami menentukan sembahan-sembahan untuk disembah selain Allah yang Maha Pemurah?” (Q.s. Az-Zukhruf [43]:45)
Allah ta’ala juga berfirman,
قُلْ إِنَّمَا يُوحَى إِلَىَّ أَنَّمَآ إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَهَلْ أَنتُمْ مُّسْلِمُونَ
Katakanlah, ‘Sesungguhnya, yang diwahyukan kepadaku adalah, ‘Bahwasanya sembahanmu adalah Tuhan yang Maha Esa, maka hendaklah kamu berserah diri (kepada-Nya).”” (Q.s. Al-Anbiya’ [21]:108)
Ketiga: Mengesakan Allah di dalam nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya
Jenis tauhid ini terbangun di atas dua prinsip, sebagaimana telah dijelaskan oleh Allah jalla wa ‘ala.
Prinsip pertama: Menyucikan Allah ta’ala dari penyerupaan terhadap sifat-sifat makhluk.
Prinsip kedua: Beriman kepada seluruh (sifat) yang Allah sifatkan kepada diri-Nya atau yang disifatkan oleh Rasul-Nya kepada Allah; beriman dengan hakikatnya, bukan kiasan; dengan bentuk yang pantas dengan kesempurnaan-Nya dan keagungan-Nya. Telah pasti bahwa tidak ada yang menyifati Allah, yang lebih tahu tentang Allah, daripada Allah sendiri. Tidaklah ada yang menyebutkan tentang sifat Allah–setelah Allah sendiri–,yang lebih tahu tentang Allah, daripada utusan Allah.
Allah ‘azza wa jalla telah berfirman tentang diri-Nya,
ءَأَنتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللهُ
Katakanlah,’Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah?’” (Q.s. Al-Baqarah [2]:140)
Allah pun berfirman tentang Rasul-Nya,
وَمَايَنطِقُ عَنِ الْهَوَى {3} إِنْ هُوَ إِلاَّوَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (Q.s. An-Najm [53]:3–4)
Allah telah menjelaskan ketidak-serupaan apa pun dengan-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءُُ
Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia.” (Q.s. Asy-Syura [42]:11)
Allah juga telah menjelaskan penetapan sifat-sifat bagi-Nya beserta hakikat sifat-sifat itu, dengan firman-Nya,
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Q.s. Asy-Syura [42]:11)
Permulaan ayat di atas menetapkan sifat Allah tanpa disertai ta’thil (penolakan ayat-ayat tentang sifat Allah). Dengan demikian, dari ayat tersebut, jelas bahwa yang menjadi kewajiban adalah menetapkan sifat-sifat Allah sesuai hakikatnya, tanpa menyerupakan Allah (dengan makhluk-Nya), dengan menafikan kemungkinan penyerupaan Allah dengan makhluk-Nya, tanpa melakukan ta’thil.
Allah juga menjelaskan kelemahan (ilmu) makhluk yang tidak mampu meliputi Allah jalla wa ‘ala,
يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَيُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا
Dia mengetahui segala sesuatu yang ada di hadapan mereka dan yang ada di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Q.s. Thaha [20]:110)