Monday, June 15, 2015

Mereka Yang Diperbolehkan Tidak Berpuasa...

Bismillah Assalamu alaikum


Segala puji milik Allah swt, sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad saw.

Pada edisi yang lalu, telah kita bahas beberapa keadaan yang mengharamkan seseorang berpuasa. Dan pada edisi ini, insya Allah kita akan bahas keadaan-keadaan yang membolehkan seseorang untuk memilih antara puasa dan tidak puasa. Keadaan apa sajakah itu? Dan bagaimana konsekuensinya jika tidak berpuasa? Simak pembahasan berikut.
Keadaan yang membolehkan seseorang memilih berpuasa atau tidak.
1. Safar (bepergian)
Safar ada 3 macam :

· Safar dalam rangka keta’atan : yaitu bepergian untuk melakukan ibadah. Seperti haji, umrah, menuntut ilmu, dan jihad fi sabilillah.
· Safar mubah : yaitu bepergian untuk melakukan hal-hal yang mubah (boleh-boleh saja untuk dilakukan). Seperti rekreasi, bekerja, dll.
· Safar maksiat : yaitu bepergian dalam rangka maksiat kepada Allah. Seperti pergi ke suatu tempat yang jauh unuk membeli khomr, atau untuk berjudi, atau untuk berzina.
Safar yang dimaksud dalam pembahasan kita adalah safar yang pertama dan kedua, adapun safar maksiat tidak ada rukhsoh (keringanan) didalamnya.
Bepergian yang ada rukhsoh adalah bepergian yang ditempuh dengan jarak yang jauh, minimal ± 86 KM. Dan bagi musafir yang meninggalkan puasa, wajib baginya untuk mengganti dihari yang lain diluar Ramadhan.
Lama waktu safar yang ada rukhsoh didalamnya tidak ada batasnya, selama dia sedang bepergian dia boleh untuk tidak berpuasa, meskipun itu lebih dari 3 hari.
Hal ini seusia dengan firman Allah :
فَمَنْ كَانَ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر
Maka barang siapa yang sakit atau dalam keadaan bepergian (dan dia tidak puasa), wajib baginya mengganti (hari yang diitinggalkannya tsb) dihari yang lain. (Q.S. Al-Baqoroh : 184)
Namun, manakah yang lebih utama bagi musafir, puasa atau tidak? Dalam hal ini ada perincian :
· Jika safar orang tersebut tidak berat maka berpuasa lebih utama baginya. Sebagaimana firman Allah swt.:
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. Al-Baqoroh : 184)
· Jika safar orang tersebut berat maka tidak berpuasa lebih utama baginya. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. :
لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامَ فِي السَّفَرِ
Bukan sebuah kebaikan, berpuasa ketika bepergian (safar). [H.R. Imam Ahmad].
2. Sakit
Sebagaimana Ayat 184 dari Al-Baqoroh diatas, bahwa seorang yang sakit boleh baginya unuk tidak berpuasa. Namun, bukan berarti semua jenis penyakit mendatangkan rukhsoh. Hanya penyakit-penyakit yang melemahkan / membahayakan keselamatan seseorang jika berpuasa yang terdapat rukhsoh didalamnya.
Dan sama seperti safar, wajib bagi orang sakit yang tidak berpuasa untuk menggantinya dihari yang lain diluar Ramadhan ketika dia sudah sehat.
Adapun bagi orang yang terkena penyakit keras (kecil harapannya untuk sembuh), wajib baginya membayar fidyah, yaitu memberi makan orang miskin dengan ketentuan setiap hari yang ditinggalkan dia harus memberi makan 1 orang miskin dengan ukuran min. 1 KG beras.
Hal ini sebagaimana firman Allah :
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
(Q.S. Al-Baqoroh : 184)
Membayar fidyah tidak harus dilakukan pada hari itu juga (hari dia meninggalkan puasa). Fidyah bisa diakhirkan sampai setelah Ramadhan, namun menyegerakannya lebih utama.
3. Wanita Hamil / menyusui
Wanita yang sedang hamil dan/atau menyusui diperbolehkan tidak berpuasa jika dikhawatirkan akan mengakibatkan terganggunya kesehatan, baik itu akan berpengaruh pada anak yang dikandung maupun pada wanita yang sedang mengandung. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dengan hasil konsultasi dari pakar medis yang menangani kehamilan tersebut. Jika memang --menurut perspektif medis-- berpuasa tidak berbahaya bagi kesehatan wanita tersebut, maka sebaiknya tetap berpuasa. Akan tetapi jika puasa dikhawatirkan membawa dampak yang membahayakan kehamilan maupun ibu yang mengandung, maka diperbolehkan tidak berpuasa.
Keadaan wanita hamil/menyusui ini diqiyaskan dengan keadaan orang yang sakit. Karena terdapat kesamaan antara keduanya, sama-sama lemah/berat jika berpuasa,
Adapun ganti yang harus dibayar oleh wanita hamil/menyusui yang meninggalkan puasa tersebut adalah membayar fidyah (dengan ketentuan sebagaimana point ke-2).
Dia tidak harus menggantinya dengan puasa. Karena keadaan wanita hamil tidak sama dengan orang yang sakit. Berikut perbedaannya :
· Seorang yang sakit biasanya hanya sebentar (beberapa hari/beberapa pekan), sedangkan wanita hamil ± 9 bulan.
· Orang yang sakit ketika sembuh bisa langsung berpuasa, sedang wanita hamil ketika dia melahirkan tidak bisa langsung berpuasa, dia mengalami masa nifas (lihat edisi yang lalu), dan kemudian menyusui selama ± 2 tahun.
Jika demikian keadaannya, maka tidak ada kesempatan bagi wanita hamil untuk mengganti puasanya tersebut. Dan islam bukanlah agama yang memberatkan, sebagaimana firman Allah swt. :
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Q.S. Al-Baqoroh : 185)
Wallahu a’lam bis showab.