Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya) “Sesungguhnya
Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian dan tidak juga kepada
rupa-rupa kalian akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian (dan
amalan-amalan kalian)” (Hadits Riwayat Muslim).
Berkata
Syaikh Al Albany rahimahullah sebagaimana dalam ta’liqnya atas Riyadhus
Shalihin hadits no 8 " Imam Muslim dan yang lainnya menambahkan dalam
riwayatnya “Wa a’malikum” (dan amalan-amalan kalian) sebagaimana dikeluarkan dalam "Ghayatul Marom fi takhrijil Halal wal Haram (410)"
Tambahan ini penting sekali karena kebanyakan manusia memahami hadits dengan faham yang salah, kalau seandainya engkau perintahkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperintahkan syara’ yang penuh hikmah seperti memanjangkan jenggot dan meninggalkan tasyabuh (penyerupaan) terhadap orang kafir serta yang semisalnya dari beban-beban syariah, maka mereka menjawab bahwa yang menjadi pegangan adalah apa yang ada di hati, mereka beralasan dengan hadits ini tanpa mengetahui tambahan hadits shahih yang menunjukan bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala juga melihat kepada amalan-amalan mereka, apabila amalan-amalan itu shalihah maka diterimalah dan apabila tidak maka tertolaklah atas mereka, sebagaimana telah ditunjukan dalam banyak nas-nas qur’an dan sunnah seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam (yang artinya) "Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami sesuatu yang bukan perintah agama maka itu tertolak" (Hadits 173)
Secara hakikat bahwa tidak mungkin akan tergambar baiknya hati kecuali dengan baiknya amalan-amalan dan tidak ada kebaikan bagi suatu amalan kecuali dengan baiknya hati dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan yang demikian dengan seindah-indahnya penjelasan dalam hadits Nu’man bin Basyir (yang artinya)….
“ Ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging apabila baik gumpalan tersebut maka baiklah jasad tersebut dan sebalikya apabila rusak maka rusaklah jasad tersebut ingatlah bahwa itu adalah hati"
Tambahan ini penting sekali karena kebanyakan manusia memahami hadits dengan faham yang salah, kalau seandainya engkau perintahkan seseorang dengan sesuatu yang telah diperintahkan syara’ yang penuh hikmah seperti memanjangkan jenggot dan meninggalkan tasyabuh (penyerupaan) terhadap orang kafir serta yang semisalnya dari beban-beban syariah, maka mereka menjawab bahwa yang menjadi pegangan adalah apa yang ada di hati, mereka beralasan dengan hadits ini tanpa mengetahui tambahan hadits shahih yang menunjukan bahwa Allah Tabaroka wa Ta’ala juga melihat kepada amalan-amalan mereka, apabila amalan-amalan itu shalihah maka diterimalah dan apabila tidak maka tertolaklah atas mereka, sebagaimana telah ditunjukan dalam banyak nas-nas qur’an dan sunnah seperti sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam (yang artinya) "Barangsiapa membuat perkara baru dalam urusan kami sesuatu yang bukan perintah agama maka itu tertolak" (Hadits 173)
Secara hakikat bahwa tidak mungkin akan tergambar baiknya hati kecuali dengan baiknya amalan-amalan dan tidak ada kebaikan bagi suatu amalan kecuali dengan baiknya hati dan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menjelaskan yang demikian dengan seindah-indahnya penjelasan dalam hadits Nu’man bin Basyir (yang artinya)….
“ Ingatlah bahwa sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging apabila baik gumpalan tersebut maka baiklah jasad tersebut dan sebalikya apabila rusak maka rusaklah jasad tersebut ingatlah bahwa itu adalah hati"
dan hadits yang lain (yang artinya),"luruskanlah diantara shaf-shaf kalian atau allah akan jadikan perselisihan diatara hati-hati kalian”.
Dan juga sabda Beliau (yang artinya), "Sesungguhnya Allah indah dan menyukai keindahan"
Dan keindahan ini adalah keindahan secara jasad berbeda dengan persangakan kebanyakan dari manusia (lihat hadits 617)
Dan jika engkau tahu hal ini maka siapakah yang lebih keji kesalahannya yang bisa engkau lihat dalam kitab (Riyadus shalaihin) pada kebanyakan naskah baik berupa tulisan tangan atau yang dicetak yang saya pernah lihat atasnya. Adapun tamhahan hadits yang disebutkan telah diketahui penulis (Imam Nawawi) rahimahullah dalam hadits no 1578 akan tetapi tintanya atau tinta penulisnya telah terjadi kesalahan yang pada akhirnya diletakkan di tempat yang dapat merusak makna yaitu
Dan terus berlanjut hal ini pada setiap pencetak atau pentashih serta kalangan mualliq tanpa terkecuali juga kepada pentashih cetakab Ak Mubariyyah dan yang lainnya, bahkan terus berlanjut perkara ini atas penyarah kitab Ibnu Allan sendiri dalam penjelasan hadits (406/4) " artinya Allah Ta’ala tidak mengkaitakan pahala kepada besarnya jasad, baiknya rupa serta banyaknya amal".
Penyelasan ini tidak ragu lagi akan kebathilannya karena disamping bertentangan dengan hadits dalam nashnya yang sahih juga bertentangan dengan nash-nash yang banyak dari al kitab dan as sunnah yang menunjukan perbedaan derajat para hamba di dalam surga yang disebabkan banyak atau sedikitnya amal saleh yang dikerjakan hamba tersebut. Diantaranya firman Allah Ta’ala (yang artinya), "Dan bagi semuanya ada derajat-derajat (di surga) dengan sebab apa yang mereka amalkan" (Al An’am : 132)
Dan jika engkau tahu hal ini maka siapakah yang lebih keji kesalahannya yang bisa engkau lihat dalam kitab (Riyadus shalaihin) pada kebanyakan naskah baik berupa tulisan tangan atau yang dicetak yang saya pernah lihat atasnya. Adapun tamhahan hadits yang disebutkan telah diketahui penulis (Imam Nawawi) rahimahullah dalam hadits no 1578 akan tetapi tintanya atau tinta penulisnya telah terjadi kesalahan yang pada akhirnya diletakkan di tempat yang dapat merusak makna yaitu
Dan terus berlanjut hal ini pada setiap pencetak atau pentashih serta kalangan mualliq tanpa terkecuali juga kepada pentashih cetakab Ak Mubariyyah dan yang lainnya, bahkan terus berlanjut perkara ini atas penyarah kitab Ibnu Allan sendiri dalam penjelasan hadits (406/4) " artinya Allah Ta’ala tidak mengkaitakan pahala kepada besarnya jasad, baiknya rupa serta banyaknya amal".
Penyelasan ini tidak ragu lagi akan kebathilannya karena disamping bertentangan dengan hadits dalam nashnya yang sahih juga bertentangan dengan nash-nash yang banyak dari al kitab dan as sunnah yang menunjukan perbedaan derajat para hamba di dalam surga yang disebabkan banyak atau sedikitnya amal saleh yang dikerjakan hamba tersebut. Diantaranya firman Allah Ta’ala (yang artinya), "Dan bagi semuanya ada derajat-derajat (di surga) dengan sebab apa yang mereka amalkan" (Al An’am : 132)
Juga Firman-Nya dalam hadits qudsi "Wahai
hamba-hamba-Ku itu adalah amalan-amalan kalian yang Aku telah hitung
bagi kalian dan Aku beri balasan atasnya maka barangsiapa mendapatkan
kebaikan maka hendaklah ia memuji Allah" (al Hadits 113)”
Maka bagaimana bisa difahami Allah tidak melihat kepada amal-amal sebagaimana jasad-jasad dan rupa padahal amalan adalah pokok bagi masuknya ke dalam sorga setelah iman sebagaimana firman-Nya “masuklah kalian ke surga dengan sebab apa yang kalian amalkan“ (An Nahl : 32). Maka perhatikanlah betapa banyak orang yang taklid sehingga menghalanginya dari kebenaran dan menjerumuskan dia ke lembah karena kesalahan yang jauh dan tidaklah yang demikian itu terjadi kecuali karena berpalingnya mereka dari mempelajari sunnah pada induk-induk kitab yang dijadikan pegangan.dan sahihah.
Wallahul Musta’an
Maka bagaimana bisa difahami Allah tidak melihat kepada amal-amal sebagaimana jasad-jasad dan rupa padahal amalan adalah pokok bagi masuknya ke dalam sorga setelah iman sebagaimana firman-Nya “masuklah kalian ke surga dengan sebab apa yang kalian amalkan“ (An Nahl : 32). Maka perhatikanlah betapa banyak orang yang taklid sehingga menghalanginya dari kebenaran dan menjerumuskan dia ke lembah karena kesalahan yang jauh dan tidaklah yang demikian itu terjadi kecuali karena berpalingnya mereka dari mempelajari sunnah pada induk-induk kitab yang dijadikan pegangan.dan sahihah.
Wallahul Musta’an
Sumber: www.sahab.net