Sebagian besar masyarakat di sekitar kita yang belum memahami agama secara baik memandang bahwasanya seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa seperti bisa berjalan di atas air, terbang di udara, bertapa di goa selama empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan, minum, dan tidur, adalah para wali Allāh subḥānahu wa ta’ālā. Meskipun jika ditelusuri, ternyata orang yang punya kemampuan luar biasa tersebut tidaklah mengerjakan shālat lima waktu, tidak berpuasa Ramaḍān, dan lain-lain. Asal sudah bisa terbang dan pakai gamis, sudah dianggap termasuk wali. Benarkah demikian? Siapakah wali Allāh yang sesungguhnya?
Siapakah Wali Allāh?
Wali Allāh adalah orang-orang yang dekat dengan Allāh subḥānahu wa ta’ālā dan dicintai oleh Allāh. Mereka dinamakan ‘wali Allāh’ karena memiliki kedekatan khusus kepada Allāh dan karena Allāh mencintai mereka. Allāh ta’ālā berfirman,
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ketahuilah bahwasanya wali-wali Allāh tidak memiliki rasa takut dan tidak bersedih hati. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa”
(QS. Yunus : 62-63)
Perhatikanlah ayat di atas. Allāh subḥānahu wa ta’ālā menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan wali Allāh adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, bukan orang yang bisa terbang atau bisa berjalan di atas air. Maka, wali Allāh adalah orang yang memiliki dua sifat berikut: “iman dan takwa”.
Barangsiapa mengaku dirinya adalah wali Allāh, atau dianggap oleh masyarakat sebagai wali Allāh, padahal dia tidak beriman dan tidak pula bertakwa, dia bukanlah wali Allāh, melainkan seorang pendusta.
Pandangan Ahlus Sunnah Terhadap Wali Allāh
Al Imam Abu Ja’far Aṭ Ṭahawi raḥimahullāh memaparkan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap wali Allāh sebagai berikut,
وَلَا نُفَضِّلُ أَحَدًا مِنَ الْأَوْلِيَاءِ عَلَى أَحَدٍ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَنَقُولُ: نَبِيٌّ وَاحِدٌ أفضل من جميع الأولياء
“Kami tidaklah melebihkan seorang walipun di atas kedudukan para nabi ‘alaihimus salaam. Dan kami mengatakan : ‘Seorang nabi lebih utama daripada seluruh wali’”
Inilah aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap wali Allāh. Ahlus Sunnah mengatakan : wajib mencintai para wali Allāh, serta meneladaninya, memberikan loyalitas kepadanya, dan dekat dengannya. AKan tetapi, Ahlus Sunnah tidaklah berlebihan dalam mencintai para wali. Ahlus Sunnah tetap memposisikan mereka sebagaimana mestinya dan tidak melebihkannya di atas kedudukan para nabi. Kedudukan nabi tetap lebih utama dibandingkan kedudukan wali. Para nabi pasti wali Allāh, tetapi tidak setiap wali Allāh adalah nabi.
Apakah Karāmah Wali Memang Ada?
Imam Aṭ Ṭahawi rāhimahullāh memaparkan pandangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah terhadap karāmah wali sebagai berikut,
وَنُؤْمِنُ بِمَا جَاءَ مِنْ كَرَامَاتِهِمْ وَصَحَّ عَنِ الثقات من رواياتهم
“Dan kami beriman terhadap berita/riwayat yang ṣahih yang menceritakan karāmah para wali”
Karāmah para wali benar adanya, dan kita wajib mengimaninya.
Karāmah adalah sesuatu yang luar biasa, di luar kebiasaan manusia. Karāmah yang ada pada para nabi disebut dengan mukjizat. Contohnya adalah mukjizat Al Qur’an milik Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, mukjizat tongkat nabi Musa ‘alaihis salam, dan lainnya. Adapun karāmah yang dimiliki oleh orang-orang ṣalih, inilah karāmah yang kita kenal. Contohnya adalah apa yang terjadi dalam kisah aṣḥābul kahfi, dan juga kisah Maryam sebagaimana firman Allāh,
كُلَّمَا دَخَلَ عَلَيْهَا زَكَرِيَّا الْمِحْرَابَ وَجَدَ عِنْدَهَا رِزْقًا
“Setiap kali Zakariyya masuk (menemui Maryam) ke mihrāb, dia dapati di sisinya ada makanan”
(QS. Ali ‘Imrān : 37)
Maka, adanya makanan di sisi Maryam padahal ia terus beribadah di dalam mihrāb dan tidak pernah keluar dari mihrāb adalah sebuah karāmah.
Karāmah Syaiṭaniyyah
Terkadang, seorang dukun, tukang sihir, dan yang sejenisnya memiliki sesuatu luar biasa yang menyerupai karāmah para wali. Hakikatnya, itu bukanlah karāmah dari Allāh, tetapi itu adalah karāmah syaiṭoniyyah, karāmah dari setan. Bisa terbang, bisa berjalan di atas air, bisa tiduran di atas bara api yang menyala, dan hal luar biasa lainnya yang menyerupai karāmah, padahal sesungguhnya adalah karāmah dari setan.
Karāmah Dari Allāh vs Karāmah Dari Setan
Jika Anda melihat ada seseorang yang memiliki kemampuan luar biasa yang menyerupai karamah, janganlah langsung mengatakan dia adalah seorang wali. Akan tetapi, lihatlah terlebih dahulu apakah itu karamah dari Allah atau karamah dari setan.
Kaidah untuk membedakannya adalah melihat amalan orang tersebut:
Jika amalannya sesuai syari’at Islam, hal luar biasa yang ada pada dirinya adalah karāmah.
Jika tidak sesuai syari’at Islam, bahkan tidak beramal, itu karāmah dari setan.
Penutup
Sekarang, jelaslah bahwasanya wali Allāh adalah orang yang beriman dan bertakwa. Iman dan takwa menuntut adanya amalan lahiriyyah seperti ṣalat, puasa, dan lainnya. Maka, seseorang yang tidak melaksanakan kewajiban dalam Islam seperti ṣalat, puasa, dan lainnya karena menganggap dirinya sudah mencapai derajat wali sehingga tidak perlu ṣalat lagi, dia bukanlah waliyullāh, tetapi wali setan! Bagaimana tidak? Rāsulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam saja yang tanpa ragu lagi pasti termasuk waliyullāh selalu ṣalat sampai kaki beliau bengkak-bengkak, lalu apakah yang tidak pernah ṣalat dan tidak puasa pantas disebut sebagai waliyullāh? Hanya Allāh-lah yang memberi taufiq.
(Disarikan dari At Ta’liqāt Al Mukhtaṣarah ‘ala Matni-l Aqidah Aṭ Ṭahawiyyah karya Syaikh Dr. Ṣalih bin Fauzan Al Fauzan hafiẓahullāh hal. 238-244, cet. Dārul ‘Aṣimah)
artikel: www.pemudamuslim.com