بسم الله الرحمن الرحيم
Di zaman dahulu negeri Mesir dipimpin
oleh raja yang zalim dan kejam dikenal dengan sebutan "Fir'aun," ia
memperbudak kaumnya dan menindas mereka, bersikap sewenang-wenang di bumi dan menjadikan penduduknya berpecah
belah, dengan menindas segolongan dari mereka dan mempekerjakan mereka dengan
kerja paksa. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan.
Mereka yang tertindas ini adalah bani
Israil; suatu kaum yang nasab mereka sampai kepada Nabi Israil atau Ya'qub
'alaihis salam. Bani Israil menempati negeri Mesir ketika Nabi Yusuf 'alaihis
salam menjabat sebagai menterinya.
Suatu ketika Fir'aun bermimpi, bahwa
ada sebuah api yang datang dari Baitul Maqdis lalu membakar negeri Mesir selain
rumah-rumah Bani Israil. Saat bangun, maka Fir'aun langsung terkejut, kemudian ia
mengumpulkan para peramal dan pesihir untuk meminta takwil terhadap mimpinya
itu, lalu mereka memberitahukan bahwa akan lahir seorang anak dari kalangan
Bani Israil yang akan menjadi sebab binasanya penduduk Mesir. Maka Fir'aun
merasa takut terhadap mimpi tersebut, ia pun memerintahkan untuk menyembelih
anak-anak laki-laki Bani Israil karena takut terhadap kelahiran orang tersebut[1].
Hari pun berlalu, bulan dan tahun
berganti sehingga penduduk asli Mesir melihat bahwa jumlah Bani Israil semakin
sedikit karena dibunuhnya anak laki-laki yang masih kecil, mereka khawatir jika
orang-orang dewasanya wafat, sedang anak-anaknya dibunuh nantinya tidak ada
lagi yang mengurus tanah mereka, sehingga mereka pergi mendatangi Fir'aun dan
memberitahukan masalah itu, lalu Fir'aun berpikir ulang, kemudian ia pun
memerintahkan untuk membunuh laki-laki secara umum dan membiarkan mereka secara
umum.
Harun lahir pada tahun ketika anak-anak
tidak dibunuh, sedangkan Musa lahir pada tahun terjadinya pembunuhan, maka
ibunya takut kalau anaknya dibunuh sehingga ia memilih untuk menaruh anaknya di
tempat yang jauh dari jangkauan mata tentara Fir'aun yang senantiasa menanti
anak-anak Bani Israil untuk dibunuhnya, maka Allah mengilhamkan kepadanya untuk
menyusuinya dan meletakkannya ke dalam peti, lalu peti itu ditaruh ke sungai saat
tentara Fir'aun datang. Allah Subhaanahu wa Ta'ala berfirman,
"Dan Kami ilhamkan kepada ibu
Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka
jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah
(pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu,
dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul." (Terj. QS. Al Qashash: 7)
Maka ia pun menyiapkan peti kecil yang
terikat dengan tali dan menyusui anaknya, dan pada saat tentara Fir'aun datang,
maka ia menaruhnya ke dalam peti dan meletakkannya ke dalam sungai Nil. Ketika
tentara Fir'aun pergi, maka ia menarik kembali peti itu. Hingga suatu ketika,
ibu Nabi Musa lupa mengikat peti itu dengan tali, maka peti itu terbawa oleh
air dan terus berjalan, sedangkan saudari Musa diperintahkan untuk
memperhatikannya dan berjalan di sampingnya sambil melihat ke mana peti ini
berhenti. Peti tersebut tetap mengambang di atas sungai bergoyang ke kanan dan
ke kiri dan digerakkan oleh ombaknya, hingga kemudian peti itu terbawa ke arah
istana Fir'aun yang berada di dekat sungai Nil. Ketika saudari Musa melihat
peti itu mengarah ke istana Fir'aun, maka ia segera menyampaikan kepada ibunya
untuk memberitahukan perkara itu sehingga hati ibu Musa menjadi kosong, hampir
saja ia menyatakan keadaan yang sebenarnya bahwa Musa adalah anaknya sendiri.
Ketika itu, Asiyah istri Fir'aun
seperti biasa berjalan di kebun istana dan berjalan pula di belakangnya para
pelayannya, lalu Asiyah melihat sebuah peti di pinggir sungai Nil di ujung
istana, lalu ia menyuruh para pelayannya untuk membawanya dan mereka tidak
berani membukanya sampai meletakkan peti itu di hadapan Asiyah. Kemudian Asiyah
melihat peti itu dan dilihatnya ada seorang anak bayi yang manis dan Allah
menanamkan dalam hatinya rasa cinta kepada anak itu.
Di samping itu, Asiyah adalah seorang
wanita yang mandul, lalu ia mengambilnya dan memeluknya dan bertekad untuk
menjaganya dari pembunuhan dan penyembelihan, lalu ia membawanya ke suaminya
dan berkata dengan penuh rasa kasihan, "(Ia) adalah penyejuk mata hati
bagiku dan bagimu. Janganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat
kepada kita atau kita ambil ia menjadi anak." (Terj. QS. Al Qashash:
9).
Yang diucapkan Asiyah sungguh benar,
karena keberadaan Musa memberikan manfaat baginya, di dunia ia memperoleh
hidayah dengannya dan di akhirat ia masuk surga dengan sebabnya.
Ketika Fir'aun melihat istrinya begitu
kuat menjaga anak bayi ini, maka Fir'aun menyetujui permintaannya dan tidak
menyuruh dibunuh dan diangkatlah ia sebagai anak.
Kembalinya bayi Musa kepada ibunya
Setelah berlalu beberapa saat, sedang
Asiyah menggendong bayi Musa dengan penuh kegembiraan, namun ibu Nabi Musa
menangis dengan sedihnya, hatinya kosong terhadap urusan dunia selain urusan
Musa, maka Asiyah merasakan perlunya anak ini disusukan, ia pun segera
menghadirkan ibu susu untuk menyusukannya dan mengurusnya, sehingga datanglah
sejumlah ibu susu ke istana untuk menyusukannya, tetapi bayi Musa menolak
semuanya. Hal ini membuat penghuni istana sibuk memikirkannya dan berita ini
tersebar di kalangan manusia, sehingga saudari Musa mengetahui hal itu, ia pun
pergi ke istana dan menemui Asiyah istri Fir'aun dan memberitahukan, bahwa ia
mengetahui ibu susu yang cocok untuk anak ini, maka Asiyah bergembira sekali
dan meminta kepadanya agar ibu susu itu dibawa segera ke hadapannya.
Saudari Musa pun pulang dan menemui
ibunya yang sedang dalam keadaan menangis karena kehilangan anaknya, lalu saudari
Musa memberitahukan hal yang terjadi antara dirinya dengan istri Fir'aun
sehingga tenanglah ibu Nabi Musa dan lega hatinya.
Ibu Nabi Musa pun pergi bersama
puterinya ke istana Fir'aun. Ketika telah masuk ke istana dan menemui istri
Fir'au, maka ibu Nabi Musa segera menyodorkan teteknya, bayi Musa segera
menyusu hingga kenyang. Lalu Asiyah meminta Ibu Musa untuk tinggal di istana,
tetapi ia menolak karena ia mempunyai suami dan anak-anak yang perlu
dilayaninya, maka Asiyah pun melepas bayi Musa itu bersama ibu itu yang tidak
lain adalah ibu Nabi Musa sendiri. Ibunya membawa bayinya ke rumah tempat Musa
dilahirkan dengan hati yang penuh kebahagiaan, di samping ia memperoleh upah
dari istana, demikian pula nafkah dan pemberian lainnya, sehingga hiduplah Nabi
Musa dengan ibu dan ayahnya serta saudarinya. Saat Musa telah kembali ke istana
Fir'aun, maka keluarga Musa telah mendidiknya dengan pendidikan yang baik,
sehingga Nabi Musa tumbuh seperti anak raja dan pemerintah, yaitu sebagai orang
yang kuat, pemberani dan berpendidikan.
Ketika itu, Bani Israil menjadi lebih
terhormat, karena dari kalangan mereka yang menyusukan Musa.
Musa di masa dewasa
Demikianlah Nabi Musa alaihis salam
menjadi dewasa sebagai seorang yang kuat dan pemberani. Maka pada suatu hari,
Musa berjalan di kota Memphis dan dilihatnya ada dua orang yang bertikai, yang
satu dari kalangan kaumnya Bani Israil, sedangkan yang satu lagi dari penduduk
asli Mesir, yaitu orang Qibthi yang kafir. Lalu orang Bani Israil meminta
bantuan kepada Musa, kemudian Musa pun datang dan hendak mencegah orang Mesir
itu melakukan kezaliman, ia pun memukulnya dengan tangannya sehingga orang
Qibthi itu langsung tersungkur ke tanah dan mati.
Musa pun merasakan bahwa dirinya dalam
kesulitan, padahal maksud Beliau bukanlah untuk membunuhnya tetapi untuk
membela orang yang terzalimi, maka Nabi Musa pun bersedih, bertobat kepada
Allah dan kembali kepada-Nya serta meminta ampunan-Nya, (lihat Al Qashash:
15-16).
Akan tetapi, berita itu ternyata sudah
tersebar luas di kota itu dan orang-orang Mesir mencari-cari siapa pembunuhnya
untuk menghukumnya, tetapi mereka tidak mengetahuinya. Hari pun berlalu dan
saat Nabi Musa berjalan di kota itu, ia pun menemukan orang Bani Israil yang
pernah dibelanya bertengkar lagi dengan orang Mesir dan meminta bantuan lagi
kepada Nabi Musa 'alaihis salam, namun Musa marah terhadap permintaannya itu,
ia pun maju untuk melerai pertikaian, tetapi orang Bani Israil itu mengira
bahwa Musa hendak mendatanginya untuk memukulnya karena marah kepadanya, ia pun
berkata, "Wahai Musa! Apakah kamu bermaksud hendak membunuhku,
sebagaimana kamu kemarin telah membunuh seorang manusia?"
Mendengar kata-kata itu, maka
orang-orang Mesir pun mengetahui bahwa yang membunuh orang Qibthi itu adalah
Nabi Musa 'alaihis salam. Maka tentara Fir'aun mulai berpikir tentang hukuman
yang harus ditimpakan kepadanya, lalu ada seorang yang datang kepada Nabi Musa
menasihatinya agar ia pergi dari Mesir, maka Musa keluar darinya dalam keadaan
takut kalau ada yang menangkapnya sambil berdoa kepada Allah agar diselamatkan
dari orang-orang yang zalim (lihat Al Qashash: 17-21).
Musa meninggalkan Mesir menuju Madyan
Nabi Musa pun pergi meninggalkan Mesir,
namun ia tidak mengetahui ke mana ia harus pergi, ia berharap kepada Allah agar
Dia mengarahkan ke tempat yang tepat, dan ia terus berjalan hingga sampai di
sebuah kota bernama Madyan. Ketika tiba di kota Madyan, Nabi Musa mendatangi
sebuah pohon yang berada di dekat sumur lalu duduk di bawahnya. Ia pun
mendapati dua orang wanita yang membawa kambing-kambing gembalaannya, dimana
keduanya berdiri jauh dari sumur menunggu orang-orang selesai mengambil air,
lalu Musa mendekat kepada keduanya dan bertanya tentang sebab keduanya berdiri
jauh dari keramaian orang, maka keduanya memberitahukan, bahwa keduanya tidak
dapat memberi minum kambing-kambingnya melainkan setelah orang-orang selesai memberi minum
kambing-kambing mereka. Keduanya terpaksa melakukan demikian, karena orang
tuanya sudah sangat tua; tidak sanggup melakukan pekerjaan ini, maka Nabi Musa
pun maju lalu mengangkat batu besar sendiri yang biasa diangkat oleh sepuluh
orang yang menutupi sumur itu, kemudian memberi minum kambing-kambing milik
keduanya, kemudian ia kembali ke tempat semula di bawah naungan pohon untuk
dapat beristirahat setelah merasakan kelelahan perjalanan jauh. Lalu ia
merasakan lapar dan berdoa, "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku sangat
memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku."
Ketika kedua wanita itu kembali kepada
orang tuanya, keduanya menceritakan kejadian yang mereka alami, sehingga orang
tua itu heran dengan orang asing yang kuat dan memiliki sopan santun yang
tinggi. Lalu orang tua ini menyuruh salah seorang anaknya untuk mendatanginya
dan mengundangnya menemui ayahnya untuk diberikan balasan.
Lalu salah satu wanita itu mendatangi
Musa dengan rasa malu dan memberitahukan tentang undangan ayahnya, maka Musa
memenuhi undangan itu dan mendatangi ayah wanita itu dengan berjalan di depan,
sedangkan wanita ini berjalan di belakang sambil mengisyaratkan jalannya dengan
melempar batu kecil.
Ketika sampai di tempat orang tua itu,
maka ia bertanya kepada Musa tentang nama dan perihal yang terjadi pada
dirinya, Musa pun menceritakan kejadiannya, lalu orang tua itu menenangkannya.
Ketika itu, salah seorang dari kedua wanita itu meminta kepada ayahnya agar
mengangkat Musa sebagai pekerja untuk membantu keduanya karena keadaanya yang
kuat lagi amanah. Maka orang itu itu, menawarkan kepada Musa untuk menikahi
salah satu puterinya itu dengan mahar mau bekerja kepadanya selama delapan
tahun atau sepuluh tahun jika Musa mau. Maka Nabi Musa setuju terhadap tawaran
itu dan menikah denga salah satu dari wanita itu, ia pun mulai menggembala kambing
selama sepuluh tahun. Setelah itu Musa
ingin pulang menemui keluarganya di Mesir, lalu orang tua itu menyetujuinya dan
memberinya bekal selama perjalanan pulangnya ke Mesir.
Bersambung…
Marwan bin Musa
Maraaji’:
Al Qur’anul Karim,
Hidayatul Insan bitafsiril Qur'an (Abu Yahya Marwan), Mausu’ah
Al Usrah Al Muslimah (dari situs www.islam.aljayyash.net),
Shahih Qashashil Anbiya’ (Ibnu Katsir, takhrij Syaikh
Salim Al Hilaaliy), dll.
[1]
Ada pula yang berpendapat, bahwa yang mendorong Fir'aun melakukan tindakan keji
ini adalah karena berita yang sampai kepadanya dari Bani Israil bahwa nanti
akan muncul dari kalangan mereka seorang anak yang menjadi penyebab hancurnya
kerajaan Mesir. Berita ini masyhur di kalangan Bani Israil hingga tersebar di
kalangan orang-orang asli Mesir dan sampailah berita itu ke telinga Fir'aun,
lihat Shahih Qashashil Anbiya' hal. 254.