Abu Fairuz
Peran ulama tak semata mengajari muridnya untuk memahami agama. Sebagai pelanjut risalah para nabi, ulama memiliki tanggung jawab nan luhur dalam membimbing umat menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan kapasitas ilmu yang dimiliki serta komitmen untuk menegakkan kebenaran, ulama berada pada garda terdepan. Walau yang dihadapi seorang penguasa, lantaran komitmennya yang tinggi dalam menegakkan kebenaran, seorang ulama mesti tampil menasehatinya. Itulah yang telah dilakukan oleh Imam Ath Thurtusi. Ketika Al Afdhal bin Amir Juyusy, seorang penguasa yang hidup di Mesir yang lekat dengan seorang Nashrani kemudian Imam Ath Thurtusi tandang ke hadapannya. Dibentangkannya kain yang dibawanya di bawah sang penguasa. Lantas ia pun menasehati Al Afdhal bin Amir Juyusy hingga penguasa itu meneteskan air mata. Nasehatnya yang menghujam ke relung kalbu mampu mengubah cara pandang sang penguasa. Al Afdhal bin Amir Juyusy pun akhirnya menjatuhkan putusan untuk mengusir karib Nashraninya itu.
Peran ulama tak semata mengajari muridnya untuk memahami agama. Sebagai pelanjut risalah para nabi, ulama memiliki tanggung jawab nan luhur dalam membimbing umat menuju kehidupan yang lebih baik. Dengan kapasitas ilmu yang dimiliki serta komitmen untuk menegakkan kebenaran, ulama berada pada garda terdepan. Walau yang dihadapi seorang penguasa, lantaran komitmennya yang tinggi dalam menegakkan kebenaran, seorang ulama mesti tampil menasehatinya. Itulah yang telah dilakukan oleh Imam Ath Thurtusi. Ketika Al Afdhal bin Amir Juyusy, seorang penguasa yang hidup di Mesir yang lekat dengan seorang Nashrani kemudian Imam Ath Thurtusi tandang ke hadapannya. Dibentangkannya kain yang dibawanya di bawah sang penguasa. Lantas ia pun menasehati Al Afdhal bin Amir Juyusy hingga penguasa itu meneteskan air mata. Nasehatnya yang menghujam ke relung kalbu mampu mengubah cara pandang sang penguasa. Al Afdhal bin Amir Juyusy pun akhirnya menjatuhkan putusan untuk mengusir karib Nashraninya itu.
Kepeduliannya untuk senantiasa menasehati penguasa tak sampai di situ saja. Tatkala Makmun bin Al Batha’ihi memegang jabatan menteri di Mesir setelah Al Afdhal bin Amir Juyusy menanggalkan jabatannya, Imam Ath Thurtusi pun menorehkan tinta bagi sang menteri. Lahirlah sebuah buku yang bertajuk Siraj Al Mulk yang diperuntukkan Makmun bin Al Batha’ihi. Begitulah kiprah Imam At Thurtusi. Keluhuran komitmennya mampu mengantarkannya ke jantung istana kekuasaan dengan tanpa meluruhkan harkat keulamaannya. Kilau ilmu telah menjadikannya bersikap syaja’ah (berani).
Kesahajaan
Imam Ath Thurtusi terpancar pula dari kezuhudannya dalam memandang
gemerlap dunia. Sanjungan ini banyak diucap oleh para ulama yang hidup
sejamannya. Sebutlah misalnya Al Qadli Abu Bakar Ibnul Arabi. Beliau
mengungkapkan bahwa Imam Ath Thurtusi adalah seorang yang sarat ilmu,
yang menyandang keutamaan, zuhud, dan senantiasa mendahulukan yang
teramat penting.
Begitu
pula yang dinyatakan oleh Ibrahim bin Mahdi bin Qulaina. Disebutkannya
bahwa Imam Ath Thurtusi adalah seorang zuhud dan ibadahnya lebih banyak
dari ilmu yang ada padanya. Sederet pujian pun dinyatakan pula oleh Ibnu
Basykuwal :"Dia seorang imam, alim, zahid, wara’, taat beragama,
tawadlu, teliti, tidak tamak dunia, dan rela dengan kekurangan," kata
Ibnu Basykuwal.
Suatu hari, Imam Ath Thurtusi mendatangi para fuqaha (alim ulama) yang kala itu tengah lelap tertidur. Dengan jiwa pemurahnya, Imam Ath Thurtusi mendatangi mereka satu per satu guna membagi bagikan dinar. Maka, saat para fuqaha itu terbangun, mereka pun melihat dinar-dinar itu ada di hadapannya."Bila disodorkan kepadamu dua pilihan, urusan dunia atau akhirat, maka segeralah pilih urusan akhirat. Niscaya engkau akan mendapatkan keduanya," begitulah nasehat Imam Ath Thurtusi yang dikatakannya kepada Al Qadli Abu Bakar Ibnul Arabi.
Dasar
pijak keilmuan Imam Ath Thurtusi memang tak diragukan. Hal ini bisa
dilihat dari deretan ulama yang menjadi rujukan di kala dirinya menuntut
ilmu. Tercatat seperti Al Qadli Abul Walid Al Baqi di Saraqusthah.
Melalui ulama ini, Imam Ath Thurtusi banyak mempelajari beragam masalah
yang dipertentangkan. Beliau pun mengkaji pula Sunan Abi Dawud melalui
seorang ulama bernama Abu Ali At Tustari di Basrah, Irak. Abu Abdillah
Ad Damaghani Rizqillah At Tamimi, Abu Abdillah Al Humaidi, Abu Bakar Asy
Syasyi, dan sederet ulama lainnya menandakan kesungguhan dan kedalaman
semangatnya dalam menelaah agama. Itu pun merupakan bukti betapa beliau
teramat sangat mencintai ilmu.
Kecintaan
beliau untuk menghidupkan ilmu dibuktikan dengan banyaknya murid yang
belajar kepadanya. Tersebutlah nama nama yang meriwayatkan dari beliau,
seperti Abu Thahir As Silafi, Al Faqih Sallam bin Al Muqaddam, Jauhar
bin Du’lu Al Muqri, Al Faqih Shalih binti Mu’afi Al Maliki, Abdullah bin
Ath Thaf Al Azadi, dan banyak lainnya. Selain itu, beliau pun banyak
pula mengguratkan karya dengan hadirnya buku buku yang mengupas
keharaman lagu, tentang zuhud, ta’liq tentang khilaf, bid’ah, keharusan
berbuat baik kepada orang tua, bantahan terhadap Yahudi, Al Umud fi
Ushul, dan karya tulis lainnya.
Karya beliau yang tergolong monumental adalah buku berjudul Al Hawadits ‘ala Al Bida’.
Buku ini merupakan jawaban atas pertanyaan yang diajukan seseorang dari
Andalusia berkenaan dengan penulis buku Ihya’ Ulumuddin, Abu Hamid Al
Ghazali. Mengomentari penulis Ihya’ Ulumuddin ini, Imam At Thurtusi pernah menulis surat kepada Abdullah bin Muzhaffar sebagai berikut :
Semoga
keselamatan atasmu. Aku pernah bertemu dan berbicara dengan Abu Hamid.
Dia seorang yang cerdas dan sarat dengan pemahaman. Dia orang besar di
masanya. Akan tetapi kemudian dia menyimpang dari jalannya para ulama.
Masuk ke dalam debu para ‘ubbad (ahli ibadah) kemudian bertasawwuf. Dia
menjauhi ilmu dan para ahlinya, masuk ke ilmu perasaan, dan was was
setan mengalir dengan cepat. Dia mencela para fuqaha dengan
madzhab-madzhab filsafat dan rumus-rumus Al Hallaj, menjauhi para fuqaha
dan mutakallimin. Hampir saja dia murtad dari Islam.
Ketika
dia menulis kitab Ihya’-nya, dia bersandar dan berbicara tentang
ilmu-ilmu ahwal dan rumus-rumus sufi. Padahal dia juga tidak mengerti
tentang itu. Akibatnya, dia tersungkur. Maka dia tidak mendapat tempat
di kalangan para ulama kaum Muslimin dan orang orang zuhud. Dia pun
memenuhi kitabnya dengan kedustaan yang diatasnamakan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku tidak mengetahui sebuah kitab pun di
dunia ini yang paling banyak berdusta atas nama Nabi kecuali kitab
tersebut. Bila dikaitkan dengan madzhab-madzhab filsafat, rumus rumus Al
Hallaj, dan makna Rasail Shafa (sebuah tulisan yang berisi pemahaman
bathiniyah dan ilhad) mereka menganggap bahwa kenabian adalah sebuah
usaha. Nabi menurut mereka tidak lebih sama dengan orang yang utama. Dia
berakhlak yang baik dan menjauhi main main. Dia melatih dirinya sampai
bisa mengalahkan syahwat. Kemudian (setelah itu) menggiring orang orang
dengan akhlak tersebut. Mereka mengingkari kalau Allah mengutus Rasul
kepada manusia. Mereka menganggap mukjizat adalah titipan dan suatu
kebetulan. Padahal Allah telah memuliakan Islam, menjelaskan hujjah
hujjahnya, dan memutus alasan (bantahan, pent.) dengan dalil-dalil.
Orang-orang
yang ingin menolong Islam dengan madzhab filsafat dan rasio ilmu mantiq
adalah seperti orang yang ingin mencuci baju dengan air kencing.
Kemudian dia membawakan ucapan yang mengguncangkan dan mengagetkan,
mengharap dan merindukan, hingga bila jiwa-jiwa telah dihiasi dengan
itu, ia akan berkata :"Ini ilmu muamalah. Setelah itu ilmu mukasyafah."
Hal itu tidak boleh ditulis dalam buku. Dia menambahkan : "Ini termasuk
rahasia hati dan dilarang untuk disebarkan."
Inilah
rekayasa orang orang bathiniyah dan para penipu dalam agama, menganggap
remeh dengan yang ada, dan menyebut jiwa dengan yang kosong (tidak
ada). Inilah godaan kepada keyakinan jiwa atau hati dan menghina ucapan
Al Jamaah. Jika orang ini (Al Ghazali) meyakini apa yang ia tulis, tidak
menutup kemungkinan dia dihukumi sebagai orang kafir. Adapun jika tidak
meyakini, alangkah hebat kemungkinan untuk dinyatakan sesat.
Adapun
tentang pembakaran buku ini (Al Ihya’), demi jiwaku, bila dia menyebar
di kalangan orang-orang yang tidak mempunyai ilmu, dengan racunnya yang
membunuh, dikhawatirkan orang yang membaca akan meyakini bahwa hal itu
adalah kebenaran. Membakar kitab itu sama dengan membakar mushaf yang
dibakar oleh para shahabat dengan tujuan agar tidak menyelisihi mushaf
Utsmani … .
Bahkan menurut Imam At Thurtusi, karya Abu Hamid Al Ghazali ini tak pantas disebut Ihya’ Ulumuddin (menghidupkan ilmu-ilmu agama), tetapi lebih pantas disebut dengan Imatatu Ulumuddin
(mematikan ilmu ilmu agama). Itulah sosok ulama, Imam At Thurtusi.
Seorang ulama yang berasal dari Thurtusyah, wilayah sebelah utara
Andalusia, lahir 451 H dengan nama Abu Bakar Muhammad bin Al Walid bin
Khalaf bin Sulaiman bin Ayyub Al Fihri Al Andalusi Ath Thurtusi. Beliau
juga digelari Al Imam, Al ‘Allamah, Al Qudwah, Az Zahid, Asy Syaikh
madzhab Maliki. Beliau wafat di Iskandariyah, Mesir pada Jumadil Ula 530
H. Semoga Allah merahmatinya.
Sumber: assunnah.cjb.net
"Imam Ath Thurtusi Membongkar Kedustaan Kitab Ihya’ Ulumuddin"