Habib Alwi Abdul Qadir as-Saqqaf
Pertanyaan
Apa dalil pengharaman bersafar untuk mengunjungi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal hadits laa tusyaddu ar-rihal bersifat umum mencakup bersafar untuk menuntut ilmu, berdagang dan selainnya. Apakah ada seorang ulama sebelum Ibnu Taimiyah yang mengharamkannya? Dan apakah ada seorang ulama kontemporer yang mengikuti pendapat beliau selain para ulama Nejd?
Jawaban
Alhamdulillah.
Harus dibedakan antara menziarahi kubur dengan bersafar ke suatu kubur. Demikian pula halnya dengan menziarahi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bersafar ke kubur beliau yang diistilahkan dengan syaddu ar-rihal.
Menziarahi kubur merupakan suatu bentuk ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla dan diperintahkan berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
زوروا القبور فإنها تذكركم الآخرة
“Ziarahilah kubur, karena hal itu mengingatkan kalian pada kehidupan akhirat.” [HR. Muslim].
Kandungan hadits di atas mencakup ziarah ke kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena termasuk dalam kandungan hadits-hadits yang membicarakan keutamaan ziarah kubur, meskipun tidak terdapat satupun riwayat yang shahih maupun hasan, yang menetapkan keutamaan menziarahi kubur beliau. Riwayat yang ada hanyalah riwayat yang sangat lemah atau palsu.
Kemudian, yang patut diketahui bahwa sebagian ulama kontemporer membolehkan dan menganjurkan untuk bersafar menziarahi kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan sebagian yang lain mewajibkan hal tersebut. Akan tetapi ulama terdahulu, diantaranya yang dipelopori oleh sahabat dan tabi’in, tidak dinukil satupun riwayat yang shahih dari mereka bahwa hal tersebut dilakukan dan dibolehkan.
Pokok permasalahan yang terjadi diantara ulama kontemporer adalah perbedaan dalam memahami hadits
لا تُشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد
“Tidak diperbolehkan mengikat tunggangan kecuali ketika bersafar menuju tiga masjid.” [HR. Bukhari dan Muslim].
Dan dalam riwayat Muslim tercantum dengan lafadz,
لا تشدوا
“Janganlah kalian mengikat tunggangan…”
Ulama yang membolehkan mengatakan makna hadits tersebut adalah jangan bersafar ke suatu masjid kecuali ke tiga masjid. Berdasarkan hal tersebut, mereka pun membolehkan untuk pergi ke tempat apapun seperti kubur wali atau nabi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Mereka menyerupakan hal tersebut dengan tindakan safar untuk menuntut ilmu atau tujuan apapun, baik itu duniawi maupun ukhrawi.
Adapun ulama yang melarang hal tersebut mengatakan bahwa makna hadits tersebut adalah tidak diperbolehkan bersafar ke suatu tempat dalam rangka ibadah kepada Allah kecuali di tiga masjid dimaksud. Argumentasi mereka adalah jika bersafar ke suatu masjid itu tidak diperbolehkan, padahal masjid merupakan tempat yang paling utama di permukaan bumi dan juga merupakan rumah Allah serta tempat yang paling dicintai-Nya, maka tentu bersafar ke tempat-tempat lain (dalam rangka beribadah) lebih tidak diperbolehkan.
Adapun jenis safar yang lain, baik itu bersafar dalam rangka menuntut ilmu atau selainnya, maka hal ini bukanlah safar yang dilakukan semata-mata didorong karena dzatiyah tempat itu namun dikarenakan adanya suatu tujuan lain selain itu.
Tidak diragukan lagi bahwa seorang yang meneliti kedua pendapat di atas secara obyektif dan adil, akan melihat kuatnya argumentasi pihak yang melarang dan lurusnya pemahaman mereka terhadap hadits yang dimaksud. Jika tidak demikian, maka niscaya berdasarkan pendapat pihak yang membolehkan, konsekuensi yang timbul adalah bersafar ke masjid Quba tidaklah diperbolehkan karena tidak termasuk ke dalam tiga masjid yang dikecualikan oleh hadits. Namun, jika kita andaikan di samping masjid Quba terdapat sebuah kuburan orang shalih, maka boleh bagi seorang untuk bersafar kesana (sedangkan bersafar ke masjid Quba sendiri tidak diperbolehkan). Pemahaman seperti ini tentu tidak tepat.
Diantara dalil yang mendukung hal ini adalah pemahaman Ibnu Umar radhiallahu anhuma, dari Qaz’ah, dia berkata,
سألت ابن عمر رضي الله عنه آتي الطور؟ فقال: (دع الطور ولا تأتها وقال: لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد
“Saya bertanya kepada Ibnu Umar radhiallahu anhu, “Dimanakah letak bukit Thur?” Beliau mengatakan, “Tinggalkan Thur, janganlah engkau mendatanginya karena tidak diperbolehkan bersafar kecuali ke tiga masjid” [HR. Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang shahih].
Sebagian pihak membatasi kebolehan tersebut pada kubur nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun mereka tidak memiliki satupun dalil akan hal tersebut.
Adapun pertanyaan anda, “Adakah seorang ulama sebelum Ibnu Taimiyah yang melarang hal itu?”
Jawabannya, iya ada.
Ibnu Taimiyah wafat pada tahun 728 H dan tindakan bersafar dalam rangka menziarahi suatu kubur telah diharamkan oleh:
Ulama Malikiyah: imam Malik (wafat tahun 179 H),al-Qadhi Iyadh (wafat tahun 544 H);
Ulama Syafi’iyah: Abu Muhammad al-Juwaini (wafat tahun 438 H); Ibnu al-Atsir, pemilik kitab Jami’ al-Ushul (wafat tahun 544 H);
Ulama Hambali: Ibnu Baththah al-Akbari (wafat tahun 387 H); Ibnu Aqil (wafat tahun 513 H) dan selain mereka. Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa 1/304 mengatakan,
وسئل مالك عن رجل نذر أن يأتي قبر النبي، فقال مالك: إن كان أراد القبر فلا يأته وان أراد المسجد فليأته ثم ذكر الحديث: ((لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد)) ذكره القاضي إسماعيل في مبسوطه) اهـ
“Malik pernah ditanya mengenai seorang yang bernadzar untuk mendatangi kubur nabi. Maka Malik mengatakan, “Jika yang dia maksudkan adalah mendatangi kubur nabi, maka janganlah dia mendatanginya. Jika yang dia maksudkan adalah masjid nabi, maka hendaklah dia mendatanginya. Kemudian beliau menyebut hadits, “Janganlah bersafar kecuali ke tiga masjid.” [Disebutkan oleh al-Qadhi Isma’il dalam kitab al-Mabsuth beliau] .
Al Munawi dalam syarh beliau terhadap al-Jami’ ash-Shaghir (6/140) mengatakan,
… ما نقل عن مالك من منع شد الرحل لمجرد زيارة القبر من غير إرادة إتيان المسجد للصلاة فيه
“Riwayat yang dinukil dari Malik adalah melarang bersafar semata-mata karena berniat menziarahi kubur nabi tanpa ada niatan untuk mendatangi masjid nabi dan melaksanakan shalat di dalamnya.”
Ibnu Baththah dalam al-Ibanah ash-Shugra hlm. 92,
ومن البدع البناء على القبور وتجصيصها وشد الرحل إلى زيارتها
“Diantara bid’ah adalah membangun bangunan di atas kubur, mengapurnya dan bersafar (untuk menziarahinya).
An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim (9/106) mengatakan,
واختلف العلماء في شد الرحال وإعمال المطي إلى غير المساجد الثلاثة كالذهاب إلى قبور الصالحين وإلى المواضع الفاضلة ونحو ذلك فقال الشيخ أبو محمد الجويني من أصحابنا هو حرام وهو الذي أشار القاضي عياض إلى اختياره
“Ulama berbeda pendapat mengenai hukum bersafar ke tempat selain masjid yang tiga seperti pergi ke kuburan orang shalih atau tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan dan yang semisalnya. Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini yang merupakan rekan kami mengatakan hal itu haram dan ini juga yang diisyaratkan oleh al-Qadhi Iyadh sebagai pendapatnya.”
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Fath 3/65 ketika menjelaskan hadits yang dimaksud berkata,
قال الشيخ أبو محمد الجويني يحرم شد الرحال إلى غيرها عملاً بظاهر هذا الحديث وأشار القاضي حسين إلى اختياره وبه قال عياض وطائفة
“Syaikh Abu Muhammad al-Juwaini mengatakan bersafar ke tempat selain ketiga masjid tersebut haram hukumnya dalam rangka mengamalkan teks hadits. Al-Qadhi Husain mengisyaratkan mendukung pendapat tersebut dan pendapat itu pula yang didukung oleh Iyadh dan sebagian ulama.”
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni 2/100 mengatakan,
فإن سافر لزيارة القبور والمشاهد، فقال ابن عقيل: لا يباح له الترخص لأنه منهي عن السفر إليها قال النبي صلى الله عليه وسلم: ((لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد)) متفق عليه
“Jika orang itu bersafar untuk menziarahi kubur atau masyahid, maka Ibnu Aqil mengatakan, “Tidak diperbolehkan baginya karena hal itu dilarang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Tidak boleh bersafar kecuali ke tiga masjid” [muttafaq ‘alaih].”
Ibnu al-Atsir dalam Jami’ al-Ushul 9/283 ketika menjelaskan hadits dimaksud mengatakan,
هذا مثل قوله (لا تعمل المطي) وكنى به عن السير والنفر، والمراد: لا يقصد موضع من المواضع بنية العبادة والتقرب إلى الله تعالى إلا إلى هذه الأماكن الثلاثة تعظيماً لشأنها وتشريفاً
“Hadits ini semisal dengan sabda beliau, “Jangan engkau berkendara… . Kiasan ini merupakan ibarat untuk suatu perjalanan yang akan dilakukan. Maksud hadits tersebut adalah janganlah seorang bermaksud untuk bersafar ke suatu tempat dengan niat ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah kecuali pada tiga tempat yang tersebut dalam hadits. Pengecualian ini dilakukan dalam rangka pengagungan dan pemuliaan terhadap ketiganya.”
Allamah dan mufti Hadramaut as-Sayyid Abdurrahman bin Ubaidillah as-Saqqaf (wafat pada tahun 1300 H) mengatakan dalam kitabnya Idam al Qunut hlm. 584,
نص إمام الحرمين – ومثله القاضي حسين – على تحريم السفر لزيارة القبور، واختاره القاضي عياض بن موسى بن عياش في (إكماله) وهو من أفضل متأخري المالكية. وقام وقعد في ذلك الشيخ الإمام ابن تيمية، وخَطَّأهُ قومٌ وصَوَّبَهُ آخرون، ومهما يكن من الأمر فَلْيَسَعَهُ ما وسع الجويني والقاضيين حسين وعياضاً، ولكنهم أفردوه باللوم! والقولُ واحدٌ. وقال مالك بن أنس: من نَذر المشي إلى مسجد من المساجد ليصلي فيه كرهتُ ذلك لقوله صلى الله عليه وسلم: (لا تشد الرحال إلا إلى ثلاثة مساجد). وقال ابن سريج – من كبار أصحاب الشافعي – إن الزيارة قربة تلزم بالنذر. والخطب يسير لم يُوَسِّعْهُ إلا الحسد والتعصب، وإلا فالتثريب في موضع الاختلاف ممنوع))
“Imam al-Haramain –dan semisal dengan beliau adalah al-Qadhi Husain- menegaskan atas haramnya bersafar untuk menziarahi kubur. Pendapat ini pula yang dipilih oleh al-Qadhi Iyadh bin Musa bin Ayyasy dalam kitab Ikmal-nya, dan beliau termasuk ulama Malikiyah kontemporer yang paling utama. Dan Syaikh al-Imam Ibnu Taimiyah turut berpegang pada pendapat yang serupa, sehingga sebagian orang menyalahkannya sedangkan sebagian yang lain turut membenarkannya. Apapun masalahnya hendaknya toleransi harusnya dilakukan sebagaimana apa yang terjadi pada al-Juwaini dan dua qadhi, Iyadh dan Husain. Namun, mereka (pihak yang mendiskreditkan beliau dalam permasalahan ini) hanya mencela Ibnu Taimiyah, padahal pendapat yang dipegang beliau sama dengan yang dikemukakan oleh ketiganya. Malik bin Anas mengatakan, “Barangsiapa yang bernadzar untuk berjalan ke suatu masjid untuk shalat di dalamnya, maka saya benci perbuatan tersebut berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah safar dilakukan kecuali ke tiga masjid…” Ibnu Suraij –salah satu ulama Syafi’iyah ternama- mengatakan, “Sesungguhnya ziarah kubur merupakan ibadah yang menjadi wajib dengan nadzar. Perkaranya mudah, namun yang membuat mereka seperti itu adalah sikap hasad dan ta’ashshub (fanatisme). Jika tidak, kubur nabi yang ada di Tatsrib (Madinah) yang menjadi pokok perbedaan pendapat juga terlarang untuk diziarahi.”
Adapun an-Nawawi, Ibnu Hajar, Ibnu Qudamah dan selain mereka berpendapat akan bolehnya hal tersebut. Telah disebutkan sebelumnya bahwa mayoritas ulama komtemporer membolehkannya. Akan tetapi, yang menjadi tujuan disini adalah menjawab pertanyaan anda, apakah ada seorang ulama sebelum Ibnu Taimiyah yang mengharamkan safar untuk berziarah kubur? Dan anda pun telah mengetahui jawabannya.
Kemudian pertanyaan anda, adakah seorang ulama selain ulama Nejed yang bertaklid kepada beliau?
Saya mengira setelah anda mengetahui bahwa Ibnu Taimiyah bukanlah orang yang pertama kali berpendapat akan haramnya bersafar untuk menziarahi kubur, nampak bagi anda bahwa yang menjadi inti permasalahan bukanlah taklid kepada Ibnu Taimiyah tapi justru ittiba’ li dalil (mengikuti dalil) dengan pemahaman sejumlah ulama yang hidup sebelum masa Ibnu Taimiyah. Akan tetapi, permasalahan ini justru populer dan akrab dengan pribadi Ibnu Taimiyah dikarenakan popularitas dan kedudukan beliau serta stigma para musuh kepada beliau dan klaim mereka bahwa Ibnu Taimiyahlah yang pertama kali berpendapat demikian.
Bersamaan dengan hal tersebut, maka jawabannya adalah iya. Terdapat sejumlah ulama selain ulama Nejed yang berpedapat serupa dengan Ibnu Taimiyah, dan jumlah mereka pun banyak. Diantaranya adalah:
Allamah Yaman, Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani (wafat tahun 1182 H). Beliau mengatakan dalam Subul as-Salama 3/394,
والحديث دليلٌ على فضيلة المساجد هذه ودلَّ بمفهوم الحصر أنه يحرم شد الرحال لقصد غير الثلاثة كزيارة الصالحين أحياءً وأمواتاً لقصد التقرب ولقصد المواضع الفاضلة لقصد التبرك بها والصلاة فيها
“Hadits tersebut merupakan dalil akan keutamaan ketiga masjid tersebut. Dan secara tekstual menunjukkan haramnya bersafar menuju suatu tempat selain tiga masjid di atas, seperti menziarahi orang shalih baik, masih hidup maupun telah wafat dalam rangka bertaqarrub dan juga haram hukumnya bersafar menuju tempat-tempat yang diyakini memiliki keutamaan dalam rangka bertabarruk dan shalat di dalamnya.”
Allamah India, as-Sayyid Shiddiq Hasan Khan al-Husaini (wafat tahun 1307), beliau mengatakan dalam syarh beliau terhadap Shahih Muslim 5/113,
وأما السفر لغير زيارة القبور كما تقدم نظائره، فقد ثبت بأدلة صحيحة ووقع في عصره صلى الله عليه وآله وسلم وقرره النبي عليه السلام فلا سبيل إلى المنع منه والنهي عنه، بخلاف السفر إلى زيارة القبور فإنه لم يقع في زمنه، ولم يقر أحداً من أصحابه، ولم يشر في حديث واحد إلى فعله واختياره، ولم يشرِّعه لأحدٍ من أمته لا قـــولاً ولا فعــلاً، وقد كان رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم يزور أهل البقيع وغيرهم من غير سفر ورحلة إلى قبورهم، فسنته التي لا غبار عليها ولا شنار فيها: هي زيارة القبور من دون اختيار سفر لها، لتذكر الآخرة
Adapun safar selain untuk menziarahi kubur sebagaimana telah disebutkan contohnya, maka telah ditetapkan dengan dalil-dalil yang shahih dan terjadi pada zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta beliaupun menetapkannya. Dengan demikian, tidak ada peluang untuk melarang hal itu. Hal ini berbeda dengan bersafar untuk menziarahi kubur, karena hal tersebut tidak pernah terjadi di zaman beliau; tidakpula dibenarkan oleh sahabat beliau; juga tidak ada hadits yang mengisyaratkan bahwa beliau melakukannya; tidakpula beliau mensyari’atkan hal itu kepada umatnya, baik lewat perkataan maupun perbuatan. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dahulu menziarahi ahlu al-Baqi’ dan selain mereka tanpa bersafar ke kuburan mereka. Dengan demikian tuntunan beliau yang tidak diragukan lagi adalah berziarah kubur tanpa dibarengi bersafar dalam rangka mengingat akhirat.”
Allamah Iraq, as-Sayyid Nu’man bin Mahmud al-Alusi, mufti Hanafiyah di Baghdad (wafat tahun 1317). Setelah beliau membela pendapat Ibnu Taimiyah, beliau mengatakan dalam Jala-u al-‘Ainain hlm. 518,
ونهاية الكلام في هذا المقام: أن شيخ الإسلام لم ينفرد بهذا القول الذى شُنِّع به عليه، بل ذهب إليه غيره من الأئمة الأعلام
“Akhir pembicaraan pada kesempatan ini adalah Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah tidaklah bersendiri dalam memegang pendapat ini, pendapat yang menyebabkan beliau dicela. Bahkan, ulama selain beliau dari para imam juga ada yang berpegang pada pendapat yang beliau pilih.”
Mereka ini sama sekali bukanlah ulama Nejed.
Jika anda telah mengetahui hal tersebut, maka ketahuilah saya telah mengemukakan dalil-dalil yang dijadikan pegangan oleh kedua belah pihak, akan tetapi kedua belah pihak tidak dapat menerimanya, dan yang menjadi pokok perbedaan adalah seperti yang telah saya kemukakan kepada anda.
Diantara dalil pihak yang membolehkan adalah hadits-hadits yang menceritakan keutamaan menziarahi kubur nabi kita shallallahu alaihi wa sallam. Semua hadits tersebut lemah dan tidak ada satupun yang berderajat shahih. Jika ada yang shahih, tentulah akan memupuskan segala perbedaan. Diantara dalil mereka adalah riwayat yang menceritakan kisah Bilal radhiallahu anhu,
أن بلالاً رضي الله عنه رأى النبي صلى الله عليه وآله وسلم وهو في الشام في منامه وهو يقول له: ما هذه الجفوة يا بلال؟! أما آن لك أن تزورني يا بلال؟!، فانتبه حزيناً خائفا فركب راحلته وقصد المدينة
“Sesungguhnya Bilal melihat nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam mimpinya ketika dia berada di Syam. Nabi berkata kepadanya, “Wahai Bilal, engkau telah berbuat kurang ajar?! Apakah belum datang saatnya engkau mengunjungiku, wahai Bilal?! Bilal pun terjaga dalam keadaan sedih dan takut, hingga akhirnya dia pun mengunggangi tunggangannya dan berangkat menuju Madinah.”
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan perihal kisah ini,
هذه قصة بينة الوضع
“Kisah ini sangat jelas kepalsuannya.”
Kemudian, diantara dalil yang menjadi pegangan pihak yang melarang adalah atsar Abu Bashrah al-Ghifari yang mengingkari tindakan Abu Hurairah radhiallahu anhuma yang pergi menuju bukit Thur (untuk beribadah disana). Saya telah meneliti berbagai jalur periwayatan atsar ini dan belakangan saya ketahui bahwa atsar tersebut tidak terkait dengan inti pembicaraan dalam permasalahan ini, karena kepergian Abu Hurairah radhiallahu dikarenakan masjid yang terletak disana kemudian setelah itu beliau bertemu dengan Abu Bashrah. Wallahu a’lam.
Sumber: http://www.dorar.net/art/281