Bismillah
Assalamu Alaikum
[1]. Imam Abu Hanifah berkata: “Di kota Bashrah orang-orang yang mengikuti hawa nafsu (selera) sangat banyak. Saya dating di Bashrah lebih dari dua puluh kali. Terkadang saya tinggal di Bashrah lebih dari satu tahun, terkadang satu tahun, dan terkadang kurang dari satu tahun. Hal itu karena saya mengira bahwa Ilmu Kalam itu adalah ilmu yang paling mulia”. [1]
[2]. Beliau menuturkan: “Saya pernah mendalami Ilmu Kalam, sampai saya tergolong manusia langka dalam Ilmu Kalam. Suatu saat saya tinggal dekat pengajian Hammad bin Abu Sulaiman. Lalu ada seorang wanita datang kepadaku, ia berkata: Ada seorang lelaki mempunyai seorang istri wanita sahaya. Lelaki itu ingin menalaknya dengan talak yang sesuai sunnah. Berapakah dia harus menalaknya?”
Pada saat itu saya tidak tahu apa yang harus saya jawab. Saya hanya menyarankan agar dia datang ke Hammad untuk menanyakan hal itu, kemudian kembali lagi ke saya, dan apa jawaban Hammad. Ternyata Hammad menjawab: “Lelaki itu dapat menalaknya ketika istrinya dalam keadaan suci dari haid dan juga tidak dilakukan hubungan jima’, dengan satu kali talak saja. Kemudian istrinya dibiarkan sampai haid dua kali. Apabila istri itu sudah suci lagi, maka ia halal untuk dinikahi.
Begitulah, wanita itu kemudian datang lagi kepada saya dan memberitahukan jawaban Hammad tadi. Akhirnya saya berkesimpulan, “saya tidak perlu lagi mempelajari Ilmu Kalam. Saya ambil sandalku dan pergi untuk berguru kepada Hammad”.[2]
[3]. Beliau berkata lagi: “Semoga Allah melaknati Amr bin Ubaid, karena telah merintis jalanuntuk orang-orang yang mempelajari Ilmu Kalam, padahal ilmu ini tidak ada gunanya bagi mereka”.[3]
Beliau juga pernah ditanya seseorang, “Apakah pendapat anda tentang masalah baru yang dibicarakan orang-orang dalam Ilmu Kalam, yaitu masalah sifat-sifat dan jism?. Beliau menjawab, ‘itu adalah ucapan-ucapan para ahli filsafat. Kamu harus mengikuti hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan metode para ulama salaf. Jauhilah setiap hal yang baru karena hal itu adalah bid’ah”. [4]
[4]. Putra Imam Abu Hanifah, yang namanya Hammad, menuturkan, “Pada suatu hari ayah datang ke rumahku. Waktu itu di rumah ada orang-orang yang sedang menekuni Ilmu Kalam, dan kita sedang berdiskusi tentang suatu masalah. Tentu saja suara kami keras, sehingga tampaknya ayah terganggu. Kemudian saya menemui beliau, ‘Hai Hammad, siapa saja orang-orang itu?’, Tanya beliau. Saya menjawab dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. ‘Apa yang sedang kalian bicarakan?’, Tanya beliau lagi. Saya menjawab, ‘Ada suatu masalah ini dan itu’. Kemudian beliau berkata: “Hai Hammad, tinggalkanlah Ilmu Kalam”.
Kata Hammad selanjutnya: “Padahal setahu saya, ayah tidak pernah berubah pendapat, tidak pernah pula menyuruh sesuatu kemudian melarangnya. ‘Hammad kemudian berkata kepada beliau., ‘wahai Ayahanda, bukankah ayahanda pernah menyuruhku untuk mempelajari Ilmu Kalam?’ “Ya, memang pernah”. Jawab beliau, “Tetapi itu dahulu. Sekarang saya melarangmu, jangan mempelajari Ilmu Kalam”, tambah beliau
“Kenapa, wahai ayahanda?”, Tanya Hammad lagi. Beliau menjawab, “Wahai anakku, mereka yang berdebat dalam Ilmu Kalam, pada mulanya adalah bersatu pendapat dan agama mereka satu. Nemun syetan mengganggu mereka sehinggamereka bermusuhan dan berbeda pendapat”.[5]
[5]. Kepada Abu Yusuf, Imam Abu Hanifah berkata: “Jangan sekali-kali kamu berbicara kepada orang-orang awam dalammasalah ushuluddin dengan mengambil pendapat Ilmu Kalam, karena mereka akan mengikuti kamu dan akan merepotkan kamu”.[6]
Inilah rangkuman dari pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah rahimahullah, tentang aqidah beliau dalam masalah ushuluddin dan sikap beliau terhadap Ilmu Kalam dan ahli-ahli Ilmu Kalam
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad), Bab Aqidah Imam Abu Hanifah, oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
_________
Foote Note
[1]. Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137
[2]. Tarikh Baghdad XIII/333
[3]. Al-Harawi, Dzamm ‘Ilm Al-Kalam, hal. 28-31
[4]. Al-Harawi, Dzamm ‘Ilm Al-Kalam, lembar 194-B
[5]. Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184
[6]. Ibid, hal.37
_________
Foote Note
[1]. Al-Kurdi, Manaqib Abi Hanifah, hal.137
[2]. Tarikh Baghdad XIII/333
[3]. Al-Harawi, Dzamm ‘Ilm Al-Kalam, hal. 28-31
[4]. Al-Harawi, Dzamm ‘Ilm Al-Kalam, lembar 194-B
[5]. Al-Makki, Manaqib Abu Hanifah, hal.183-184
[6]. Ibid, hal.37