Ustadz-ustadz
kami mengatakan bahwa memperingati Maulid Nabi merupakan bukti
kecintaan terhadap Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam….
Cinta
kepada Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dan juga cinta Kepada
Allah Subhanahu Wata’ala dibuktikan dengan ittiba’ (mengikuti ajarannya)
bukan dengan ibtida’(mengada-adakan kebid’ahan). Allah berfirman (yang
artinya),
"Katakanlah (Wahai Nabi): "Jika
kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku. Niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian." Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang" (Ali Imran:31)
Demikian juga
cinta kepada Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dibuktikan dengan
mendudukkan beliau kepada kedudukannya yang mulia sebagai panutan,
ikutan, dan teladan yang kita jadikan contoh, bukan mengangkatnya secara
berlebihan dan melampaui batas dengan memberikan sifat-sifat ketuhanan
kepada beliau. Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda (yang
artinya),
"Jangan kalian puji aku berlebihan
sebagaimana kaum Nashara memuji Isa bin Maryam. Hanya saja aku ini
adalah hamba Allah, maka katakanlah, "Hamba Allah dan Rasul-Nya""(Hadits riwayat Bukhari)
Memuji
dengan berlebihan seperti kaum Nashara adalah dengan menjadikan tuhan,
atau anak tuhan atau "satu yang tiga, tiga yang satu". Yakni memberikan
sifat-sifat ketuhanan kepada Isa Alaihis Salam.
Dan juga Allah berfirman (yang artinya),
Katakanlah,
"Sesungguhnya aku ini hamba-Nya, seorang manusia seperti kalian, yang
diwahyukan kepadaku, "Bahwa sesungguhnya Ilah kalian itu adalah Ilah
Yang Maha Esa"" (Al Kahfi:110)
Yakni
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan utuk menyatakan
dirinya sebagai manusia yaitu makhluk yang Allah ciptakan, tidak
memiliki sifat-sifat ketuhanan baik uluhiyah maupun rububuyah. Hanya
saja beliau adalah manusia pilihan (Al Musthofa) dan manusia terbaik
yang Allah Azza Wa Jalla angkat sebagai Rasul serta mendapatkan wahyu.
Tapi
kami tidak menuhankan dan tidak meyakini bahwa Rasulullah Sholallahu
‘Alaihi Wasallam adalah Rabb yang menguasai alam semesta dan menyatakan
beliau sebagai anak tuhan seperti Nashrani?
Alhamdulillah,
itu bukti kalau kalian masih muslim. Berarti apa yang kalian ucapkan,
dalam bait-bait syair pujian kepada Nabi dengan tidak sadar dan dengan
tidak memahami artinya.
Perlu kalian ketahui, sesungguhnya menuhankan Nabi itu dengan 2 model:
Pertama, mensifati beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sifat yang hanya dimiliki oleh Allah Subhanahu Wata’ala.
Kedua, memperlakukan beliau Sholallahu ‘Alaihi Wasallam seperti memperlakukan Allah Subhanahu Wata’ala.
Kedua
bentuk penuhanan Nabi terdapat dalam syair-syair pujian kepada Nabi
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam yang biasa mereka baca ketika perayaan
Maulud Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam. Seperti Nadham Al Bushiri, ia
mensifati Rasul dengan sifat-sifat Allah:
1.
Menganggap Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui hal-hal
ghaib yang tercatat di Lauhul Mahfudz, yaitu ucapan mereka:
Dan termasuk ilmu-ilmumu adalah ilmu Lauhul Mahfudz dan ilmu al qalam
Yakni
yang dimaksud adalah ilmu yang terdapat di Lauhul Mahfudz yang ditulis
dengan pena, yakni ilmu tentang apa-apa yang Allah takdirkan dan Allah
tuliskan.
"Sesungguhnya awal pertama Allah
ciptakan adalah pena. Kemudian Allah berfrman, "Tulislah!". Maka pena
berkata "Apa yang aku tulis?". Allah berfirman, "Tulislah taqdir-taqdir
segala sesuatu apa yang tela terjadi dan apa yang akan terjadi sampai
akhir masa"" (Hadits riwayat Tirmidzi, Syaikh Al Albany menshahihkannya dalam Jami’at Tirmidzi no 2155)
Kalau
kalian menyatakan bahwa Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam
mempunyai ilmu ini, berarti kalian menganggap bahwa Rasulullah
mengetahui hal-hal yang ghaib. Padahal Allah telah berfirman mengisahkan
RasulNya (yang artinya)
"Dan aku (Rasul)
tidak mengatakan keepada kalian (bahwa) aku mempunyai gudang-gudang
rizki dan kekayaan dari Allah, dan aku tidak mengetahui yang ghaib, dan
tidak pula aku mengatakan bahwa sesungguhnya aku adalah malaikat…." (Huud:31)
Dan juga dalam firman-Nya (yang artinya)
"Dan pada sisi Allah lah kunci-kunci keghaiban, tidak ada yang mengetahui kecuali Dia sendiri…." (Al An’aam:59)
Allah
Subhanahu Wata’ala juga memerintahkan kepada Nabi-Nya untuk
mengikrarkan bahwa dirinya tida mengetahui hal-hal yang ghaib tersebut.
Allah berfirman (yang artinya)
"Katakanlah
(wahai Nabi), "Aku (Rasul) tidak berkuasa menentukan kemanfaatan bagi
diriku dan tidak pula menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki
Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat
kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tIdak lain hanyalah pemberi
peringatan dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman"" (Al ‘Araf:188)
2.
Menganggap bahwa keberadaan langit dan bumi adalah dari Rasulullah
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam seperti pada potongan pertama bait di atas,
yakni:
Dan sesungguhnya karena kedermawananmulah adanya dunia dan pasangannya (langit)
Kalau seluruh langit dan bumi dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam maka apa sisanya yang merupakan milik Allah?
Berkata
Ibnu Rajab,"Sesungguhnya dia (Bushiri) tidak menyisakan sedikitpun
untuk Allah, jika dunia dan akhirat dari Rasulullah" (Kutub laisat minal
Islam oleh Istanbuli hal 16;lihat Irsyadul Bariyyah, hal 85)
Bukankah ada hadits Qudsi yang menyatakan "Jika bukan karena engkau, tidaklah aku ciptakan alam semesta"??
Memang ada hadits yang mrip seperti itu, yaitu
"Datang
kepadaku Jibril seraya berkata (menyampaikan ucapan Allah), "Wahai
Muhammad, kalau bukan karena engkau, tidak Aku ciptakan surga. Dan kalau
bukan karena engkau, tidak aku ciptakan neraka"-dalam riwayat Ibnu
Syakir "Kalau bukan karena engkau tidak aku ciptakan dunia""
Namun
hadits ini adalah hadits yang palsu (Maudhu’). Syaikh Al Albany
menyebutkannya dalam As Silsilah Al Hadits Ad Dhaifah, hadits 282.
Ini
kalau ditinjau dari sisi matan (isinya) jelas-jelas bertentangan dengan
Al Qur’an yang menyatakan tentang hikmahnya penciptaan langit dan bumi
adalah untuk beribadah kepada Allah dan menguji manusia:
"Dan
Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan Dia
adalah Arsy-nya di atas air, agar Dia menguji siapakah diantara kalian
yang lebih baik amalnya…." (Huud:7)
Dan firman-Nya (yang artinya)
"Dan aku tidak menciptakan jin manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaKu" (Ad Dzariyat:56)
Adapun
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam diperintahkan untuk menyatakan
bahwa dirinya tidak bisa menentukan manfaat dan mudharat.
Demikian
pula menuhankan Nabi dengan memperlakukan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam seperti Allah dnengan mengarahkan kepadanya bentuk-bentuk
ibadah seperti do’a, isti’anah, istghotsah, dan lain-lain. Ini juga
terdapat pada syair-syair yang kalian baca:
- Memanggil dengan menyerunya seakan-akan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam Maha Mendengar dan Maha Melihat, seperti seruan kalian dalam acara tersebut: Ya Habiballah, Ya Nabiyallah, Ya Nurul’Aini, Ya Jaddal Husaini. Kalian seakan-akan mengajak berbicara Rasululah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam seakan-akan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam ketika masih hidupnya atau seakan-akan Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam hadir di hadapan kalian.
- Berdoa meminta keselamatan dunia dan akhirat kepada Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam seakan-akan beliau adalah Mujibus Sailin (Pengabul Do’a), seperti ucapan kalian,"Wahai semulia-mulia makhluq, aku tidak mendapati bagiku seorang pelindug selain engkau ketika terjadi bencana yang merata.". Padahal Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam sendiri menyatakan (yang artinya), "Tidak ada tempat bersandar, tidak ada tempat menyelamatkan diri, kecuali pada engkau (Allah)."
- Menganggap bahwa Ruh Nabi Sholallahu "Alaihi Wasallam datang pada setiap acara-acara kalian, sehingga kalian menyambutnya dengan berdiri dan mengucapkan: Marhaban Ya Nurul ‘Aini, Marhaban Ya Jaddal Husaini (Selamat datang wahai Nurul’Aini, selamat datang wahai kakeknya 2 husain)
Kalian tidak berfikir
bagaimana bisa ruh Nabi Sholallahu’Alaihi Wasallam datang ke semua acara
maulid-maulid kalian di tempat yang berbeda-beda dan dalam waktu yang
bersamaan. Tidakkah ini menunjukkan bahwa kalian menganggap Nabi
Sholallahu ‘Alaihi Wasallam seperti apa yang difirmankan Allah tentang
diri-Nya (yang artinya), "Dan Dia bersama kalian dimana saja kalian berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kalian kerjakan" (Al Hadid:4)
Namun
bukankah Allah menyatakan, "Aku bersama hambaku yang mengingatKu". Maka
ketika kita mengingat Nabi dan menyanjungnya, maka nabipun hadir
bersama kita??
Ucapan kalian ini menambah
bukti kalau kalian benar-benar telah mendudukkan Nabi Sholallahu
‘Alaihi Wasallam seperti Tuhan. Bagaimana mungkin kalian meng qiyas kan sesuatu yang sama sekali berbeda? Bukankah qiyas itu harus mempunyai syarat-syarat?
Kami tanyakan kepada kalian apa Wajhus Syabah (sisi persamaan) antara Allah dan Rasul-Nya? Padahal Allah dengan tegas menyatakan (yang artinya):
"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (Asy Syuraa;11)
Maka sejelk-jeleknya qiyas adalah mengqiyaskan makhluq dengan khaliq (sang pencipta) nya, mengqiyaskan hamba dengan sesembahannya, sungguh ini qiyas yang bathil. Wallahu ‘alam
Sumber: Bulletin Dakwah Islam Manhaj Salaf edisi 100 Tahun III
"Mereka Bertanya Tentang Maulud Nabi bagian 2"
"Mereka Bertanya Tentang Maulud Nabi bagian 2"