Sekilas bila seseorang memandang kepada penampilan dan dakwah Sururiyah, dia akan menyimpulkan bahwa dakwah ini adalah dakwah Ahlus Sunnah. Terlebih bila mendengar pengakuan mereka dengan mengangkat nama Ahlus Sunnah. Sungguh mereka jauh dari Ahlus Sunnah dan pengakuan mereka tidak lebih dari ungkapan penyair.
Setiap orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Namun Laila mengingkari hal itu
Benarkah Sururiyah itu Ahlus Sunnah dan bagaimana sikap mereka terhadap ulama?
Sururiyah adalah bentuk penisbatan kepada Muhammad Surur Zainal Abidin, seseorang yang bermukim di Birmingham, Inggris setelah dia meninggalkan negeri Islam. Sururiyah memiliki manhaj (jalan) yang telah menyempal dari manhaj Ahlus Sunnah.
Asy-Syaikh Zaid bin Muhammad mengatakan: “Tidak bisa dikatakan Quthbiyun (sebuah manhaj yang dikembangkan mengikuti pemikiran oleh Sayyid Quthub) dan Sururiyun sebagai Ahlus Sunnah karena banyak penyelewengan kedua kelompok ini dalam permasalahan-permasalahan yang sangat berbahaya, di antaranya memiliki manhaj takfir dengan tanpa ada dalil pembolehan sedikitpun baik secara akal maupun nash. Memiliki kesalahan yang sangat keji dan fatal yang terkait dengan perkara yang paling besar permasalahannya di dalam agama yaitu permasalahan i’tiqad dan mengumumkan perang yang dahsyat kepada Ahlus Sunnah baik sebagai rakyat atau pemerintah, dan mereka menuduh dan mencela dengan berbagai macam celaan. Sementara Ahlus Sunnah bara’ (berlepas diri) dari mereka.” (As-Siraj Al-Waqqad fil Bayan Tash-hih Al-I’tiqad hal. 100)
Manhaj pendiri gerakan Sururiyah ini sama dengan manhaj para pengikut Sayyid Quthub dan terlebih khusus lagi perlawanannya yang keras terhadap aqidah Salaf yang sumbernya adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka menjuluki Ahlus Sunnah sebagai makhluk yang hanya bisa mengeong dan dijuluki al-’abid atau ‘abid al-’abid1 (budaknya budak) serta julukan-julukan lain yang kotor dan keji.
Cukuplah penggambaran singkat ini untuk mengetahui sekilas tentang Sururiyah. (As-Siraj Al-Waqqad fil Bayan Tash-hih Al-I’tiqad hal. 100 dan seterusnya, ‘Isyruna Ma’khadzan ‘ala As-Sururiyyah karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Wushabi, Al-Ajwibah Al-Mufidah karya Asy-Syaikh Fauzan Al-Fauzan dan Tuhfatul Mujib karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Madkhali)
Ulama dalam pandangan mereka
Berdasarkan nash-nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa ulama memiliki kedudukan yang tinggi di hadapan Allah I dan umat memiliki kewajiban untuk taat kepada mereka. Tidak ada yang melecehkan mereka kecuali ahli bid’ah dan itulah ciri mereka. Al-Imam Ash-Shabuni t mengatakan: “Tanda-tanda kebid’ahan pada pelakunya sangat nampak sekali dan di antara tanda-tanda mereka yang nyata adalah keras permusuhan mereka terhadap para pembawa hadits dan pelecehan mereka terhadapnya dan mereka menjulukinya dengan penyebutan orang gembel, bodoh, dzahiriyyah, dan musyabbihah.” (‘Aqidatus Salaf Ashab Al-Hadits, hal. 116)
Beliau t membawakan ucapan Ahmad bin Sinan Al-Qaththan dengan sanadnya kepada beliau: “Tidak ada seorangpun ahli bid’ah di atas dunia ini melainkan dia sangat membenci ahli hadits.” (Lihat di atas hal. 116)
Setelah kita mengetahui bahwa Sururiyyun adalah ahli bid’ah, maka dari ucapan ulama di atas sangat jelas tentang kebencian mereka terhadap ulama Ahlus Sunnah. Hal ini terlihat ketika Asy-Syaikh Ibnu Baz memfatwakan bolehnya meminta bantuan orang kafir dalam menghadapi Saddam Husain dan tentara-tentaranya pada peristiwa Perang Teluk. Mereka (orang-orang Sururiyyun) berada di sebuah jalan dengan kejahilan mereka, sedang Al-Imam Ibnu Baz t di jalan Rasulullah r dengan ilmunya.
Pelecehan kepada seorang ulama sama artinya dengan melecehkan ilmu yang mereka bawa dan juga melecehkan ulama yang semisalnya di atas manhaj Rasulullah r.
Inilah bentuk kesesatan dan penyesatan terhadap umat. Oleh karena itu berhati-hatilah dari Sururiyyun. Mereka bertebaran di seluruh dunia dan tidak terlepas pula di negeri muslimin Indonesia. Di antara bentuk pelecehan mereka terhadap ulama adalah:
a. Membuang bimbingan-bimbingan dan fatwa para ulama bila bertentangan dengan hawa nafsu dan manhaj yang mereka tempuh. Mereka menerima para ulama tersebut bila sesuai dengan hawa nafsu mereka dan menolaknya bila menyelisihi mereka. Tabiat mereka adalah senang menabrakkan fatwa-fatwa para ulama bila fatwa tersebut tidak sesuai dengan konsep mereka. Apakah demikian jalannya Ahlus Sunnah?
b. Mereka siap mengkritik ulama Ahlus Sunnah dan mereka menjadi setan bisu terhadap kejahatan ulama-ulama mereka yang telah berjasa besar atas mereka dalam urusan duniawi.
c. Mereka menuduh ulama Ahlus Sunnah tidak mengetahui fiqhul waqi’, bahkan mereka adalah bertempat tinggal rumah-rumah kerang.
d. Wala’ mereka yang tinggi terhadap Muhammad Surur, Al-Mas’ari, Sayyid Qutub dan selain mereka dan bara’ terhadap ulama-ulama As-Sunnah.
e. Membela para peleceh ulama Ahlus Sunnah dan yang berani berbicara tentang mereka seperti yang dilakukan oleh Al-Mas’ari terhadap Asy-Syaikh Ibnu Baz dengan mengatakan: qaraba al-kufra, mendekati kekafiran. Seperti yang diucapkan oleh Aqil Al-Maqthari tentang Asy-Syaikh Muqbil dengan mengatakan: “Asy-Syaikh Muqbil adalah Mausus Ad-Diyar Yamaniyah.” (Asy-Syaikh Muqbil adalah bencana, malapetaka, perusak negeri Yaman). Begitu juga ucapan dia tentang Asy-Syaikh Al-Albani di negeri Syam.
Bukankah ini semua merupakan kejahatan di dalam agama? Dan inilah ciri ahli bid’ah. (‘Isyrun Ma’khadzan ‘Ala Sururiyyah, karya Muhammad bin Abdil Wahhab dan Fitnah At-Takfir, karya Muhammad bin Abdullah Al-Husaini)
Wallahu a’lam.
1 Wallahu a’lam, yang mereka maksud adalah Fahd (raja Saudi Arabia ) sebagai budak Amerika dan para ulama sebagai budaknya Fahd.