Saturday, January 17, 2015

Rezeki dan berkah bukan dari jimat penglaris

,
Berdagang tanpa perlu penglaris harus diyakini reski ada di tangan Alloh SWT


Sebuah dagelan, saat sahabat saya menceritakan bahwa ketika dia di pasar tuk membeli beberapa bahan baku buat mie xxx, ada pedagang yang bertanya tentang apa sih jimat penglarisan mie xxx sehingga laris terus dan cepat sekali maju usahanya. Pedagang tersebut percaya kalau usaha bisa laris kalau jimat penglarisannya itu bagus. Hehe, mungkin memang jimat penglarisan dia gak manjur makanya bertanya pada sahabat saya, kali aja ada bocoran. Terang saja sahabat saya pun tersenyum. Karena kami memang tak mengenal jimat penglarisan. Jangankan jimat penglarisan, nepok-nepok dagangan pakai uang penghasilan pertama terus bilang “penglaris, penglaris” aja tidak, apalagi beneran pakai jimat. (Sumber)

 Itulah keyakinan sebagian masyarakat kita yang masih awam dan masih menganut tradisi dahulu, tanpa berpikir logis. Ada yang sangka bahwa dagangan hanyalah bisa laris dengan jimat penglaris. Anggapan semacam ini seakan-akan mematahkan prinsip pemasaran yang sudah diajarkan para ekonom. Masa’ dengan penglaris saja bisa meningkatkan pemasaran? Kadang gak masuk di logika. Sama dengan orang yang menyatakan tumbal kepala kerbau tidak akan membuat jembatan ambruk lagi. Mana hubungannya?


Datangnya Keberkahan

Barokah atau keberkahan dalam Al Qur’an dan As Sunnah bermakna langgengnya kebaikan, kadang pula bermakna bertambahnya kebaikan dan bahkan bisa bermakna kedua-duanya. Dan perlu dipahami bahwa segala kebaikan itu datang dari Allah, bukan dari makhluk yang tidak memiliki apa-apa. Allah Ta’ala berfirman,


قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ


“Katakanlah: "Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. Ali Imron: 26). Yang dimaksud ayat “di tangan Allah-lah segala kebaikan” adalah segala kebaikan tersebut atas kuasa Allah. Tiada seorang pun yang dapat mendatangkannya kecuali atas kuasa-Nya. Karena Allah-lah yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Demikian penjelasan dari Ath Thobari rahimahullah sebagaimana dalam Jaami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayil Qur’an (6: 301).


Dalam sebuah do’a istiftah yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan,


وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِى يَدَيْكَ


Begitu juga dalam beberapa ayat lainnya disebutkan bahwa nikmat (yang merupakan bagian dari kebaikan) itu juga berasal dari Allah. Allah Ta’ala berfirman,


وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ


“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl: 53).



قُلْ إِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللَّهِ



“Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah” (QS. Ali Imron: 73).



وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا


“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya” (QS. Ibrahim: 34 dan An Nahl: 18).


Setelah kita mengerti dengan penjelasan di atas, maka untuk meraih barokah sudah dijelaskan oleh syari’at Islam yang mulia ini. Sehingga jika seseorang mencari berkah namun di luar apa yang telah dituntunkan oleh Islam, maka ia berarti telah menempuh jalan yang keliru. Karena ingatlah sekali lagi bahwa datangnya barokah atau kebaikan hanyalah dari Allah. Termasuk dalam hal ini menggapai barokahnya rizki dan larisnya dagangan, mesti dengan meniti jalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam karena itulah jalan yang Allah tunjuki.

Coba kita perhatikan di antara contohnya adalah meraih berkah ketika berdagang yaitu dengan modal jujur. Ketika ada ‘aib pada barang dagangan, lalu kita terang-terangan menjelaskan pada pembeli, itulah di antara sebab datang barokah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا


Ketika seseorang mencari harta dengan tidak diliputi rasa tamak atau dengan sifat qona’ah (penuh rasa cukup_, maka keberkahan pun akan mudah datang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengatakan pada Hakim bin Hizam,

يَا حَكِيمُ إِنَّ هَذَا الْمَالَ خَضِرَةٌ حُلْوَةٌ ، فَمَنْ أَخَذَهُ بِسَخَاوَةِ نَفْسٍ بُورِكَ لَهُ فِيهِ ، وَمَنْ أَخَذَهُ بِإِشْرَافِ نَفْسٍ لَمْ يُبَارَكْ لَهُ فِيهِ كَالَّذِى يَأْكُلُ وَلاَ يَشْبَعُ ، الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى


“Wahai Hakim, sesungguhnya harta itu hijau lagi manis. Barangsiapa yang mencarinya untuk kedermawanan dirinya (tidak tamak dan tidak mengemis), maka harta itu akan memberkahinya. Namun barangsiapa yang mencarinya untuk keserakahan, maka harta itu tidak akan memberkahinya, seperti orang yang makan namun tidak kenyang. Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah” (HR. Bukhari no. 1472). Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Qona’ah dan selalu merasa cukup dengan harta yang dicari akan senantiasa mendatangkan keberkahan. Sedangkan mencari harta dengan ketamakan, maka seperti itu tidak mendatangkan keberkahan dan keberkahan pun akan sirna.” (Syarh Ibni Batthol, 6: 48)


Namun modal utama untuk meraih berkah dari hal-hal yang dicontohkan di atas adalah dengan sifat takwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,


وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ


“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al A’rof: 96). Maka perbanyaklah ketaatan dan perbaiki ketakwaan, maka keberkahan akan mudah turun di tengah-tengah kita.


Jimat Penglaris Menjauhkan dari Berkah

Jika ketaatan dan ketakwaan adalah jalan mudah meraih berkah, sebaliknya segala macam maksiat menjauhkan dari berkah.

 Ibnul Qayyim rahimahullah yang ma’ruf dengan kalimat-kalimat penyejuk hati berkata, “Di antara akibat dari berbuat maksiat adalah hilangnya nikmat dan datangnya bencana. Tidaklah suatu nikmat itu hilang melainkan karena dosa, begitu pula halnya suatu bencana datang juga karena dosa. Dan mengangkat musibah tersebut hanyalah dengan taubat. Sebagaimana kata ‘Ali bin Abi Tholib, “Tidaklah musibah itu turun melainkan karena dosa. Musibah itu bisa terangkat hanyalah dengan taubat.” (Ad Daa’ wad Dawaa’, 113)



Allah Ta’ala berfirman,


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ


“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syura: 30).


ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ


“(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri” (QS. Al Anfal: 53).

 Demikianlah dengan jimat penglaris yang termasuk syirik akan menjauhkan dari berkah. Bukti bahwa jimat penglaris adalah kesyirikan dan syirik termasuk maksiat terbesar dapat dilihat pada hadits berikut ini.


مَنْ تَعَلَّقَ تَمِيمَةً فَلاَ أَتَمَّ اللَّهُ لَهُ وَمَنْ تَعَلَّقَ وَدَعَةً فَلاَ وَدَعَ اللَّهُ لَهُ

“Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada tamimah (jimat), maka Allah tidak akan menyelesaikan urusannya. Barangsiapa yang menggantungkan (hati) pada kerang (untuk mencegah dari ‘ain, yaitu mata hasad atau iri, pen), maka Allah tidak akan memberikan kepadanya jaminan” (HR. Ahmad 4: 154. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan –dilihat dari jalur lain-).

 Dalam riwayat lain disebutkan,

مَنْ عَلَّقَ تَمِيمَةً فَقَدْ أَشْرَكَ

“Barangsiapa yang menggantungkan tamimah (jimat), maka ia telah berbuat syirik” (HR. Ahmad 4: 156. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini qowiy atau kuat. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 492).



Jika dikatakan bahwa orang yang memakai tamimah atau jimat tidak akan dibantu dalam urusan, maka ini menunjukkan bahwa keberkahan tidak akan menghampirinya. Dan sudah sangat jelas bahwa memakai atau menggantungkan jimat termasuk dalam kategori syirik. Karena pemakai jimat sangat bergantung pada jimat tersebut, padahal jimat penglaris hanyalah sebab yang mengada-ada, secara ilmiah tidak terbukti sebagai penglaris. Barangkali cuma karena sugesti atau hanya sekedar bukti sekali dua kali, dagangannya bisa laris. Namun belum tentu terbukti laris bagi yang lain. Bahkan yang tidak memakai jimat penglaris, malah lebih laris. Ketergantungan hati pada jimat-jimat yang serba aneh ini yang dinilai syirik. Di sini para ulama memberikan rincian sebagai berikut:

 Jika yakin bahwa tamimah atau jimat bisa mendatangkan manfaat dan menolak bahaya (mudhorot), maka ini termasuk syirik akbar. Karena yang mendatangkan manfaat dan bisa menolak bahaya hanyalah Allah, bukanlah jimat.

Jika yakin bahwa jimat hanyalah sebagai sebab atau sarana untuk penyembuhan –misalnya-, namun yang sebenarnya menyembuhkan adalah Allah, maka ini termasuk syirik ashgor. Demikianlah keyakinan kebanyakan orang yang memakai jimat pada umumnya. Hal ini tetap dinilai syirik karena adanya ketergantungan hati pada jimat, bukan pada Allah dan jimat sendiri tidak terbukti ampuh secara syar’i maupun empiris.

Tawakkal, Itu Kunci Sukses



Barangsiapa yang menjadikan hatinya bergantung pada Allah, itulah yang membuat urusannya mudah. Bukan bergantung pada jimat yang katanya bisa memudahkan urusan dan melariskan dagangan. Namanya tawakkal memang dengan memenuhi dua rukun, yaitu melakukan sebab dan bergantungnya hati pada Allah. Namun sebab yang dimaksudkan di sini adalah sebab yang dibolehkan, bukan sembarang sebab dan mengada-ada.



Dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Ukaim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِلَ إِلَيْهِ



“Barangsiapa menggantung hati pada sesuatu, urusannya akan diserahkan padanya” (HR. Tirmidzi no. 2072 dan Ahmad 4: 310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan). Barangsiapa menggantungkan hatinya pada jimat, maka Allah akan menyerahkan urusan orang tersebut pada benda-benda tadi dan Allah akan menghinakannya. Beda halnya jika Allah yang dijadikan tempat bergantung. Jika seseorang bergantung pada Allah, maka urusannya akan diselesaikan oleh Allah, yang sulit akan menjadi mudah, dan yang jauh akan didekatkan. Jika Allah yang menjadi sandaran, maka sebagaimana disebutkan dalam ayat,


وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath Tholaq: 3).

 Yakin Allah Pemberi Rizki

Kita sudah sangat yakin bahwa Allah-lah pemberi rizki sebagaimana firman-Nya,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ قُلِ اللَّهُ



“Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?" Katakanlah: "Allah.” (QS. Saba’: 24)



Selain Allah sama sekali tidak dapat memberi rizki. Allah Ta’ala berfirman,


وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَمْلِكُ لَهُمْ رِزْقًا مِنَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ شَيْئًا وَلَا يَسْتَطِيعُونَ

“Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rizki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun).” (QS. An Nahl: 73)

 Namun perlu dipahami bahwa Allah memiliki berbagai hikmah dalam pemberian rizki. Ada yang Allah jadikan kaya dengan banyaknya rizki dan harta. Ada pula yang dijadikan miskin. Ada hikmah berharga di balik itu semua. Allah Ta’ala berfirman,

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rizki.” (QS. An Nahl: 71)

Dalam ayat lain disebutkan,

إِنَّ رَبَّكَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّهُ كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا

 Dalam ayat kedua di atas, di akhir ayat Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Dia Maha mengetahui lagi Maha melihat akan hamba-hamba-Nya”. Ibnu Katsir menjelaskan maksud penggalan ayat terakhir tersebut, “Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Melihat manakah di antara hamba-Nya yang pantas kaya dan pantas miskin.” Sebelumnya beliau rahimahullah berkata, “Allah menjadikan kaya dan miskin bagi siapa saja yang Allah kehendaki. Di balik itu semua ada hikmah.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘zhim, Ibnu Katsir, 8: 479)

 Jika kita sudah memahami hal rizki ini, maka tidak perlu lagi ada rasa cemburu sesama pedagang. Yang namanya dagang, pasti ada yang amat laris dan ada yang biasa-biasa saja. Itu semua ada hikmahnya. Karena barangkali jika Allah membuat semuanya laris, nanti malah semakin sombong. Ingatlah, Allah tidaklah menakdirkan sesuatu dengan sia-sia. Sehingga jika sudah dipahami, maka mengapa mesti ada yang pakai jimat penglaris? Pemakaian jimat ini bisa jadi muncul karena rasa iri, tidak memahami rizki makhluk yang berbeda-beda dan tidak mengetahui hikmah Allah sehingga akhirnya syirik jimatlah yang diterjang.


Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.