Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed
Kita diciptakan Allah di dunia ini adalah untuk beribadah, untuk menjalankan perintah Allah Subhanahu Wata’ala dan menjauhi laranganNya. Oleh karena itu, mau tidak mau orang yang telah beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala harus
mengerti apa yantg diperintahkan dan apa yang dilarangNya. Bagaimana
kita akan mentaatinya kalau tidak mengerti apa yang diperintahkanNya?
Dengan kata lain wajib bagi seorang muslim mempelajari agamanya.
Sebagaimana dikatakan dalam riwayat yang shahih dari Nabi Sholallahu Alaihi Wasallam (yang artinya):
“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap muslim”
Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan bahwa ruang lingkup ibadah ada lima belas perkara. Yang
demikian karena ibadah terdiri dari tiga macam, yaitu amalan lisan,
amalan hati, dan amalan dengan anggota badan. Sedangkan masing-masing
dari amalan tersebut terkait dengan lima hukum : wajib, mustahab, haram,
makruh, dan mubah. Kemudian Ibnul Qayyim berkata : “Barangsiapa yang melengkapi lima belas perkara tersebut berarti dia telah menyempurnakan ibadah.”
Maka
bagi seorang Muslim harus mengetahui lima belas hukum amalan tersebut,
apa yang diharamkan dari ucapan, mana yang diwajibkan, dimakruhkan, dan
seterusnya. Demikian pula terhadap keyakinan dan perbuatan, mana yang
diwajibkan, diharamkan, dianjurkan, dimakruhkan , dan mana yang
dimubahkan saja.
Hal ini tidak bisa dipelajari
dalam hitungan jam, bulan atau tahun, apalagi mengandalkan beberapa jam
pelajaran dalam satu minggu di sekolah. Ilmu ini membutuhkan waktu
terus-menerus sejak kita di pangkuan ibunda sampai memasuki liang kubur.
Kita harus memperbaiki keyakinan dan membersihkannya dari bid’ah,
khurafat, dan takhayul. Kita harus memperbaiki ucapan-ucapan dan
dicocokkan dengan apa yang diajarkan agama ini. Dibersihkan dari segala
ucapan kotor, syirik, dusta, caci maki, dan seterusnya.
Demikian
pula anggota badan kita harus dibersihkan dari berbagai macam amalan
syirik, bid’ah, dosa, dan maksiat. Ini semua butuh butuh ilmu. Ilmu
tentang Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar seperti apa
yang dipahami oleh generasi terbaik, yaitu generasi para sahabat.
Permasalahan
apapun yang dihadapi, kita butuh keterangan dan bimbingan dari Al
Qur’an dan As Sunnah. Dalam perang sekalipun kita tidak bisa lepas dari
ilmu syariat sehingga kita berpegang sesuai dengan aturan Allah
Subhanahu Wata’ala dan contoh teladan dari Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam .
Demikian
pula problem politik, sosial, dan ekonomi tidak lepas dari ilmu ini.
Yang menunjukkan bahwa kita harus mencari ilmu, mengkajinya
terus-menerus sampai menghadapi kematian.
Dari
sinilah kita mengetahui mengapa ciri khas Ahlus Sunnah adalah mencari
ilmu. Mereka adalah pencari ilmu, peneliti hadits, penggali
manuskrip-manuskrip dari peninggalan para ulama terdahulu, meneliti
tafsir ayat Al Qur’an dengan riwayat-riwayat dari Nabi Sholallahu Alaihi Wasallam dan
para sahabat dan seterusnya. Hidup mereka adalah mencari ilmu,
mengamalkan, dan menyanpaikannya. Sehingga amalan mereka tidak
terpengaruh oleh kepentingan pribadi, kepentingan politik, ataupun
kepentingan dunia. Amalan mereka murni berdasarkan ilmu yang mereka
pelajari dan dipersembahkan hanya untuk Allah Subhanahu Wata’ala.
Mereka
beramal berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah, serta dengan pemahaman
generasi terbaik yang mereka pelajari dan mereka gali setiap hari.
Mereka bukan politikus walaupun mereka tetap menasihati para penguasa.
Mereka bukan muqallid (pembebek) walaupun mereka tetap mengikuti nasihat
para ulama. Karena pada dasarnya mereka mengikuti ilmu yang mereka
dapatkan melalui para ulama tersebut.
Dengan
demikian jalan mereka jelas, langkah mereka mantap, tidak mudah ditipu
atau dibelokkan. Kalaupun ada perselisihan diantara mereka, mereka mudah
kembali karena mereka punya rujukan yang disepakati yaitu ucapan Allah Sholallahu Alaihi Wasallam dan ucapan Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam.
“Jika
kalian berselisih dalam suatu masalah, kembalikanlah kepada Allah dan
RasulNya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian
lebih baik akibatnya” (QS. An Nisa : 59)
Kalau
mereka berselisih tentang keshahihan riwayat hadits, mereka punya
rujukan ulama pakar peneliti hadits yang disepakati keilmuannya dalam
bidang tersebut. Seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Ahmad, Imam
Malik, Imam Syafi’i dan lain-lain. Kalaupun mereka berbeda memahami
ucapan Allah Subhanahu Wata’ala dan RasulNya, mereka mudah
untuk bersatu karena mereka punya rujukan pemahaman yang disepakati
yaitu pemahaman generasi terpuji, generasi para sahabat.
“Generasi
terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar dan yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka ridha kepada Allah,
bagi mereka surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai … .” (QS. At Taubah : 100)
Selebihnya mereka adalah kaum yang menghormati ijtihad orang-orang yang telah berusaha melalui jalur-jalur ilmu tersebut.
Inilah
yang membedakan mereka dari ahlul bid’ah yang berjalan berdasarkan hawa
nafsu dan selera pribadi. Bayangkan jika setiap orang menyimpulkan
suatu hukum tidak berdasarkan ilmu agama, melainkan hasil pikirannya
sendiri. Sepuluh kepala, sepuluh pemikiran. Seratus kepala, seratus ide.
Seribu kepala, seribu pendapat. Apa yang akan terjadi? Sebagian mereka
berjalan mengikuti perasaan mereka, sebagian yang lain mengikuti
pikirannya, sebagian yang lain mengikuti adat dan kebiasaan kaumnya.
Lantas pikiran siapa yang menjadi standar? Perasaan siapa yang menjadi
rujukan? Adat bangsa mana yang menjadi pegangan di kala terjadi
perselisihan? Inilah sumber perpecahan dan sumber kehancuran.
Oleh
karena itu, di kala masing-masing bangsa ingin membumikan Islam,
menyeret dalil-dalil untuk dicocokkan dengan dengan adat dan budaya
bangsanya, saat para pemikir liberalis ingin memaksakan agama ini agar
sesuai dengan selera dan akal pikirannya. Saat bangsa-bangsa Barat
mengebiri Islam, ingin mencabut ajaran jihad dari agama ini. Saat para
politikus ingin memperalat agama ini untuk kepentingan politiknya. Saat
setiap aliran sesat, para pengekor hawa nafsu berkampanye mendakwahkan
kesesatannya. Di saat itulah kita harus semakin teliti, semakin jeli
mempelajari Islam dan memegangnya kuat-kuat, agar selamat dari
tarikan-tarikan mereka. Dan hati-hatilah terhadap pemikiran-pemikiran
baru yang dijajakan di atas nama agama dengan harga murah.
Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam mewasiatkan (yang artinya):
“… Sesungguhnya,
barangsiapa di antara kalian yang hidup sesudahku nanti, niscaya akan
menyaksikan perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian untuk
berpegang dengan sunnahku dan sunnahnya para khalifah yang lurus dan
mendapat hidayah. Peganglah kuat-kuat dan gigitlah dengan geraham
kalian. Dan hati-hatilah terhadap perkara yang baru (dalam agama) karena
setiap perkara yang baru diada-adakan (dalam agama) adalah bid’ah dan
setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Sabda Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam
kini terbukti. Kita saksikan perselisihan di antara manusia demikian
banyak. Masing-masing merasa yang paling benar. Tiada hari tanpa ada
perselisihan. Tiap hari masyarakat dijejali polemik yang tiada henti.
Tak ada kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pengajaran
memperbaiki diri mereka.
Di saat seperti itu
muncul penyeru-penyeru kepada kebinasaan. Lihatlah dedengkot Islam
Liberal, Ulil Abshar Abdalla, yang menyamakan memilih kebenaran dalam
beragama seperti memilih barang di pasar. Setiap orang bebas memilih
barang kesukaannya. Ia beralasan bahwa sekarang tidak ada lagi Rasul
yang bisa menjadi tempat bertanya untuk menentukan sebuah kebenaran di
antara berbagai pendapat yang ada, sehingga tiap pendapat bisa di anggap
benar.
Inilah pentingnya ilmu. Orang yang berilmu
dari sumber yang benar, yaitu Al qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman
generasi terbaik umat ini, niscaya tidak akan terpengaruh sedikitpun
dengan pemikiran model Ulil. Ia akan tetap melenggang dan menganggap
kelompok Ulil sebagai orang-orang bingung yang terus diombang-ambingkan
oleh kebingungannya. Cuma kurang ajarnya, dalam kebingungannya itu ia
justru mengajak orang lain untuk ikut-ikutan bingung.
Karena itu, berpegang dengan Al Qur’an dan As Sunnah adalah keharusan. Memahami keduanya seperti para sahabat Rasulullah Sholallahu Alaihi Wasallam memahaminya
adalah jalan keselamatan. Tidak ada pemahaman yang bisa mengantarkan
seseorang selamat di dunia dan akhirat, selain pemahamannya sahabat
Rasulullah, para Tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in (Shalafush Shalih).
Wallahu A’lam.