Friday, November 13, 2020

Masjid Katangka, Masjid Tertua di Sulsel

 Masjid Katangka, Masjid Tertua di Sulsel


Masjid Katangka, sebelah Tenggara Pusat Kota Makassar

Masjid Katangka, masjid tertua di Sulawesi Selatan, merupakan peninggalan sejarah kebangkitan Islam yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu situs sejarah dan purbakala, terletak di Kelurahan Katangka, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, sekitar 1,5 kilometer dari Sungguminasa, ibu kota Kabupaten Gowa atau sekitar 9 km dari Kota Makassar, tak jauh dari makam Pahlawan Nasional Syekh Jusuf atau tokoh yang dijuluki Tuanta Salamaka, pemimpin yang membawa keselamatan umat.


Dekat dengan Masjid dan Makam Syech Yusuf

Sejarah
Sejarahwan belum sependapat mengenai tahun pembangunan Masjid Katangka. Sebagian berpendapat masjid ini dibangun tahun 1603 atau lima tahun sebelum Islam menjadi agama resmi Kerajaan Gowa, sebagian lagi berpendapat masjid tersebut merupakan karya abad ke-18.
Serambi Masjid Katangka, perhatikan juga prasasti disamping pintu


Jika dibangun tahun 1603 M, maka masjid ini berdiri pada masa pemerintahan Raja Gowa ke-14, Sultan Alauddin, Raja Gowa pertama yang memeluk agama Islam. Alauddin adalah kakek dari Sultan Hasanuddin, Raja Gowa ke-16. Pada tahun 1605 M, masjid dirombak menjadi masjid Kerajaan bernama Masjid Katangka.


Masjid ini awalnya berada didalam komplek benteng Kerajaan Gowa sebagai tempat raja dan pengawalnya untuk melaksanakan sholat dan pertemuan lainnya. Menurut cerita turun temurun, para khatib saat akan membawakan khotbah Jumat dikawal oleh 2 pengawal yang membawa pedang. Meski kebiasaan ini kini telah ditinggalkan, namun dikedua sisi mimbar masih dipancang tombak bermata tiga.



Meski telah berpindahnya pusat Kerajaan Gowa ke Benteng Somba Opu di abad ke 17 dan benteng tempat masjid ini berdiri sudah tidak ada lagi namun masjid ini masih digunakan warga sekitar sebagai tempat kegiatan keagamaan. Tidak banyak tersedia catatan sejarah mengenai masjid ini. Kisah seputar pembangunan masjid lebih banyak dituturkan dari mulut ke mulut, terutama oleh juru kunci masjid yang mewarisi kisah itu dari juru-juru kunci sebelumnya.


Para juru kunci menuturkan, awal Islam diperkenalkan di Gowa oleh 41 mubalig dari Timur Tengah. Namun, tidak diketahui dengan jelas identitas resmi ke-41 mubalig Timur Tengah tersebut. Yang diketahui hanyalah para mubalig itu memperkenalkan Islam melalui salat Jumat yang pertama kali dilaksanakan di Gowa di bawah pohon Katangka, daerah yang kini bernama Jalan Syekh Yusuf di Kecamatan Somba Opu, sekira 2 km dari Sungguminasa. Lokasi salat Jumat pertama itu persisnya di Masjid Tua Katangka. Inilah kisah yang kemudian menjadi cikal bakal keberadaan Majid Katangka.


Kedatangan para mubalig Timur Tengah tersebut bermaksud menawarkan Raja Gowa ke-14, Sultan Alauddin untuk memeluk Islam. Tapi upaya mubalig Timur Tengah tersebut tidak membuahkan hasil. Sampai akhirnya datang utusan bernama Datuk Ribandang (atau Abdul Makmur atau Dato Ri Bandang atau Daeng Bandang). Hingga akhirnya Sultan Alauddin mengakui Islam sekira 1603 setelah mendapat pengarahan dari pamannya Raja Tallo yang bernama Mallingkai Dg Manyonri bergelar Sultan Awalul Islam yang rupanya telah menjadi penganut Islam.

Setelah Sultan Alauddin memeluk agama Islam, maka ada titah Raja untuk mendirikan masjid. Melalui perdebatan yang alot, disepakati masjid pertama dibangun di lokasi pertama kali shalat Jumat dilakukan para mubalig dari Timur Tengah itu. Maka dibangunlah sebuah masjid. Menurut kisah, Datuk Ribandang jugalah yang mendirikan masjid Katangka ini. Pohon Katangka yang tadinya memayungi para mublig Timur Tengah saat salat Jumat pertama kali di Gowa ditebang. Kayunya dibuat sebagai bahan utama material bangunan masjid.


Sampai sekarang ini, bagian atap atau kuda-kuda masjid ini masih diyakini masyarakat dibangun dari kayu pohon Katangka. Seperti telah diceritakan sebelumnya, Katangka adalah nama sebuah pohon besar yang sebelum masjid ini didirikan kerap dijadikan tempat salat oleh para saudagar muslim Melayu, India, dan Arab.

Selanjutnya masjid ini lebih dikenal oleh masyarakat sebagai masjid Al Hilal Katangka.


Arsitektur
Masjid Katangka berdenah bujur sangkar, dibangun di atas areal seluas 610 m2, dikelilingi pagar besi dengan tiang pagar dari tembok, menghadap ke timur, memiliki halaman depan, mempunyai serambi dan ruang utama dan di sekitarnya terdapat makam raja-raja Gowa dan kerabat kerajaan. Bangunan masjid ini menyerupai arsitektur masjid Demak. Struktur masjid berukuran 14,1 x 14,4 meter dan bangunan tambahan 4,1 x 14,4 meter. Tinggi bangunan 11,9 meter. Dinding masjid ini memiliki tebal 120 centimeter yang terbuat dari batu kali yang kokoh.


Atap masjid dari bahan genteng tanah liat dan bertingkat tiga. Antara atap masjid tingkat dua dan tiga (teratas) terdapat pemisah berupa ruangan berdinding tembok dengan jendela di keempat sisinya, diperuntukkan agar sinar dapat masuk dan di puncak masjid terdapat mustaka. Lantai Porselen.


Bangunan masjid ditopang 4 tiang utama yang lingkarannya melebihi orang dewasa, dibuat dengan sistem pondasi cakar ayam, tiang itu dipadukan ring balok beton dengan ring balok kayu peninggalan bangunan lama yang masih dapat digunakan. Tiang penyangga ini berbentuk pilar, berwarna putih. Jumlah tiang diambil dari 4 sahabat Rasul yang utama yaitu Abu Bakar, Umar Bin Khatab, Usman bin Afan dan Ali Bin Abi Thalib.


Masjid ini mempunyai serambi yang menyatu dengan atap utama, berfungsi sebagai ruang peralihan dan juga digunakan sebagai tempat belajar mengaji. Untuk masuk ke dalam ruang shalat utama, terdapat tiga buah pintu.


Bagian mihrab serta mimbar yang terdapat tulisan Arab berbahasa Makassar terbuat dari ukiran kayu. Empat tiang besi bulat berguna sebagai penyangga atap.

Dindingnya meski tidak dilapisi keramik atau porselin tampak sangat terjaga. Lantai dasar telah dihiasi keramik berwarna krem. Lalu ada beberapa kipas angin gantung, sebagai pemberi hawa sejuk saat beribadah.


Mimbar ceramah berada di saf terdepan dengan model semi panggung, di mana bagian atapnya berbentuk prisma, dengan kayu ukuran khas. Kondisi terkini bagian dalam masjid bersejarah tersebut telah jauh lebih modern.


Keunikan masjid ini adalah, walaupun didirikan di Makassar, namun tidak tampak pengaruh arsitektur lokal. Mungkin sebagai bentuk proses akulturasi konstruksi lokal Makassar dan Joglo Jawa (4 tiang besar, serambi, dan 3 pintu).


Makam kerabat raja Gowa di samping Masjid Katangka

Adapun foto dari masjid Katangka tempo dulu masih sempat diabadikan. Dulu, ada menara masjid, sekarang menara masjid telah hilang. Dari sumber KITLV Leiden, disebut dengan tulisan: Grote moskee van Gowa, vermoedelijk te Makassar 1910.


Grote moskee van Gowa, vermoedelijk te Makassar 1910


Renovasi
Dalam catatan sejarah, masjid ini sudah mengalami enam kali renovasi. Beberapa pemugaran yang tercatat ialah:
Tahun 1818 oleh Mangkubumi Gowa XXX, Sultan Kadir
Tahun 1826 Oleh Raja Gowa XXX, Sultan Abdul Rauf
Tahun 1893 oleh raja gowa XXXIV , Sultan Muhhamad Idris
Tahun 1948 oleh Raja Gowa XXXVI, Sultan Muhammad abdul Aidid dan Qadhi Gowa H. Mansyur daeng Limpo
Tahun 1962 oleh Mangkubumi Gowa Audi Baso Daeng Rani Karaeng Bontolangkasa
Pemerintah Indonesia 1973, 1978, 1980 dan terakhir 2007 oleh Pemerintah Indonesia dan Swadaya Masyarakat


Cerita Seputar Masjid Katangka
Selain berfungsi sebagai tempat ibadah, masjid ini sering dijadikan tempat melepaskan nazar bagi sebagian warga Bugis-Makassar. Masjid itu sering dikunjungi warga yang datang dari berbagai tempat yang jauh, yang meyakini bahwa dengan melakukan salat pada bulan Ramadan di masjid tersebut akan mendapatkan berkah yang berlipat ganda.

Masjid ini tidak hanya tercatat sebagai peninggalan sejarah Islam, tapi juga tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan seorang sufi dan pejuang, Syech Yusuf, yang menjadi pahlawan nasional di dua negara (Indonesia dan Afrika Selatan). Di Masjid Katangka, Syech Yusuf banyak meluangkan waktu untuk membimbing murid-muridnya.


Waktu kecil dulu, saya sering salah persepsi. Masjid Katangka yang sering saya lihat ketika melintas ke rumah nenek di wilayah Hartaco, saya kira Masjid Syech Yusuf, atau sebaliknya, atau sama saja. Nah, sudah jelaslah sekarang seluk beluknya. Kembali ke cerita awal, saat saya shalat Ashar, ada beberapa orang jamaah sedang mengaji, dan anak-anak sedang membersihkan serambi masjid. Senang rasanya pernah (dan sering) shalat disini. Semoga tetap terjaga kelestariannya, dan yang utama, semoga warga muslim tetap memakmurkannya.


Wah panjang juga cerita tentang masjid Katangka ini, edit sana sini dan sedikit tambahan ternyata membutuhkan waktu lumayan lama. Saya membuat postingan ini sekitar 3 jam. Lumayan lama untuk editor newbie. Akhirnya, buat saudara se Muslim, mari kita memakmurkan masjid.