Monday, December 31, 2018

Potret Suami dan Bapak Ideal Dalam Rumah Tangga

Potret Suami dan Bapak Ideal Dalam Rumah Tangga Bismillah Assalamu Alaikum



Menjadi suami dan bapak ideal dalam rumah tangga? Tentu ini dambaan setiap lelaki, khususnya yang beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan tentu saja ini tidak mudah kecuali bagi orang-orang yang dimudahkan oleh Allah .

Sosok kepala rumah tangga ideal yang sejati, Rasulullah pernah bersabda:
« ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻷَﻫْﻠِﻪِ ﻭَﺃَﻧَﺎ ﺧَﻴْﺮُﻛُﻢْ ﻷَﻫْﻠِﻰ »
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluarganya dan aku adalah orang yang paling baik (dalam bergaul) dengan keluargaku”.[1]
Karena kalau bukan kepada anggota keluarganya seseorang berbuat baik, maka kepada siapa lagi dia akan berbuat baik? Bukankah mereka yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan kasih sayang dari suami dan bapak mereka karena kelemahan dan ketergantungan mereka kepadanya? [2] . Kalau bukan kepada orang-orang yang terdekat dan dicintainya seorang kepala rumah tangga bersabar menghadapi perlakuan buruk, maka kepada siapa lagi dia bersabar?.
Imam al-Munawi berkata:

“Dalam hadits ini terdapat argumentasi yang menunjukkan (wajibnya) bergaul dengan baik terhadap istri dan anak-anak, terlebih lagi anak-anak perempuan, (dengan) bersabar menghadapi perlakuan buruk, akhlak kurang sopan dan kelemahan akal mereka, serta (berusaha selalu) menyayangi mereka”.[3]
Potret kepala keluarga ideal dalam al-Qur-an
Allah menggambarkan sosok dan sifat kepala keluarga ideal dalam beberapa ayat al-Qur-an, di antaranya dalam firman-Nya:
{ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻭَﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﻔَﻘُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ }
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS an-Nisaa’: 34).
Inilah sosok suami ideal, dialah lelaki yang mampu menjadi pemimpin dalam arti yang sebenarnya bagi istri dan anak-anaknya.
Memimpin mereka artinya mengatur urusan mereka, memberikan nafkah untuk kebutuhan hidup mereka, mendidik dan membimbing mereka dalam kebaikan, dengan memerintahkan mereka menunaikan kewajiban-kewajiban dalam agama dan melarang mereka dari hal-hal yang diharamkan dalam Islam, serta meluruskan penyimpangan yang ada pada diri mereka.[4]
Dalam ayat lain, Allah berfirman:

{ ﻭَﺍﺫْﻛُﺮْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﻜِﺘَﺎﺏِ ﺇِﺳْﻤَﺎﻋِﻴﻞَ ﺇِﻧَّﻪُ ﻛَﺎﻥَ ﺻَﺎﺩِﻕَ ﺍﻟْﻮَﻋْﺪِ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺭَﺳُﻮﻻ ﻧَﺒِﻴًّﺎ . ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻳَﺄْﻣُﺮُ ﺃَﻫْﻠَﻪُ ﺑِﺎﻟﺼَّﻼﺓِ ﻭَﺍﻟﺰَّﻛَﺎﺓِ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﻋِﻨْﺪَ ﺭَﺑِّﻪِ ﻣَﺮْﺿِﻴًّﺎ }
“Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam al-Qur’an. Sesungguhnya dia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan dia (selalu) memerintahkan kepada keluarganya untuk (menunaikan) shalat dan (membayar) zakat, dan dia adalah seorang yang di ridhoi di sisi Allah”.
(QS Maryam: 54-55).

Inilah potret hamba yang mulia dan kepala rumah tangga ideal, Nabi Ismail , sempurna imannya kepada Allah, shaleh dan kuat dalam menunaikan ketaatan kepada-Nya, sehingga beliau meraih keridhaan-Nya. Tidak cukup sampai di situ, beliau juga selalu membimbing dan memotivasi anggota keluarganya untuk taat kepada Allah, karena mereka yang paling pertama berhak mendapatkan bimbingannya. [5]

Demikian pula dalam ayat lain, Allah berfirman:
{ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻫَﺐْ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟِﻨَﺎ ﻭَﺫُﺭِّﻳَّﺎﺗِﻨَﺎ ﻗُﺮَّﺓَ ﺃَﻋْﻴُﻦٍ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ ﺇِﻣَﺎﻣًﺎ }
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan) bagi orang-orang yang bertakwa”
(QS al-Furqaan: 74).
Dalam ayat ini Allah memuji hamba-hamba-Nya yang beriman karena mereka selalu mendokan dan mengusahakan kebaikan dalam agama bagi anak-anak dan istri-istri mereka. Inilah makna “qurratul ‘ain” (penyejuk hati) bagi orang-orang yang beriman di dunia dan akhirat.[6]
Imam Hasan al-Bashri ketika ditanya tentang makna ayat di atas, beliau berkata:
“Allah akan memperlihatkan kepada hambanya yang beriman pada diri istri, saudara dan orang-orang yang dicintainya ketaatan (mereka) kepada Allah. Demi Allah, tidak ada sesuatupun yang lebih menyejukkan pandangan mata (hati) seorang muslim dari pada ketika dia melihat anak, cucu, saudara dan orang-orang yang dicintainya taat kepada Allah”.[7]
Beberapa Sifat Kepala Rumah Tangga Ideal

1. Shaleh dan taat beribadah
Keshalehan dan ketakwaan seorang hamba adalah ukuran kemuliaannya di sisi Allah , sebagaimana dalam firman-Nya:
{ ﺇِﻥَّ ﺃَﻛْﺮَﻣَﻜُﻢْ ﻋِﻨْﺪَ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺃَﺗْﻘَﺎﻛُﻢْ }
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (QS al-Hujuraat: 13).
Seorang kepala rumah tangga yang selalu taat kepada Allah akan dimudahkan segala urusannya, baik yang berhubungan dengan dirinya sendiri maupun yang berhubungan dengan anggota keluarganya.
Allah berfirman:
{ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻪُ ﻣَﺨْﺮَﺟﺎً . ﻭَﻳَﺮْﺯُﻗْﻪُ ﻣِﻦْ ﺣَﻴْﺚُ ﻻ ﻳَﺤْﺘَﺴِﺐُ }
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan memberikan baginya jalan keluar (dalam semua masalah yang dihadapinya), dan memberinya rezki dari arah yang tidak disangka-sangkanya”
(QS. ath-Thalaaq:2-3).
Dalam ayat berikutnya Allah berfirman:
{ ﻭَﻣَﻦْ ﻳَﺘَّﻖِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻳَﺠْﻌَﻞْ ﻟَﻪُ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻩِ ﻳُﺴْﺮﺍً }
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam (semua) urusannya”
(QS. ath-Thalaaq:4).
Artinya: Allah akan meringankan dan memudahkan (semua) urusannya, serta menjadikan baginya jalan keluar dan solusi yang segera (menyelesaikan masalah yang dihadapinya).[8]

Bahkan dengan ketakwaan seorang kepala rumah tangga, dengan menjaga batasan-batasan syariat-Nya, Allah akan memudahkan penjagaan dan taufik-Nya untuk dirinya dan keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah :
“Jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka Dia akan menjagamu, jagalah (batasan-batasan/syariat) Allah maka kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu”.[9]

Makna “menjaga (batasan-batasan/syariat) Allah” adalah menunaikan hak-hak-Nya dengan selalu beribadah kepada-Nya, serta menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.[10]

Dan makna “kamu akan mendapati-Nya dihadapanmu”: Dia akan selalu bersamamu dengan selalu memberi pertolongan dan taufik-Nya kepadamu.[11]

Penjagaan Allah dalam hadits ini juga mencakup penjagaan terhadap anggota keluarga hamba yang bertakwa tersebut.[12]
2. Bertanggung jawab memberi nafkah untuk keluarga
Menafkahi keluarga dengan benar adalah salah satu kewajiban utama seorang kepala keluarga dan dengan inilah di antaranya dia disebut pemimpin bagi anggota keluarganya.
Alah berfirman:
{ ﺍﻟﺮِّﺟَﺎﻝُ ﻗَﻮَّﺍﻣُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻨِّﺴَﺎﺀِ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻀَّﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﺑَﻌْﻀَﻬُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺑَﻌْﺾٍ ﻭَﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﻔَﻘُﻮﺍ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﻮَﺍﻟِﻬِﻢْ }
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka” (QS an-Nisaa’: 34).
Dalam ayat lain, Allah berfirman:
{ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺍﻟْﻤَﻮْﻟُﻮﺩِ ﻟَﻪُ ﺭِﺯْﻗُﻬُﻦَّ ﻭَﻛِﺴْﻮَﺗُﻬُﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ }
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (QS al-Baqarah: 233).
Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah ditanya tentang hak seorang istri atas suaminya, beliau bersabda:
“Hendaknya dia memberi (nafkah untuk) makanan bagi istrinya sebagaimana yang dimakannya, memberi (nafkah untuk) pakaian baginya sebagaimana yang dipakainya, tidak memukul wajahnya, tidak mendokan keburukan baginya (mencelanya), dan tidak memboikotnya kecuali di dalam rumah (saja)”.[13]
Tentu saja maksud pemberian nafkah di sini adalah yang mencukupi dan sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan dan tidak kurang. Karena termasuk sifat hamba-hamba Allah yang bertakwa adalah mereka selalu mengatur pengeluaran harta mereka agar tidak terlalu boros adan tidak juga kikir.
Allah berfirman:
{ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻧْﻔَﻘُﻮﺍ ﻟَﻢْ ﻳُﺴْﺮِﻓُﻮﺍ ﻭَﻟَﻢْ ﻳَﻘْﺘُﺮُﻭﺍ ﻭَﻛَﺎﻥَ ﺑَﻴْﻦَ ﺫَﻟِﻚَ ﻗَﻮَﺍﻣًﺎ }
“Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan:67).
Artinya : mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan).[14]

Ini semua mereka lakukan bukan karena cinta yang berlebihan kepada harta, tapi kerena mereka takut akan pertanggungjawaban harta tersebut di hadapan Allah di hari kiamat kelak.
Rasulullah bersabda:
“Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya,
tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya”.[15]

3. Memperhatikan pendidikan agama bagi keluarga
Ini adalah kewajiban utama seorang kepala rumah tangga terhadap anggota keluarganya.
Allah berfirman:
{ ﻳَﺎ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﺁﻣَﻨُﻮﺍ ﻗُﻮﺍ ﺃَﻧْﻔُﺴَﻜُﻢْ ﻭَﺃَﻫْﻠِﻴﻜُﻢْ ﻧَﺎﺭﺍً ﻭَﻗُﻮﺩُﻫَﺎ ﺍﻟﻨَّﺎﺱُ ﻭَﺍﻟْﺤِﺠَﺎﺭَﺓُ }
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”.
(QS at-Tahriim:6).
Ali bin Abi Thalib , ketika menafsirkan ayat di atas, beliau berkata: “(Maknanya): Ajarkanlah kebaikan untuk dirimu sendiri dan keluargamu”.[16]
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata: “Memelihara diri (dari api neraka) adalah dengan mewajibkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, serta bertobat dari semua perbuatan yang menyebabkan kemurkaan dan siksa-Nya. Adapun memelihara istri dan anak-anak (dari api neraka) adalah dengan mendidik dan mengajarkan kepada mereka (syariat Islam), serta memaksa mereka untuk (melaksanakan) perintah Allah. Maka seorang hamba tidak akan selamat (dari siksaan neraka) kecuali jika dia (benar-benar) melaksanakan perintah Allah (dalam ayat ini) pada dirinya sendiri dan pada orang-orang yang dibawa kekuasaan dan tanggung jawabnya”.[17]
Dalam sebuah hadits shahih, ketika shahabat yang mulia, Malik bin al-Huwairits dan kaumnya mengunjungi Rasulullah selama dua puluh hari untuk mempelajari al-Qur-an dan sunnah beliau , kemudian Rasulullah bersabda kepada mereka: “Pulanglah kepada keluargamu, tinggallah bersama mereka dan ajarkanlah (petunjuk Allah ) kepada mereka”.[18]

4. Pembimbing dan motivator
Seorang kepala keluarga adalah pemimpin dalam rumah tangganya, ini berarti dialah yang bertanggung jawab atas semua kebaikan dan keburukan dalam rumah tangganya dan dialah yang punya kekuasaan, dengan izin Allah , untuk membimbing dan memotivasi anggota keluarganya dalam kebaikan dan ketaatan kepada Allah.
Rasulullah bersabda:
“Ketahuilah, kalian semua adalah pemimpin dan kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban tentang apa yang dipimpinnya…seorang suami adalah pemimpin (keluarganya) dan dia akan dimintai pertanggungjawaban tentang mereka”.[19]

Rasulullah mencontohkan sebaik-baik teladan sebagai pembimbing dan motivator. Dalam banyak hadits yang shahih, beliau selalu memberikan bimbingan yang baik kepada orang-orang yang berbuat salah, sampaipun kepada anak yang masih kecil.
Beliau pernah melihat seorang anak kecil yang berlaku kurang sopan ketika makan, maka beliau menegur dan membimbing anak tersebut, beliau bersabda: “Wahai anak kecil, sebutlah nama Allah (ketika hendak makan), makanlah dengan tangan kananmu dan makanlah (makanan) yang ada di depanmu”.[20]

Dalam hadits lain, Rasulullah pernah melarang cucu beliau , Hasan bin ‘Ali memakan kurma sedekah, padahal waktu itu Hasan masih kecil, Rasulullah bersabda: “Hekh hekh” agar Hasan membuang kurma tersebut, kemudian beliau bersabda: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa kita (Rasulullah dan keturunannya) tidak boleh memakan sedekah?”.[21]

Imam Ibnu Hajar menyebutkan di antara kandungan hadits ini adalah bolehnya membawa anak kecil ke mesjid dan mendidik mereka dengan adab yang bermanfaat (bagi mereka), serta melarang mereka melakukan sesuatu yang membahayakan mereka sendiri, (yaitu dengan) melakukan hal-hal yang diharamkan (dalam agama), meskipun anak kecil belum dibebani kewajiban syariat, agar mereka terlatih melakukan kebaikan tersebut. [22]

Memotivasi anggota keluarga dalam kebaikan juga dilakukan dengan mencontohkan dan mengajak anggota keluarga mengerjakan amal-amal kebaikan yang disyariatkan dalam Islam.
Rasulullah bersabda: “Semoga Allah merahmati seorang laki-laki yang bangun di malam hari lalu dia melaksanakan shalat (malam), kemudian dia membangunkan istrinya, kalau istrinya enggan maka dia akan memercikkan air pada wajahnya…”.[23]

Teladan baik yang dicontohkan seorang kepala keluarga kepada anggota keluarganya merupakan sebab, setelah taufik dari Allah untuk memudahkan mereka menerima nasehat dan bimbingannya. Sebaliknya, contoh buruk yang ditampilkannya merupakan sebab besar jatuhnya wibawanya di mata mereka.
Imam Ibnul Jauzi membawakan sebuah ucapan seorang ulama salaf yang terkenal, Ibrahim al-Harbi [24]

 . Dari Muqatil bin Muhammad al-‘Ataki, beliau berkata: Aku pernah hadir bersama ayah dan saudaraku menemui Abu Ishak Ibrahim al-Harbi, maka beliau bertanya kepada ayahku: “Mereka ini anak-anakmu?”. Ayahku menjawab: “Iya”. (Maka) beliau berkata (kepada ayahku): “Hati-hatilah! Jangan sampai mereka melihatmu melanggar larangan Allah, sehingga (wibawamu) jatuh di mata mereka”.[25]

5. Bersikap baik dan sabar dalam menghadapi perlakuan buruk anggota keluarganya
Seorang pemimpin keluarga yang bijak tentu mampu memaklumi kekurangan dan kelemahan yang ada pada anggota keluarganya, kemudian bersabar dalam menghadapi dan meluruskannya.
Ini termasuk pergaulan baik terhadap keluarga yang diperintahkan dalam firman Allah:
{ ﻭَﻋَﺎﺷِﺮُﻭﻫُﻦَّ ﺑِﺎﻟْﻤَﻌْﺮُﻭﻑِ ﻓَﺈِﻥْ ﻛَﺮِﻫْﺘُﻤُﻮﻫُﻦَّ ﻓَﻌَﺴَﻰ ﺃَﻥْ ﺗَﻜْﺮَﻫُﻮﺍ ﺷَﻴْﺌًﺎ ﻭَﻳَﺠْﻌَﻞَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻓِﻴﻪِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ }
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (QS an-Nisaa’: 19).
Rasulullah bersabda:
“Berwasiatlah untuk berbuat baik kepada kaum wanita, karena sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), dan bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atas, maka jika kamu meluruskannya (berarti) kamu mematahkannya, dan kalau kamu membiarkannya maka dia akan terus bemgkok, maka berwasiatlah (untuk berbuat baik) kepada kaum wanita”.[26]
Seorang istri bagaimanapun baik sifat asalnya, tetap saja dia adalah seorang perempuan yang lemah dan asalnya susah untuk diluruskan, karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, ditambah lagi dengan kekurangan pada akalnya.
Rasulullah bersabda:
“ ﺇﻥ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺧﻠﻘﺖ ﻣﻦ ﺿﻠﻊ ﻟﻦ ﺗﺴﺘﻘﻴﻢ ﻟﻚ ﻋﻠﻰ ﻃﺮﻳﻘﺔ ”
“Sesungguhnya perempuan diciptakan dari tulang rusuk (yang bengkok), (sehingga) dia tidak bisa terus-menerus (dalam keadaan) lurus jalan (hidup)nya”.[27]
Dalam hadits lain Rasulullah menyifati perempuan sebagai:
“… ﻧﺎﻗﺼﺎﺕ ﻋﻘﻞ ﻭﺩﻳﻦ ”
“…Orang-orang yang kurang (lemah) akal dan agamanya”.[28]
Maka seorang istri yang demikian keadaannya tentu sangat membutuhkan bimbingan dan pengarahan dari seorang laki-laki yang memiliki akal, kekuatan, kesabaran, dan keteguhan pendirian yang melebihi perempuan [29].
Oleh karena itulah, Allah menjadikan kaum laki-laki sebagai pemimpin dan penegak urusan kaum perempuan.
Seorang laki-laki yang beriman tentu akan selalu menggunakan pertimbangan akal sehatnya ketika menghadapi perlakuan kurang baik dari orang lain, untuk kemudian dia berusaha menasehati dan meluruskannya dengan cara yang baik dan bijak, terlebih lagi jika orang tersebut adalah orang yang terdekat dengannya, yaitu istri dan anak-anaknya.
Rasulullah bersabda:
“Janganlah seorang lelaki beriman membenci seorang wanita beriman, kalau dia tidak menyukai satu akhlaknya, maka dia akan meridhai/menyukai akhlaknya yang lain”.[30]
6. Selalu mendoakan kebaikan bagi anak dan istrinya
Termasuk sifat hamba-hamba Allah yang beriman adalah selalu mendoakan kebaikan bagi dirinya dan anggota keluarganya.
Allah berfirman:
{ ﻭَﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻘُﻮﻟُﻮﻥَ ﺭَﺑَّﻨَﺎ ﻫَﺐْ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺃَﺯْﻭَﺍﺟِﻨَﺎ ﻭَﺫُﺭِّﻳَّﺎﺗِﻨَﺎ ﻗُﺮَّﺓَ ﺃَﻋْﻴُﻦٍ ﻭَﺍﺟْﻌَﻠْﻨَﺎ ﻟِﻠْﻤُﺘَّﻘِﻴﻦَ ﺇِﻣَﺎﻣًﺎ }
“Dan orang-orang yang berkata: “Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk hati (kami), dan jadikanlah kami imam (panutan) bagi orang-orang yang bertakwa”.
(QS al-Furqaan: 74).
Dalam hadits yang shahih, ketika Rasulullah menjelaskan tentang kewajiban seorang suami terhadap istrinya, diantaranya: “…Dan tidak mendokan keburukan baginya”.[31]
Maka kepala keluarga yang ideal tentu akan selalu mengusahakan dan mendoakan kebaikan bagi anggota keluarganya, istri dan anak-anaknya, bahkan inilah yang menjadi sebab terhiburnya hatinya, yaitu ketika menyaksikan orang-orang yang dicintainya selalu menunaikan ketaatan kepada Allah.[32]
Penutup
Demikianlah, semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi motivasi bagi orang-orang yang beriman, khusunya para kepala keluarga, untuk menghiasi dirinya dengan akhlak yang terpuji ini, untuk menjadikan mereka meraih kemuliaan dan kebahagiaan sejati di dunia dan akhirat bersama anggota keluarga mereka, dengan taufik dari Allah.
ﻭﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻭﺑﺎﺭﻙ ﻋﻠﻰ ﻧﺒﻴﻨﺎ ﻣﺤﻤﺪ ﻭﺁﻟﻪ ﻭﺻﺤﺒﻪ ﺃﺟﻤﻌﻴﻦ، ﻭﺁﺧﺮ ﺩﻋﻮﺍﻧﺎ ﺃﻥ ﺍﻟﺤﻤﺪ ﻟﻠﻪ ﺭﺏ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻴﻦ
Kota Kendari, 9 Rajab 1434 H
Abdullah bin Taslim al-Buthoni
Footenote :
[1] HR at-Tirmidzi (no. 3895) dan Ibnu Hibban (no. 4177), dinyatakan shahih oleh Imam at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Syaikh al-Albani.
[2] Lihat kitab “Tuhfatul ahwadzi” (4/273).
[3] Kitab “Faidul Qadiir” (3/498).
[4] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (1/653) dan “Taissirul kariimir Rahmaan” (hal. 177)..
[5] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/169) dan “Taissirul kariimir Rahmaan” (hal. 496).
[6] Lihat kitab “Fathul Qadiir” (4/131).
[7] Dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/439).
[8] Tafsir Ibnu Katsir (4/489).
[9] HR at-Tirmidzi (no. 2516), Ahmad (1/293) dan lain-lain, dinyatakan shahih oleh imam at-Tirmidzi dan syaikh al-Albani dalam “Shahihul jaami’ish shagiir” (no. 7957).
[10] Lihat penjelasan Ibnu Rajab al-Hambali dalam “Jaami’ul uluumi wal hikam” (hal. 229).
[11] Ibid (hal. 233).
[12] Ibid.
[13] HR Abu Dawud (no. 2142) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[14] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).
[15] HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.
[16] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam “al-Mustadrak” (2/535), dishahihkan oleh al-Hakim sendiri dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
[17] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 640).
[18] HSR al-Bukhari (no. 602).
[19] HSR al-Bukhari (no. 2278) dan Muslim (no. 1829).
[20] HSR al-Bukhari (no. 5061) dan Muslim (no. 2022).
[21] HSR al-Bukhari (no. 1420) dan Muslim (no. 1069).
[22] Fathul Baari (3/355).
[23] HR Abu Dawud (no. 1308) dan Ibnu majah (no. 1336), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[24] Beliau adalah Imam besar, penghafal hadits, Syaikhul Islam Ibrahim bin Ishak bin Ibrahim bin Basyir al-Baghdadi al-Harbi (wafat 285 H), biografi beliau dalam “Siyaru a’alamin nubala’” (13/356).
[25] Kitab “Shifatush shafwah” (2/409).
[26] HSR al-Bukhari (no. 3153) dan Muslim (no. 1468).
[27] HSR Muslim (no. 1468).
[28] HSR al-Bukhari (no. 298) dan Muslim (no. 132).
[29] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 101).
[30] HSR Muslim (no. 1469).
[31] HR Abu Dawud (no. 2142) dan dinyatakan shahih oleh Syaikh al-Albani.
[32] Sebagaimana yang telah kami nukil di atas tentang makna ayat ini.
Bagi yang ingin share, copy ataupun copas silahkan, semoga bermanfaat.