Memanfaatkan usia sehat dan karunia waktu yang Allah berikan dengan mempelajari ilmu-ilmu syariat yang bersumber dari manusia terbaik dengan kesungguhan dan totalitas merupakan aktivitas yang utama. Adalah Al-Imam Abu Abdillah Al-Bukhari, seorang imam yang telah mencuplik secercah cahaya Al-Kitab dan As-Sunnah yang kemudian beliau kumpulkan di dalam kitabnya Shahih Al-Jami’ yang kemudian populer dengan Shahih Al-Bukhari.
Memahami kitab ini akan lebih sempurna dan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya bila dilengkapi dengan kitab-kitab yang menjelaskan maksud-maksud, faidah-faidah, kaidah-kaidah yang dipakai penulis, gaya bahasa penulisan dan lain sebagainya. Terlebih kitab Shahih Al-Bukhari bisa diibaratkan makanan setengah matang. Karena di dalamnya terdapat hadits-hadits yang nasikh dan mansukh, umum dan khusus sehingga membutuhkan keterangan ulama yang memang ahli di banyak bidang ilmu syariat.
Dengan metode ini, syariat yang dibawa oleh Rasulullah yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dan shalih (cocok) untuk segala jaman dan tempat, dapat tersebar, dan bukan sekedar kitab yang sulit diaplikasikan di alam nyata. Nampaknya pesan inilah yang hendak disampaikan oleh Ahmad Bin ‘Ali Bin Muhammad Bin Muhammad Bin ‘Ali Al-Asqalani.
Beliau lebih dikenal dengan nama Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang ahli hadits, mufti dan hakim agung di Mesir. Kitab syarah (penjelasan) Shahih Al-Bukhari hasil tulisannya merupakan kitab syarah Shahih Al-Bukhari terbagus dari sekian kitab syarah lainnya dan dianggap mahkota karya-karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mencapai 150 judul baik yang besar maupun yang kecil.
Penulis kitab Kasyfuz Zhunun, Musthafa Bin Abdullah Al-Qisthanthini Ar-Rumi seorang ‘Alim bermahdzab Hanafi (wafat tahun 1067 M) menyebutkan, “Kitab syarah Al-Bukhari yang paling agung adalah kitab Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari[1] karya Ibnu Hajar. Mukadimahnya mencakup 10 pasal yang ia namakan Hadyus Sari. Keistimewaan, keajaiban, dan kepopuleran kitabnya disebabkan cakupan faidah-faidah dan hukum-hukum fiqhiyyah yang sulit diilustrasikan. Terlebih pembahasan sisi sanad hadits sangat luas dan mendalam.”
Begitu menjiwai dan menjelaskan kitab Shahih Al-Bukhari menjadikan pembacanya seolah-olah melihat Ibnu Hajar yang bermahdzab Syafi’i, hidup sejaman dengan Al-Bukhari, duduk di depannya, mendengarkan pelajarannya, mendengar hadits lalu menyerap, mengetahui ilmu-ilmu, sanad-sanad yang shahih dan lemah, serta hikmah-hikmah hadits.
Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah dalam kitabnya Ijabatus Sail menganjurkan para pencari ilmu mempelajarinya. Meskipun kitab ini tidak dianjurkan dibaca bagi pencari ilmu yang pemula namun keberadaanya sangat penting karena dibutuhkan oleh ummat Islam dalam memahami As Sunnah sebagai jalan hidup mereka.
Sunnatullah berlaku, selain Al Qur’an tak ada satu kitab pun karya manusia yang sempurna. Demikian juga dengan Fathul Bari. Pembaca kitab ini mesti berhati-hati manakala menjumpai pembahasan nama-nama dan sifat-sifat Allah agar tidak terjerumus ke dalam metodologi takwil (menafsirkan tidak sesuai dengan teks lafadznya) yang diadopsi penulisnya dari kaidah Asy’ariyyah yang telah ditinggalkan oleh Abul Hasan Al Asy’ary si pencetusnya sendiri, yang tentunya tidak sesuai dengan manhaj salaf.
Wallahu a’lam
Memahami kitab ini akan lebih sempurna dan sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya bila dilengkapi dengan kitab-kitab yang menjelaskan maksud-maksud, faidah-faidah, kaidah-kaidah yang dipakai penulis, gaya bahasa penulisan dan lain sebagainya. Terlebih kitab Shahih Al-Bukhari bisa diibaratkan makanan setengah matang. Karena di dalamnya terdapat hadits-hadits yang nasikh dan mansukh, umum dan khusus sehingga membutuhkan keterangan ulama yang memang ahli di banyak bidang ilmu syariat.
Dengan metode ini, syariat yang dibawa oleh Rasulullah yang bersifat rahmatan lil ‘alamin dan shalih (cocok) untuk segala jaman dan tempat, dapat tersebar, dan bukan sekedar kitab yang sulit diaplikasikan di alam nyata. Nampaknya pesan inilah yang hendak disampaikan oleh Ahmad Bin ‘Ali Bin Muhammad Bin Muhammad Bin ‘Ali Al-Asqalani.
Beliau lebih dikenal dengan nama Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang ahli hadits, mufti dan hakim agung di Mesir. Kitab syarah (penjelasan) Shahih Al-Bukhari hasil tulisannya merupakan kitab syarah Shahih Al-Bukhari terbagus dari sekian kitab syarah lainnya dan dianggap mahkota karya-karya Ibnu Hajar Al-Asqalani yang mencapai 150 judul baik yang besar maupun yang kecil.
Penulis kitab Kasyfuz Zhunun, Musthafa Bin Abdullah Al-Qisthanthini Ar-Rumi seorang ‘Alim bermahdzab Hanafi (wafat tahun 1067 M) menyebutkan, “Kitab syarah Al-Bukhari yang paling agung adalah kitab Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari[1] karya Ibnu Hajar. Mukadimahnya mencakup 10 pasal yang ia namakan Hadyus Sari. Keistimewaan, keajaiban, dan kepopuleran kitabnya disebabkan cakupan faidah-faidah dan hukum-hukum fiqhiyyah yang sulit diilustrasikan. Terlebih pembahasan sisi sanad hadits sangat luas dan mendalam.”
Begitu menjiwai dan menjelaskan kitab Shahih Al-Bukhari menjadikan pembacanya seolah-olah melihat Ibnu Hajar yang bermahdzab Syafi’i, hidup sejaman dengan Al-Bukhari, duduk di depannya, mendengarkan pelajarannya, mendengar hadits lalu menyerap, mengetahui ilmu-ilmu, sanad-sanad yang shahih dan lemah, serta hikmah-hikmah hadits.
Asy-Syaikh Muqbil Rahimahullah dalam kitabnya Ijabatus Sail menganjurkan para pencari ilmu mempelajarinya. Meskipun kitab ini tidak dianjurkan dibaca bagi pencari ilmu yang pemula namun keberadaanya sangat penting karena dibutuhkan oleh ummat Islam dalam memahami As Sunnah sebagai jalan hidup mereka.
Sunnatullah berlaku, selain Al Qur’an tak ada satu kitab pun karya manusia yang sempurna. Demikian juga dengan Fathul Bari. Pembaca kitab ini mesti berhati-hati manakala menjumpai pembahasan nama-nama dan sifat-sifat Allah agar tidak terjerumus ke dalam metodologi takwil (menafsirkan tidak sesuai dengan teks lafadznya) yang diadopsi penulisnya dari kaidah Asy’ariyyah yang telah ditinggalkan oleh Abul Hasan Al Asy’ary si pencetusnya sendiri, yang tentunya tidak sesuai dengan manhaj salaf.
Wallahu a’lam
Catatan kaki:
[1] Dalam penukilan para Ulama, terkadang disebut secara ringkas dengan AL-FATH atau AL-FATHU
[1] Dalam penukilan para Ulama, terkadang disebut secara ringkas dengan AL-FATH atau AL-FATHU
Sumber: Majalah Asy Syariah halaman 48
Vol I/No.40/Desember 2003/Syawwal 1424 H
Judul Asli: “Fathul Bari Mahkota Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah”
Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim
Vol I/No.40/Desember 2003/Syawwal 1424 H
Judul Asli: “Fathul Bari Mahkota Ibnu Hajar Al Asqalani Rahimahullah”
Penulis: Al Ustadz Ahmad Hamdani Ibnu Muslim