Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah menerangi hatimu dengan petunjuk-, sesungguhnya pahala yang besar dan kebaikan yang luas, yang Allah janjikan kepada hamba-hamba-Nya hanya dapat dicapai oleh orang yang melakukannya dengan penuh keimanan dan mengharap pahala.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
Setiap amalan itu pasti mempunyai permulaan dan tujuan akhir. Suatu amalan tidak akan menjadi ketaatan sampai di dasarkan atas keimanan, maka keimanan adalah pembangkitnya, bukan ada, bukan hawa nafsu, bukan pula karena mencari pujian dan kedudukan, dan sebagainya.
Tapi, permulaannya harus berasal dari iman, dan tujuan akhirnya adalah pahala Allah Ta'ala, serta mengharapkan keridhaan-Nya, yaitu al-ihtisab (mengharap pahala).
Oleh karena itu, dua perkara tersebut seringkali disandingkan, seperti dalam sabda Nabi,Barangsiapa yang berupasa Ramadhan dengan penuh keimana dan ihtisab (mengharap pahala)... 1
Barangsiapa yang bangun pada malam Lailatul Qadar dengan penuh keimanan dan ihtisab ... 2dan (hadits) yang semisalnya. 3
Hati para hamba berada di antara dua jari ar-Rahman, Dia membolak-balikkan sesuai dengan kehendaknya. Ya Allah, tetapkanlah hati kami di atas agama-Mu. Terkadang, seseorang dihampiri aral yang merintangi dari maksudnya yang ikhlas, maka ia terhalang dari pahala dan dijanjikan tanpa ia sadari, karena pahala itu hanya diberikan atas amalan yang ikhlas saja.
Orang yang memperhatikan sirah (perikehidupan) Salafus Shalih dari perkataan dan perbuatan mereka, ia akan melihat bahwa mereka dalam rasa takut (khauf) dan berharap (raja').
Rabb seluruh makhluk, Allah subhanahu wa ta'ala, berfirman mensifati sebaik-baik makhluk (Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam):
Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati karena takut akan (adzab) Rabb mereka, dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Rabb mereka, dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Rabb mereka (dengan sesuatu apapun), dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Rabb mereka. (QS. Al-Mu'minuun: 57-60).
Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata, "Aku bertanya kepada Rasulullah tentang ayat ini,Dan orang-orang yang memberikan ayat yang telah mereka berikan dengan hati yang takut ...'Aisyah berkata, "Apakah mereka orang-orang yang minum arak dan mencuri?" Beliau menjawab,Tidak wahai puteri Ash-Shiddiq, tapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, melaksanakan shalat, dan bershadaqah, sedangkan mereka merasa takut amalan-amalan itu tidak diterima. Mereka itu adalah orang-orang yang bersegera dalam kebaikan. 4
Allah menyebutkan kaum mukminin yang bersegera dalam kebaikan dengan sifat yang paling baik, walaupun mereka senantiasa takut amalan mereka tidak diterima.
Rahasianya bukan karena khawatir Allah tidak memberikan pahala kepada mereka, sekali-kali tidak!! Karena Allah tidak pernah mengingkari janji-Nya.
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang shalih, maka Allah akan memberikan kepada mereka pahala amalan-amalan mereka dengan sempurna. (QS. Ali 'Imran: 57).
Bahkan Allah menambahkan untuk mereka karunia, kebaikan dan nikmat-Nya:
Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya ... (QS. Al-Fathir: 30).
Tapi, karena mereka merasa takut belum melaksanakan (amalan-amalan)nya sesuai dengan syarat-syarat ibadah sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah, maka mereka tidak bisa memastikan bahwa mereka telah melaksanakannya sesuai dengan keinginan Allah, tapi mereka mengira telah melakukan kekurangan dalam hal tersebut.
Oleh karena itu mereka merasa takut amalan mereka tidak diterima, maka mereka pun berlomba-lomba dalam kebaikan dan amal shalih. Maka, hendaknya seorang hamba memperhatikan ini, mudah-mudahan dapat menambah semangat untuk memperbaiki ibadah dan meluruskan amalan dengan cara ikhlas semata-mata karena Allah dan mengikuti Rasulullah.
Para sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merasa khawatir amalan-amalan mereka batal tanpa disadari, hal ini termasuk bagian dari kesempurnaan iman mereka. Firman Allah Ta'ala:
.. Tidaklah yang merasa aman dari adzab Allah, kecuali orang-orang yang merugi. (QS. Al-A'raaf: 99).
'Abdullah bin 'Ubaidillah bin Abi Mulaikah, seorang yang tsiqah lagi faqih berkata,
Aku mendapati 30 sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, semuanya merasa takut kemunafikan menimpa diri mereka, tidak ada seorangpun dari mereka berkata imannya seperti keimanan (malaikat) Jibril dan Mikail. 5
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari (I/110-111):
Para sahabat yang didapati oleh Ibnu Abi Mulaikah yang paling utama adalah 'Aisyah, saudaranya yaitu Asma', Ummu Salamah, 'Abdullah bin 'Umar, 'Abdullah bin 'Abbas, 'Abdullah bin Mas'ud, dan 'Abdullah bin Az-Zubair, Abu Hurairah, 'Uqbah bin Al-Harits dan Al-Musawwar bin Makhramah. Mereka adalah para sahabat yang ia dengar haditsnya.
Ia juga mendapati Sahabat lain yang lebih utama dari mereka, seperti 'Ali bin Abi Thalib dan Sa'ad bin Abi Waqqash. Ia memastikan bahwa mereka merasa takut (munculnya) kemunafikan dalam amalan-amalan mereka. Dan tidak ada nukilan dari selain mereka yang menyalahi itu, seakan-akan ini adalah ijma'.
Yang demikian itu karena seorang mukmin terkadang ditimpa rintangan yang mengotori amalnya, sehingga membuatnya tidak ikhlas, namun rasa takut mereka dalam perbuatan tersebut, tapi hanya menunjukkan kelebihan mereka dalam wara' dan ketakwaan. Radhiyallahu 'anhum.
Sungguh benar apa yang dikatakan al-Hafidz tadi, generasi Rabbani itu telah berjuang melawan hawa nafsunya karena Allah, sehingga mereka pun dekat kepada Allah berlipat-lipat dari amalan orang selain mereka.
Mereka -para shiddiqin- selalu melihat kepada hak Allah yang wajib mereka tunaikan, maka Allah pun memberikan (kenikmatan) berupa rasa penyesalan terhadap diri mereka (karena mereka merasa belum memenuhi hak-hak Allah dengan sempurna), mereka mengetahui bahwa keselamatan hanya dapat dicapai dengan ampunan Allah dan rahmat-Nya. Karena hak Allah adalah untuk ditaati dan bukan dimaksiati, untuk diingat dan tidak dilupakan serta untuk disyukuri dan tidak dikufuri.
Maka, barangsiapa yang selalu melihat hak Penciptanya yang wajib dilakukannya, ia akan tahu secara yakin bahwa ia belum dapat melaksanakannya sebagaimana mestinya. Tidak ada yang dapat menyelamatkannya kecuali ampunan-Nya, ia merasa akan celaka bila hanya bersandar pada amalannya saja.
Inilah tempat melihatnya orang-orang yang ikhlas demi Allah semata, dan inilah yang mewariskan rasa putus asa kepada dirinya, ia hanya menggantungkan seluruh pengharapannya kepada ampunan Allah dan rahmat-Nya.
Akan tetapi sungguh sangat disayangkan, jika orang yang bijaksana memperhatikan keadaan manusia di zaman ini, ia mendapati kenyataan yang berlawanan dengan hal tersebut. Mereka hanya menuntut hak mereka kepada Allah dan tidak mau memenuhi hak Allah atas mereka.
Dari situlah, mereka telah terputus asa dari Allah, hati mereka telah tertutup untuk mengenal, mencintai, merasakan kerinduan untuk bertemu dengan-Nya dan bersyukur terhadap nikmat-Nya. Ini adalah puncak kebodohan manusia terhadap Allah dan terhadap dirinya.
Ketahuilah -mudah-mudahan Allah merahmatimu- bahwa modal utama perdagangan yang tidak akan merugi adalah seorang hamba yang senantiasa melihat kepada hak Allah, kemudian melihat, apakah ia telah melaksanakannya dengan benar. Karena hal itu akan membawa seorang hamba kepada kedudukan para shiddiqin yang Rabbani yang menundukkan hatinya di hadapan Rabb-nya, ketundukan yang di dalamnya terdapat kemuliaan, yang merasa fakir kepada Allah, kefakiran yang di dalamnya terdapat kekayaan.
Ya Allah, inilah hati kami di hadapan-Mu, amalan kami tidak pernah tersembunyi dari-Mu, maka tetapkanlah -ya Allah- hati kami di atas jalan-Mu yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka dari para Nabi, para shiddiq, para syahid dan orang-orang yang shalih. Merekalah sebaik-baik teman.
Disalin dari kitab "Mubthilaatul A'maal fii Dhau-il Qur'aanil Kariim was Sunnah ash-Shahiihah al-Muthahharah"oleh Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali, Edisi Indonesia, "Penyebab Rusaknya Amal Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang Shahih" Pustaka Imam Syafi'i hal. 7 - 17.
Catatan Kaki
- ...1
- HR. Bukhari (2014), dan Muslim (760) dari Abu Hurairah.
- ...2
- Ibid.
- ...3
- Risaalah Tabuukiyah (hal. 45-46 dengan tahqiq Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali).
- ...4
- Hasan dengan syawahidnya. Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (3175), Ahmad (VI/159, 205) dan Al-Hakim(III/393-394) dari jalan Malik bin Mighwal dari 'Abdurrahman bin Sa'id bin Wahb, dari 'Aisyah.Al-Hakim berkata, "Hadits ini sanadnya shahih." Dan Adz-Dzahabi menyetujuinya. (Demikian secara ringkas dari catatan kaki di buku "Penyebab Rusaknya Amal" oleh Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali -red. vbaitullah).
- ...5
- Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu'allaq (tanpa sanad) I/109-Fathul Bari dan disambung(sanadnya) oleh Abu Zur'ah Ar-Razi dalam Taarikh Dimasyqi (1367) secara ringkas.
Disalin dari kitab "Mubthilaatul A'maal fii Dhau-il Qur'aanil Kariim was Sunnah ash-Shahiihah al-Muthahharah"oleh Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali, Edisi Indonesia, "Penyebab Rusaknya Amal Menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah yang Shahih" Pustaka Imam Syafi'i hal. 7 - 17.