Al Ustadz Abdul Bar Kaisinda
Maha Suci Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya sebagaimana Allah telah berfirman dalam Al Qur’an (yang artinya), "Pada hari ini Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian" (QS Al Maidah:3)
Maka
dipahami dari ayat tersebut bahwasanya Islam itu agama yang sempurna,
tidak ada perkara yang bisa mendekatkan kepada Allah melainkan sudah ada
keterangannya. Dan diantara permasalahan-permasalahan yang telah Allah
jelaskan adalah permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
pembatal-pembatal wudhu, maka tidak boleh seseorang menetapkan sesuatu
hal sebagai pembatal wudhu kecuali harus berdasarkan dengan dalil dari
Al Qur’an ataupun As Sunnah.
Berikut ini kami akan membawakan beberapa permasalahan yang dianggap sebagai pembatal wudhu padahal tidak demikian, diantaranya:
1. AL ISTIHADHAH
Berkata
Al Imam An Nawawi Rahimahullah , "Al Istihadhah adalah keluarnya darah
dari kemaluan wanita bukan pada waktunya (bukan pada waktu menstruasi
dan bukan pada saat melahirkan) yang darah tersebut keluar dari urat
yang bernama adzil, berbeda dengan haidh, karena haid keluar dari dalam rahim" Lihat Syarh Shahih Muslim (4-16)
Dalam kesempatan yang ringkas ini kita akan membawakan 2 hukum yang berkaitan dengan istihadhah.
Masalah
pertama adalah tidak diwajibkannya bagi wanita yang terkena istihadhah
untuk mandi setiap hendak shalat, kecuali pada saat berhenti haidnya
maka diwajibkan untuk mandi sekali saja. Ini adalah pendapat kebanyakan
ulama bahwa seorang wanita yang terkena istihadhah tidak wajib baginya
untuk mandi setiap shalat sebagaimana hadits ‘Aisyah Radhiyallahu ‘Anha
(yang artinya), "Telah berkata Fatimah bintu Abi Ubaisy, "Wahai
Rasulullah Aku terkena Istihadhah dan tidak suci darinya apakah aku
boleh meninggalkan sholat?" Berkata Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi
Wasallam, "Tidak, itu adalah darah yang keluar dari urat (bukan
darah dari rahim, darah haidh atau nifas) akan tetapi engkau boleh
meninggalkan shalat di hari-hari haidmu kemudian mandilah dan shalatlah
(setelah haidmu selesai)" ". Lihat Shahih Al Bukhary (325).
Dan
kita lihat bahwasanya Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam tidak
memerintahkan untuk mandi setiap shalat. Berkata Imam Asy Syaukani
Rahimahullah, "Pendapat kebanyakan ulama adalah pendapat yang benar,
bahwasanya tidak wajib untuk mandi (setiap shalat) kecuali ketika
haidnya selesai dikarenakan tidak ada dalil yang shahih (yang mewajibkan
harus mandi setiap shalat)". Lihat Nail Al Authar (jilid 1 hal:261).
Demikian
juga telah berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Rahimahullah, "Adapun riwayat
yang disitu Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan untuk
mandi setiap shalat maka periwayatan tersebut telah diingkari oleh
ulama’ ahlul hadits".
Adapun riwayat yang shahih adalah Ummu Habibah binti Jahsy Radhiyallahu ‘Anha sendirilah yang mandi setiap hendak shalat.
Maka
telah berkata Al Imam Asy Syafi’i Rahimahullah, "Rasulullah Sholallahu
‘Alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk mandi dan sholat dan tidaklah
Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkan padanya untuk
mandi setiap sholat". Demikian juga dinukil perkataan yang sama dari
Sufyan Bin Uyainah juga Laits Bin Sa’d. Lihat Fath Al Baari (jilid 1 halaman 535) dan Syarh Shahih Muslim (jilid 4 halaman 18)
Pendapat
ini pendapat yang benar, yang diriwayatkan dari Ali Bin Mas’ud, Ibnu
‘Abbas, ‘Aisyah, Urwah Bin Zubair, Abi Salamah, Malik, Abi Hanifah, Asy
Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini juga dikatakan oleh Al Imam An Nawawi,
Al Hafidz Ibnu Hajar, Al Imam Asy Syaukani, Asy Syaikh Muhammad Bin
Ibrahim Alu Asy Syaikh. Lihat Jami’ Ahkam Al Qur’an (jilid 2 no 77), Al Ihkam (No 192), Ainul Ma’bud (Jilid 1 No 333), Subul As Salaam (Jilid 1 no 160).
Tidak
juga diwajibkan bagi wanita yang terkena istihadhah untuk wudhu setiap
kali hendak sholat, maka bila telah berwudhu boleh baginya untuk untuk
sholat dengan wudhu tersebut lebih dari satu kali sholat selama tidak
berhadats selain darah istihadhah (semisal buang air besar, jima’, atau
buang angin). Adapun darah istihadhah tidak membatalkan wudhu.
Ini
adalah pendapat yang lebih kuat daripada yang mewajibkan untuk wudhu
setiap kali sholat. Karena tidak ada dalil shahih yang mewajibkan untuk
berwudhu setiap kali sholat.
Adapun hadits yang
memerintahkan untuk berwudhu setiap kali hendak sholat adalah hadits
lemah yangtelah diingkari oleh imam-imam ahli hadits, diantaranya Al
Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya, tatkala
berkata, "Di periwayatan Hammad Bin Zaid ada tambahan (perintah berwudhu
setiap kali sholat) sengaja kami tidak sebutkan". Syarah Shahih Muslim (4/19).
Perkataan Imam Muslim Rahimahullah tersebut merupakan isyarat dari
beliau bahwa periwayatan tersebut tidak shahih atau lemah. Hal ini
perkara-perkara yang dipahami oleh orang-orang yang memperhatikan
kebiasaan Imam Muslim Rahimahullah dalam Shahih-nya.
Mengingat
kesempatan yang sedikit mungkin ada baiknya kalau kita bawakan
bukti-bukti yang menguatkan hal itu di kesempatan yang lain. Dan hal ini
juga dipahami oleh Al Hafidz Ibnu Hajar bahwasanya hadits ini dianggap
lemah oleh Al Imam Muslim, walaupun Al Hafidz tidak sependapat dengan Al
Imam Muslim dalam hal ini. Lihat Al Fathu AL Baari (1/512)
Demikian
juga Al Imam An Nasa’i Rahimahullah mengatakan bahwa periwayatan yang
memerintahkan untuk berwudhu setiap hendak sholat tidaklah shahih.
Demikian juga Abu Daud dalam Sunan-nya, "Hadits ‘Adi
Bin Tsabit dan al A’masy dan Habib dan Ayub Abi Al ‘Ala semuanya lemah
tidak shahih". Kemudian Beliau berkata, "Telah meriwayatkan Ibnu Abi
Daud dari Al A’masy marfu’ awalnya kemudian ia ingkari hadits yang
mewajibkan wudhu setiap sholat". Lihat Ainul Ma’bud (1/337)
KESIMPULAN: Tidak
wajib bagi perempuan yang terkena istihadhah untuk berwudhu setiap kali
hendak sholat dan darah istihadhahnya bukanlah pembatal wudhu. Pendapat
ini adalah pendapat Imam Rabiah, Imam Malik, Dawud, dan merupakan
pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, sebagaimana
yang tersebut dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah (hal. 27)
2. MENYENTUH WANITA
Telah
terjadi perbedaan pendapat di kalang an ulama dalam masalah ini menjadi
lima pendapat sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Imam Qurtubi
dalam Jami Li Ahkamil Qur’an (3-199). Akan tetapi bisa dikatakan pendapat yang mahsyur ada 3 pendapat. Lihat Majmu’ Al Fatawa (21-230)
Pendapat pertama:
Menyentuh perempuan membatalkan wudhu secara mutlak (terangsang ataupun
tidak terangsang) dengan syahwat atau tidak dengan syahwat. Mereka
berdalil dengan ayat dalam Al Qur’an (yang artinya), "Atau bila kalian menyentuh perempuan dan kalian tidak mendapatkan air maka bertayamumlah" (QS An Nisaa’:43). Lihat Nailul Authar (1-213). Ayat tersebut sepintas menunjukkan apabila menyentuh perempuan dapat membatalkan wudhu.
Pendapat kedua: Menyentuh
wanita dapat membatalkan wudhu apabila disertai dengan syahwat. Mereka
juga berdalil dengan ayat di atas sebagaimana perkataan Ibnu Al Arabi
dalam Ahkamul Qur’an (1-223) sebagaimana yang dinukil oleh Al Imam Al Qurtubi dalam Jami’ Ahkam Al Qur’an (3-200) bahwasanya perkataan Allah "Atau bila kalian menyentuh perempuan" bermakna menyentuh dan mencium.
Pendapat ketiga: Menyentuh
wanita tidaklah membatalkan wudhu baik dengan syahwat maupun tidak,
selama tidak keluar sesuatu dari kemaluannya (mani atau madzi). Pendapat
inilah yang diperkuat oleh Ali, Ibnu Abbas, Atha’, Thawus, Abu Hanifah,
Sufyan Ats Tsauriy, dan lainnya. Lihat Ainul Ma’bud (1-2)
Berkata
Al Imam Ibnu Jarir Ath Thabari sebagaimana dinukil oleh Ibnu Katsir,
"Pendapat yang paling benar dalam permasalahan ini adalah pendapat yang
mengatakan bahwasanya yang dikehendaki Allah Ta’ala dari perkataan-Nya, "Atau apabila kalian menyentuh perempuan"
maksudnya adalah jima’ (hubungan suami istri -red) bukan yang lain dari
makna tersebut karena telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu
‘Alaihi Wasallam mencium istri kemudian sholat dan tidak mengulangi
wudhunya". Lihat Tafsir Ibnu Katsir (1-516).
Berkata
Asy Syaikh Muhammad Bin Shalih Al Utsaimin Rahimahullah, "Pendapat yang
benar adalah menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu secara
mutlak kecuali jika keluar dari kemaluannya sesuatu. Dalilnya bahwa
telah ada hadits dari Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam bahwasanya
beliau mencium istrinya kemudian Sholat tanpa mengulangi wudhunya.
Selain itu tidaklah sesuatu itu bisa dianggap sebagai pembatal wudhu
kecuali ada dalil yang shahih yang menunjukkan dengan jelas bahwa hal
tersebut pembatal wudhu, dikarenakan seseorang yang yang telah berwudhu
dengan mengikuti dalil syar’i maka tidak ada yang membatalkannya kecuali
dengan keterangan dalil syar’i yang lain. Adapun firman Allah Ta’ala, "Atau apabila kalian menyentuh perempuan"
maksudnya adalah jima’ (melakukan hubungan suami istri) sebagaiman
ditafsirkan oleh Ibnu Abbas, kemudian yang lebih memperkuat pendapat ini
adalah ayat tersebut menjelaskan tentang pembagian (yang serasi) dari
ayat Al Qur’an yaitu pembagian bersuci dengan thaharah yang asli (wudhu)
dan thaharah pengganti (tayammum) kemudian pembagian yang serasi
tentang bersuci dari hadats besar dan sebab-sebab untuk bersuci dari
hadats kecil". Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (59)
KESIMPULAN:
Pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang mengatakan
"menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu dengan syahwat ataupun
tidak dengan syahwat kecuali kalau keluar sesuatu dari kemaluannya (mani
atau madzi)"
Hal tersebut dikarenakan tidak
adanya dalil yang mengharuskan untuk bersuci setelah menyentuh
perempuan. Adapun ayat pada surat An Nisaa’ maknanya adalah "melakukan
hubungan suami istri" sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ibnu Abbas yang
telah didoakan oleh Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam agar Allah
memberikan kepada Ibnu Abbas pemahaman tentang ilmu tafsir Al Qur’an.
Dan diperkuat lagi oleh hadits Shahih Muslim dari
Aisyah Radhiyallahu ‘Anha bahwasanya dia berkata, "Aku letakkan tanganku
di telapak kaki Rasulullah Sholallahu ‘Alaihi Wasallam (yang sedang
sholat)"
Berkata Imam Asy Syaukani, "Hadits ini menunjukkan bahwa menyentuh perempuan tidaklah membatalkan wudhu". Lihat Nail Authar (1-25). Pendapat ini juga diambil oleh Syaikhul Islam pada kesempatannya yang terakhir sebagaimana tertera dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (hal: 28)
3. MIMISAN
Adapun
duapendapat dikalangan ulama yang mempermasalahkan ini: Ada yang
mengatakan "Mimisan merupakan salah satu pembatal wudhu." Mereka
berdalil dengan hadits Aisyah yang dikeluarkan oleh Ibnu Majah (bab 137
hadits 1222) dan dikeluarkan oleh Al Imam Ad Daruquthni dan Al Imam
Ahmad (yang artinya), "Barangsiapa yang muntah atau mimisan atau keluar sisa makanan dari kerongkongan atau madzi maka hendaklah ia berwudhu."
Adapun
sebagian ulama yang lain berpendapat "mimisan tidak membatalkan wudhu."
Pendapat ini adalah pendapat Ibnu Abbas, Malik As Syarif, Ibnu Abi
Aufa, Abu Hurairah, Jabir bin Zaid, Ibnu Al Musayyab, Makhul dan
Rabi’ah. Lihat Nail Authar (1/206).
Pendapat yang kedua (mimisan tidak membatalkan wudhu) adalah pendapat yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam sebagaimana dalam Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyah
(hal 28). Selain itu juga dikuatkan oleh Al Imam Asy Syaukani. Beliau
berkata, "Tidaklah pantas untuk mengatakan bahwa darah atau muntah
sebagai pembatal wudhu kecuali jika ada dalil yang menunjangnya dan
memastikan kewajiban (wajib wudhu dari mimisan atau muntah) sebelum
mengetahui kebenaran dalilnya, sama sepertu memastikan keharaman sebelum
mengetahui kebenaran dalil yang mengharamkan. Semua itu adalah
menyandarkan kepada Allah suatu perkataan padahal Allah tidak
mengatakannya". Lihat Nail Al Authar (1-207)
Berkata
Asy Syaikh Abdurrahman As Sa’di, "Pendapat yang benar adalah darah dan
muntah dan yang semisalnya (sesuatu yang keluar dari tubuh manusia yang
bukan dari kemaluan dan anus) tidak membatalkan wudhu banyak atau
sedikit karena tidak ada dalil yang menunjukkan kalau darah atau muntah
membatalkan wudhu, dan hukum asal seseorang yang telah bersuci adalah
tetap dalam keadaan suci (sampai ada dalil yang mengeluarkan dari
kesuciannya)". Lihat Tawdhih Al Ahkam (1/301).
Berkata
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, "Sesuatu yang keluar dari sealin 2 jalan
(kemaluan dan anus) tidaklah membatalkan wudhu sedikit ataupun banyak
kecuali kencing atau tinja (atau madzi atau mani) karena hukum asalnya
adalah tidaklah sebagai pembatal wudhu. Barangsiapa yang mengeluarkan
dari hukum asal maka wajib baginya untuk mendatangkan dalilnya". Lihat Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
KESIMPULAN: Pendapat
yang benar dalam hal ini adalah yang mengatakan bahwa mimisan bukanlah
sebagai pembatal wudhu dikarenakan hukum asal seseorang yang sudah
bersuci tetap dalam keadaan kesuciannya selama tidak ada dalil yang
mengeluarkan dari hukum asal tersebut dan dalam permasalahan ini tidak
ada dalil yang kuat untuk mengeluarkan dari hukum asal. Adapun hadits
yang dikeluarkan ‘Aisyah bahwa mimisan dan muntah sebagai pembatal
wudhu, maka hadits ini adalah hadits yang lemah dikarenakan perawinya
yang bernama Ismail bin Ayyas telah meriwayatkan dari Ibnu Juraij,
sementara periwayatannya dari selain orang se-negrinya sering salah,
lihat At Taqrib (48), ditambah lagi dalam hal ini ia
menyelisihi perawi-perawi yang lebih kuat darinya dan mereka
meriwayatkannya secara mursal (terputus jalan haditsnya) dan riwayat
yang mursal telah dikuatkan oleh Al Imam Muhammad Bin Yahya Ad Dzuhli,
Ad Daruquthni dan Abu Hatim. Adapun jalan yang lain, dikeluarkan Ad
Daruquthni darinya dari Atha’ bin Ajlan dan Abbad Bin Katsir dari Ibnu
Abi Mulaikah dari ‘Aisyah.
Berkata Al Imam
Baihaqi, "Yang benar irsal dan hadits dirafa’kan (disambungkan jalannya)
oleh Sulaiman bin Arqam tetapi periwayatannya ditinggalkan oleh ahlul
hadits. Selain itu juga ada periwayatan dari Ibnu Abbas dikeluarkan oleh
Ad Daruquthni, Ibnu Adiy dan Ath Thabrani tetapi di jalannya ada
Sulaiman Bin Arqam. Kemudian dari shahabat Abi Said dikeluarkan oleh Ad
Daruquthni di sanadnya ada Abu Bakr Adz Dzahiri, dia juga ditinggalkan
periwayatannya". Lihat Nail Al Authar (1-206)
4. MUNTAH
Demikian
juga dalam hal ini bahwa pendapat yang benar adalah muntah tidak
membatalkan wudhu. Hal ini dikarenakan tidak ada dalil yang kuat yang
mengharuskan wudhu dari muntah. Sebagaimana kaidah berulang-ulang kali
disebutkan, yaitu "hukum asal seseorang yang telah bersuci maka tidak
membatalkan sucinya kecuali perkara-perkara yang datang dengan dalil
yang kuat." Pendapat ini adalah pendapat Al Imam Malik, Imam Asy Syafii,
dan lain-lain dan diperkuat oleh Syaikhul Islam, Al Imam Asy Syaukani,
Asy Syaikh As Sa’di, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin, dan lain-lain. Lihat Al Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah (28), Nail Al Authar (1-207), Taudhih Ahkam (1/301), Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57).
Adapun hadits Aisyah yang mewajibkan wudhu dari muntah telah dijelaskan kelemahannya.
Sedangkan hadits Abi Darda’, "Bahwa Nabi Sholallahu ‘Alaihi Wasallam muntah kemudian berwudhu"
Hadits riwayat Al Imam Ahmad, Tirmidzi, Ibnul Jarud, Ibnu Hibban, Ad
Daruquthni, Al Baihaqi, Ath Thabrani, Ibnu Majah, dan Al Hakim. Berkata
Ibnu Mandah, "Isnadnya shahih bersambung akan tetapi ditinggalkan oleh
Al Bukhari dan Muslim karena ada perselisihan di jalan haditsnya".
Berkata
At Tirmidzi, "Husein Al Mu’allim telah membaikkan sanadnya dan ini yang
paling shahih dalam permasalahan ini. Demikian juga berkata Ahmad dan
di situ ada perselisihan yang banyak sebagaimana disebutkan oleh Ath
Thabrani dan juga yang lainnya. Berkata Al Baihaqi: Jalan haditsnya
mudhthradib (banyak perselisihan) tidak dapat dipakai sebagai hujjah" Talkhis Al Habir (2-190)
KESIMPULANNYA:
Hadits ini tidak bisa dipakai hujjah, kalaupun hadits ini dianggap
shahih sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Tamamul Minnah
(hal 111) hadits ini tidak tidak menunjukkan wajibnya wudhu dari muntah
akan tetapi hanya mustahab saja (disunnahkan saja), afdhal untuk
dilakukan dan tidaklah mengapa jika ditinggalkan karena hanya berupa
fiil saja (perbuatan saja). Sebagimana dinukil oleh Syaikh Al Albani
dalam Tamamul Minnah (112) dari Syaikhul Islam di Majmu’al Ar Rasail 1 dan sebagaimana disebutkan oleh Al Imam Asy Syaukani dalam Nail Al Authar (1-205) dan ditekankan juga oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Fatawa Al Mar’ah Al Muslimah (57)
Sumber: Majalah As Salam No IV/Tahun II -2006 M/1427 H hal 20-24
Judul Asli:
"Istihadhah, Menyentuh Wanita, Muntah, dan Mimisan Tidak Membatalkan Wudhu"
"Istihadhah, Menyentuh Wanita, Muntah, dan Mimisan Tidak Membatalkan Wudhu"