Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary
Sebuah aksioma bahwa jihad adalah ibadah dan amal shalih yang paling afdhol dimana hal ini tentunya tidak lepas dari stipulasi rukun-rukunnya serta kewajiban-kewajibannya. Seperti halnya tidak boleh bagi seorang muslim untuk pergi sholat sedang ia tidak mengetahui hukum-hukumnya, demikian pula tidak boleh untuk masuk ke dalam bab ini (jihad) dan mengaku dirinya sebagai seorang mujahid sedang ia bodoh akan hukum-hukum jihad. Maka, wajib bagi seorang muslim sebelum terjun dalam perkara ini agar mengerti apa itu jihad, atas landasan apa ditegakkan, dengan siapa menegakkannya, dan apa pula syarat serta rukun-rukunnya, apakah telah terpenuhi ataukah tidak?
Sebuah aksioma bahwa jihad adalah ibadah dan amal shalih yang paling afdhol dimana hal ini tentunya tidak lepas dari stipulasi rukun-rukunnya serta kewajiban-kewajibannya. Seperti halnya tidak boleh bagi seorang muslim untuk pergi sholat sedang ia tidak mengetahui hukum-hukumnya, demikian pula tidak boleh untuk masuk ke dalam bab ini (jihad) dan mengaku dirinya sebagai seorang mujahid sedang ia bodoh akan hukum-hukum jihad. Maka, wajib bagi seorang muslim sebelum terjun dalam perkara ini agar mengerti apa itu jihad, atas landasan apa ditegakkan, dengan siapa menegakkannya, dan apa pula syarat serta rukun-rukunnya, apakah telah terpenuhi ataukah tidak?
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- sebelum kita menentukan jihad atau bukan perang membela negara, ada beberapa kondisi yang menyebabkan jihad menjadi fardlu ‘ain.
Kondisi pertama:
jika waliyyul amri (penguasa/pemerintah -red) memerintahkan untuk
berjihad fi sabilillah, maka tidak boleh seorangpun menyelisihinya untuk
tetap tinggal kecuali yang memiliki udzur. Allah berfirman (yang
artinya), "Hai orang-orang yang beriman apakah sebabnya apabila
dikatakan kepada kamu, ‘Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan
Allah’, kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu
puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?
Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibanding dengan kehidupan) di
akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang
niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan
digantinya (kamu) dengan kaum yang lain dan kamu tidak akan memberikan
kemudharatan padaNya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At Taubah: 38-39).
Kondisi kedua:
jika musuh mengepung suatu negeri, yakni musuh datang lalu masuk ke
suatu negeri dan mengepungnya, ketika itu jihad menjadi fardlu ‘ain bagi
seriap orang penduduk negeri itu sekalipun para wanita atau orang tua
yang mampu untuk membela negaranya. Karena ini adalah perang pembelaan
bukan perang dalam artian penyerangan (untuk perluasan Islam).
Kondisi ketiga:
apabila telah memasuki barisan perang dan bertemu kedua pasukan (kafir
dan muslim), maka jihad ketika itu menjadi fardlu ‘ain, tidak boleh bagi
seorangpun untuk berpaling. Allah berfirman (yang artinya), "Hai
orang-orang yang beriman apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir
yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka
(mundur), barangsiapa yang mundur di waktu itu kecuali berbelok (untuk
siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain,
maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah
dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat
kembalinya." (QS Al Anfaal: 15-16). Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah menjadikan berpaling pada saat bertemunya dua pasukan
termasuk salah satu dari tujuh dosa-dosa besar yang membinasakan.
Kondisi keempat:
jika manusia membutuhkan kepada orang yang mampu menggunakan senjata,
dalam posisi tak ada seorangpun yang mengetahui cara penggunaan senjata
baru tersebut kecuali seorang saja, maka menjadi fardlu ‘ain bagi dia
untuk berjihad meskipun tidak diperintahkan oleh pemimpin negara karena
ia dibutuhkan.
Dalam empat kondisi inilah jihad menjadi fardlu ‘ain, adapun selainnya adalah fardlu kifayah.
Para
pembaca -semoga dirahmati Allah- oleh karena itu, dalam kondisi yang
kita jalani sekarang ini wajib bagi kita untuk mengingatkan kepada
segenap orang bahwa ajakan untuk pembebasan negara dan yang semisalnya
adalah ajakan yang tidak relevan, dan wajib untuk membekali setiap orang
dengan persiapan agama yang matang, katakanlah, "Bahwa kami membela agama kami sebelum segala sesuatu."
Karena negeri kami adalah negeri agama dan negeri Islam yang butuh akan
proteksi dan pembelaan, maka harus membela negara dengan niat seperti
ini.
Para ahli ilmu berkata, "Wajib
bagi setiap muslim untuk berjihad memerangi musuh Allah, agar kalimat
Allah menjadi tinggi, bukan karena tujuan membela negaranya, sebab
berperang semata-mata membela negara bisa dilakukan semua orang baik
muslim maupun kafir. Maka seorang muslim ketika membela negaranya jangan
semata-mata karena itu negerinya, tetapi karena negeri itu adalah
negeri Islam, membelanya dengan tujuan untuk penjagaan terhadap Islam."
Adapun
membela negara dengan dorongan nasionalisme atau fanatisme kaum, ini
juga dapat dilakukan semua pihak baik muslim ataupun kafir. Yang
demikian itu tidak akan membawa manfaat sedikitpun bagi pelakunya pada
hari kiamat, de facto tidak dinamakan mati syahid, bila terbunuh dalam keadaan membela negara dengan niatan seperti itu.
Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang
seseorang yang berperang karena fanatisme kaum, berperang supaya
dikatakan pemberani, dan berperang agar mendapat predikat kaum
grand-monde, manakah yang termasuk fi sabilillah? Beliau menjawab (yang
artinya), "Barangsiapa berperang supaya kalimat Allah menjadi tinggi maka itulah fi sabilillah." (HR. Bukhori, Muslim dari sahabat Abu Musa).
Jika
berperang karena negara, maka keadaannya sama dengan orang-orang kafir.
Berperanglah agar kalimat Allah menjadi tinggi, telah ada dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), "Tidaklah yang terluka
di jalan Allah -dan Allah lebih mengetahui siapa yang terluka di
jalanNya- kecuali datang pada hari kiamat dan lukanya akan mengalirkan
darah yang berwarna merah dan berbau misk." (HR. Bukhori no 5533, dan Muslim no 1876 dari sahabat Abu Hurairoh).
Disadur secara bebas dari pernyataannya Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin
tentang "Berperang untuk Negara" pada saat hari-hari pertama invasi Iraq atas Kuwait
dengan sedikit tambahan dari penulis