Bismillah Assalamu Alaikum
Termasuk rahmat Allah kepada para hambaNya, Dia
menjadikan amalan sunnah pada setiap jenis amalan wajib, seperti shalat, ada
yang wajib ada yang sunnah, demikian pula puasa, shodaqoh, haji dan lain
sebagainya.
Ketahuilah wahai saudaraku seiman –semoga Allah
merahamtimu- bahwa adanya amalan-amalan sunnah tersebut memiliki beberapa faedah
bagi umat manusia:
- Menyempurnakan kekurangan pada amalan wajib, sebab bagaimanapun seorang telah berusaha agar ibadah wajibnya sempurna semaksimal mungkin namun tidak luput dari kekurangan. Di sinilah peran amalan sunnah untuk menutup lubang-lubang tersebut.
- Menambah pahala disebabkan bertambahnya amal shaleh
- Menggapai kecintaan Allah
- Menambah keimanan seorang hamba
- Menambah kuatnya hubungan seorang hamba dengan Robbnya
- Merupakan medan untuk berlomba-lomba dalam ketaatan
- Mendorong hamba dalam melakukan amalan wajib, sebab sepertinya mustahil kalau ada seorang yang rajin mengamalkan perkara sunnah tetapi mengabaikan amal yang wajib
- Pembuka amalan wajib
- Penutup pintu bid’ah dalam agama
- Mencontoh Nabi dan para salaf shalih.[194]
Diantara
amalan sunnah tersebut adalah puasa syawwal. Berikut ini beberapa pembahasan
tentang puasa syawal. Semoga bermanfaat.
1. Disyari’atkannya Puasa Enam Hari Pada Bulan Syawwal
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam banyak
hadits, di antaranya hadits Abu Ayyub dan Tsauban berikut:
عَنْ أبِي أَيُّوْبَ
اْلأَنْصَارِيِّ τ أَنَّ
رَسُوْلُ اللهِ n قَالَ: مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ ثُمَ أَْتبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ
الدَهْرِ
Dari Abu Ayyub al-Anshari a/ bahwasanya Rasulullah n/ bersabda, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam
hari bulan Syawwal, maka dia seperti berpuasa satu tahun penuh.”[195]
عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُوْلِ
اللهِ n عَنْ رَسُوْلِ
اللهِ n أَنَّهُ قَالَ:
مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ
تَمَامَ السَنَّةِ. مَنْ
جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشَرُ أَمْثَالِهَا
Dari Tsauban, budak Rasulullah n/, bahwasanya beliau n/ bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam
hari setelah hari raya Idul Fithri, maka seperti telah berpuasa setahun penuh.
Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.”[196]
Puasa enam hari bulan syawwal hukumnya sunnah,
baik bagi kaum pria maupun wanita. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ahli
ilmu seperti diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Ka’b al-Akhbar, Sya’bi, Thawus,
Maimun bin Mihran, Abdullah bin Mubarok, Ahmad bin Hanbal dan Syafi’i.[197]
Imam Nawawi berkata: “Dalam hadits ini terdapat
dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang
sependapat dengannya mengenai sunnahnya puasa enam hari bulan Syawwal.”[198]
Ibnu Hubairah berkata: “Mereka bersepakat
tentang sunnahnya puasa enam hari Syawal kecuali Abu Hanifah dan Malik yang
mengatakan bahwa hal itu dibenci dan tidak disunnahkan”.[199]
Alangkah bagusnya ucapan Al-Allamah
al-Mubarakfuri: “Pendapat yang menyatakan dibencinya puasa enam hari Syawwal
merupakan pendapat yang bathil dan bertentangan dengan hadits-hadits shahih.
Oleh karena itu, mayoritas ulama Hanafiyah berpendapat tidak mengapa seorang
berpuasa enam hari Syawwal tersebut. Ibnu Humam berkata[200]: “Puasa enam hari Syawwal menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf makruh
(dibenci) tetapi ulama Hanafiyah berpendapat bahwa hal itu tidak
mengapa”.[201]
2. Keutamaan puasa enam hari Syawwal.
Yaitu dihitung seperti puasa
setahun penuh, karena satu kebaikan berkelipatan sepuluh. Satu bulan 30 hari x
10 = 10 bulan, dan enam hari 6 x 10 = 2 bulan. Jadi, jumlah seluruhnya 12 bulan
= 1 tahun. Hal ini sangat jelas dalam riwayat Tsauban.
Namun hal ini bukan berarti
dibolehkan atau disunnahkan puasa dahr (setahun) sebagaimana anggapan sebagian kalangan, karena beberapa
sebab:
Pertama: Maksud perumpamaan Nabi di atas
adalah sebagai anjuran dan penjelasan tentang keutamaannya, bukan untuk
membolehkan puasa dahr (setahun) yang jelas hukumnya haram dan memberatkan diri, apalagi
dalam setahun seorang akan berbenturan dengan hari-hari terlarang untuk puasa
seperti hari raya dan hari tasyriq.
Kedua: Nabi telah melarang puasa dahr.
Kalau demikian, lantas mungkinkah kemudian hal itu dinilai sebagai puasa yang
dianjurkan?!
Ketiga: Nabi bersabda: “Sebaik-baik puasa
adalah puasa Dawud, beliau sehari puasa dan sehari berbuka”. Hadits ini sangat
jelas sekali menunjukkan bahwa puasa Dawud lebih utama daripada puasa dahr
sekalipun hal itu lebih banyak amalnya.[202]
3. Beberapa Faedah Puasa Syawal
Membiasakan puasa setelah ramadhan memiliki
beberapa faedah yang cukup banyak, diantaranya:
- Puasa enam hari syawal setelah ramadhan berarti meraih pahala puasa setahun penuh
- Puasa syawal dan sya’ban seperti shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu, untuk sebagai penyempurna kekurangan yang terdapat dalam fardhu
- Puasa syawal setelah ramadhan merupakan tanda bahwa Allah menerima puasa ramadhannya, sebab Allah apabila menerima amal seorang hamba maka Dia akan memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan shalih setelahnya
- Puasa syawal merupakan ungkapan syukur setelah Allah mengampuni dosanya dengan puasa ramadhan
- Puasa syawwal merupakan tanda keteguhannya dalam beramal shalih, karena amal shalih tidaklah terputus dengan selesainya ramadhan tetapi terus berlangusng selagi hamba masih hidup.[203]
4. Haruskah berturut-turut setelah Idul Fithri?!
Ash-Shon’ani berkata: “Ketahuilah bahwa pahala
puasa ini bisa didapatkan bagi orang yang berpuasa secara berpisah atau
berturut-turut, dan bagi yang berpuasa langsung setelah hari raya atau di
tengah-tengah bulan”.[204]
An-Nawawi berkata: “Afdhalnya, berpuasa enam
hari berturut turut langsung setelah Idhul Fithri. Namun jika seseorang berpuasa
Syawwal tersebut dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan,
dia masih mendapatkan keutamaan puasa Syawwal, berdasarkan konteks hadits
ini.”[205] Yakni keumuman sabda Nabi “enam hari bulan syawal”.[206]
Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh
berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah maupun di
akhir bulan Syawwal. Namun, yang lebih utama adalah bersegera melakukan puasa
Syawwal karena beberapa sebab:
Pertama: Bersegera
dalam beramal shalih
Kedua: Agar tidak
terhambat oleh halangan dan godaan syetan sehingga menjadikannya tidak
berpuasa
Ketiga: Manusia tidak
tahu kapan malaikat maut menjemputnya.
Dengan demikian, maka kita dapat mengetahui
kesalahan keyakinan sebagian masyarakat yang mengatakan bahwa puasa sunnah
syawwal harus pada hari kedua setelah hari raya, bila tidak maka sia-sia
puasanya!!
5. Bila Masih Punya Tanggungan Puasa Ramadhan
Apabila seorang ingin berpuasa
Syawwal tetapi dia masih memiliki tangungan puasa ramadhan, bagaimana
hukumnya?!
Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata:
“Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Ramadhan, kemudian dia memulai
puasa enam syawal, maka dia tidak mendapatkan keutamaan pahala orang yang puasa
ramadhan dan mengirinya dengan enam syawal, sebab dia belum menyempurnakan puasa
ramadhan”.[207]
Syaikh Muhammad Shalih al-Utsaimin
berkata: “Puasa enam syawal berkaitan dengan ramadhan, dan tidak dilakukan
kecuali setelah melunasi tanggungan puasa wajibnya. Seandainya dia berpuasa
syawal sebelum melunasinya maka dia tidak mendapatkan pahala keutamaannya,
berdasarkan sabda Nabi: “Barangsiapa puasa ramadhan
kemudian dia menyertainya dengan enam hari syawal maka seakan-akan dia berpuasa
setahun penuh”.
Dan telah dimaklumi bersama bahwa
orang yang masih memiliki tanggungan puasa ramadhan berarti dia tidak termasuk
golongan orang yang telah puasa ramadhan sampai dia melunasinya terlebih dahulu.
Sebagian manusia keliru dalam masalah ini, sehingga tatkala dia khawatir
keluarnya bulan syawal maka dia berpuasa sebelum melunasi tanggungannya. Ini
adalah suatu kesalahan”.[208]
6. Kalau Memang Ada Udzur Sehingga Keluar Bulan Syawwal
Bagaimana kalau seseorang tidak
bisa melakukan puasa syawal karena ada udzur seperti sakit, nifas atau melunasi
hutang puasanya sebanyak sebulan, sehingga keluar bulan syawal. Apakah dia boleh
menggantinya pada bulan-bulan lainnya dan meraih keutamaannya, ataukah tidak
perlu karana waktunya telah keluar?! Masalah ini diperselisihkan oleh
ulama:
1. Boleh menggodho’nya karena ada udzur.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Abdur Rahman as-Sa’di[209] dan Syaikh Ibnu Utsaimin[210]. Alasannya adalah menqiyaskan dengan ibadah-ibadah lain yang bisa
diqodho’ apabila ada udzur seperti shalat.
2. Tidak disyariatkan untuk mengqodho’nya
apabila telah keluar bulan syawal, baik karena ada udzur atau tidak, karena
waktunya telah lewat. Pendapat ini dipilih oleh syaikh Abdul Aziz bin
Baz[211].
Pendapat kedua inilah yang tentram
dalam hati penulis, karena qodho’ membutuhkan dalil khusus dan tidak ada dalil
dalam masalah ini. Wallahu A’lam.[212] Alhamdulillah, kalau memang dia benar-benar jujur dalam niatnya
yang seandainya bukan karena udzur tersebut dia akan melakukan puasa syawal,
maka Allah akan memberikan pahala baginya, sebagaimana dalam hadits:
إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ
لَهُ مِثْلَ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيْمًا صَحِيْحًا
Apabila seorang hamba sakit atau bepergian,
maka dia ditulis seperti apa yang dia lakukan dalam muqim sehat. [213]
7. Menggabung Niat Puasa
Kalau ada
orang yang berpuasa syawwal dan ingin menggabungnya dengan qodho’ puasa
ramadahan, atau dengan puasa senin kamis, atau tiga hari dalam sebulan,
bagaimana hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendakanya kita mengetahui terlebih
dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rojab, yaitu
“Apabila berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu, salah satunya bukan
karena qodho’ (mengganti)
atau mengikut pada ibadah lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi
satu”.[214]
Jadi, menggabung beberapa ibadah
menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama: Tidak
mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah tersendiri atau
mengikut kepada ibadah lainnya, maka di sini tidak mungkin digabung.
Contoh: Seorang ketinggalan shalat sunnah fajar
sampai terbit matahari dan datang waktu sholat dhuha, di sini tidak bisa
digabung antara shalat sunnah fajar dan shalat dhuha, karena shalat sunnah fajar
adalah ibadah tersendiri dan shalat dhuha juga ibadah tersendiri.
Contoh lain: Seorang sholat fajar dengan niat
untuk shalat sunnah rawatib dan shalat fardhu, maka tidak bisa, karena shalat
sunnah rawatib adalah mengikut kepada shalat fardhu.
Kedua: Bisa untuk
digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekedar adanya perbuatan
tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk digabung.
Contoh: Seorang masuk masjid dan menjumpai
manusia sedang melakukan shalat fajar, maka dia ikut shalat dengan niat shalat
fajar dan tahiyyatul masjid, maka boleh karena tahiyyatul masjid bukanlah ibadah
tersendiri.[215]
Nah, dari sini dapat kita simpulkan
bahwa kalau seorang menggabung puasa syawwal dengan mengqodho’ puasa ramadhan
maka hukumnya tidak boleh karena puasa syawal di sini mengikut kepada puasa
ramadhan[216]. Namun apabila seseorang menggabung puasa syawwal dengan puasa tiga
hari dalam sebulan, puasa dawud, senin kami maka hukumnya boleh. Wallahu
A’lam.
Demikianlah beberapa pembahasan
yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
_______________________________________________
Footnote:
[195] HR. Muslim 1164.
[196] Diriwayatkan Ibnu Majah 1715, ad-Darimi 1762, Nasa’i
dalam Sunan Kubra 2810, 2861,
Ibnu Khuzaimah 2115, Ibnu Hibban 928, dan Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya 5/280, ath-Thobarani
dalam Mu’jamul Kabir 1451
dan Musnad Syamiyyin 485,
ath-Thohawi dalam Musykil Atsar 1425, dan dishahihkan al-Albani
dalam Irwa’ul Ghalil 4/107.
[208] Liqa’athi Ma’a Samahatis Syaikh Ibnu
Utsaimin Dr. Abdullah ath-Thoyyar 2/79 dan Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin 20/17-20
[211] Majmu Fatawa Ibnu Baz 3/270, al-Fatawa Ibnu Baz -Kitab Da’wah 2/172, Fatawa
Shiyam 2/694-695 kumpulan Asyrof Abdul
Maqshud
[212] Simak kaset Fatawa Jeddah oleh Syaikh al-Albani no. 7 dan Ahkamul
Adzkar Zakariya al-Bakistani hal. 51
[213] HR. Bukhari: 2996.
[215] Liqa’ Bab Maftuh Ibnu Utsaimin hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan
contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir
Qowa’id Ibnu Rojab 1/142-158
Dari Abiubaidah.com
Dari Abiubaidah.com