Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary
Akal dalam diri manusia tak ada bedanya dengan sifat sempurna lainnya, ia sekalipun sempurna bagi manusia tetapi tetap mempunyai batasan-batasan yang tidak dapat dijangkaunya, sebab manusia adalah makhluk, maka tentu sifat-sifatnya juga makhluk yang tidak bisa lepas dari kekuatan, kelemahan, dan kekurangan. Allah Ta’ala telah menjadikan batasan bagi akal -dalam mengetahui beberapa perkara- berhenti padanya dan tidak akan mampu melewatinya, sebaliknya Allah Ta’ala juga tidaklah menjadikan akal sebagai sarana untuk mengetahui segala macam perkara, karena kalau demikian, maka akan menyamai Al Aliim -yang Maha Mengetahui- subhanahu wa ta’ala pencipta akal itu sendiri. Al Qur’an telah menyinggung dalam banyak ayat tentang para pengguna akal, antara pujian dan celaan.
Akal dalam diri manusia tak ada bedanya dengan sifat sempurna lainnya, ia sekalipun sempurna bagi manusia tetapi tetap mempunyai batasan-batasan yang tidak dapat dijangkaunya, sebab manusia adalah makhluk, maka tentu sifat-sifatnya juga makhluk yang tidak bisa lepas dari kekuatan, kelemahan, dan kekurangan. Allah Ta’ala telah menjadikan batasan bagi akal -dalam mengetahui beberapa perkara- berhenti padanya dan tidak akan mampu melewatinya, sebaliknya Allah Ta’ala juga tidaklah menjadikan akal sebagai sarana untuk mengetahui segala macam perkara, karena kalau demikian, maka akan menyamai Al Aliim -yang Maha Mengetahui- subhanahu wa ta’ala pencipta akal itu sendiri. Al Qur’an telah menyinggung dalam banyak ayat tentang para pengguna akal, antara pujian dan celaan.
Allah berfirman, "…
Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana
kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rosul) dan
sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang
bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?" (QS Yusuf: 109).
"Atau
apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau
memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak,
bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (QS Al Furqaan: 44).
LETAK AKAL DALAM TUBUH MANUSIA
Para
pembaca -semoga dirahmati Allah-, kalangan ahlul ‘ilmi telah berselisih
mengenai letak akal pada tubuh manusia, Al Ahnaf (pengikut Hanafi) dan
Al Hanabilah mengatakan bahwa akal itu letaknya fiddimaagh yakni di
kepala, dalilnya adalah jika kepala itu dipukul dengan benda keras, maka
akan hilang akalnya, mereka mengatakan lagi bahwa orang-orang Arab
menyebut orang yang berakal dengan "waafiruddimagh" (penuh / sempurna
akalnya) sedangkan pada yang lemah akal dengan "khofiifuddimaagh"
(ringan / kurang sempurna kepalanya).
Adapun
Malikiyah dan Syafi’iyah serta sebagian dari Al Hanabilah mengatakan
letaknya akal adalah di hati, dan pendapat ini juga dinisbatkan kepada
para dokter -yakni ahli kedokteran yang dulu-, dalil mereka adalah
firman Allah, "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu
mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau
mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?…" (QS Al Hajj: 46). Berdalil juga dengan perkataan Umar ibnul Khatthab yang ditujukan pada Ibnu Abbas, "Ia adalah pemuda yang berhati dapat memahami."
Dan kesimpulannya ialah bahwasanya akal mempunyai kaitan dengan kepala
dan hati secara bersamaan, di mana tempat munculnya pemikiran dan ide
adalah kepala, sedangkan munculnya kemauan dan maksud dari dalam hati.
Jadi seorang yang berkeinginan tidaklah akan berkeinginan kecuali
setelah ada gambaran yang diinginkan, sementara gambaran itu tempatnya
di kepala.
EKSPLOITASI AKAL
Semenjak
berbaurnya umat Islam dengan umat lainnya, dan awal merasuknya
peradaban Yunani, sebagian umat Islam mulai terpengaruh dengan pola
pikir Barat, mereka berusaha mengemas pemikiran ini dalam bentuk kemasan
baru dengan harapan agar mendapatkan legitimasi di tengah-tengah
masyarakat Islami. Maka, nampaklah orang-orang yang ingin menyatukan
antara filsafat dan Islam -seperti tokoh kondangnya dewasa ini Abu Ali
Al Husein ibnu Abdillah ibnu Sina, yang lebih dikenal dengan sebutan
Ibnu Sina, pemikirannya murni pemikiran Ariestoteles- serta berupaya
menyembunyikan perbedaan antara keduanya. Di sisi lain juga banyak yang
merasa kagum dengan pengagungan para filosof terhadap akal hingga
menjadikannya sebagai sumber segala pengetahuannya dan jalan yang
menghantarkan pada hakekat segala sesuatu, lebih ironisnya lagi di
antara mereka ada yang menyatakan bahwa argumen-argumen yang bersandar
dari wahyu adalah lemah, terbatas bahkan kadang mengandung sesuatu yang
kontradiktif berbeda dengan argumen akal, dalil akal adalah dalil yang
qoth’i dan logis sedangkan dalil sam’i (wahyu) adalah dzonni, sehingga
ketika dalil sam’i bertolak belakang dengan kemampuan akal, menurut
mereka wajib mendahulukan akal secara mutlak. Akhirnya hal yang bid’ah
dibantah dengan bid’ah, yang bathil dibantah dengan yang bathil pula.
Muncullah ideologi-ideologi baru dalam agama, para pentakwil, para
analogis, serta manusia-manusia yang berideologi setan, yang oleh agama
lain pun tidak pernah tergambarkan untuk sampai pada tahapan seperti
ini. Sungguh telah ada istilah penamaan bagi golongan seperti ini yaitu
dengan sebutan ahli kalam, aqlaniyyun, mu’tazilah, dan asya’iroh serta
orang-orang yang sejalan dengan mereka yang menjadikan akal sebagai
landasan ilmunya adapun Al Qur’an dan keimanan serta As Sunnah sifatnya
hanya mengikuti karena dianggap mengakibatkan debilitas mentis, jumud,
dan lain sebagainya. Hal-hal yang logis bagi mereka adalah pijakan utama
dan konsep yang universal.
Para
pembaca -semoga dirahmati Allah- sejarah perjalanan para pendahulu
mereka, menjadi saksi akan kehancuran dan kebinasaan para eksploitir
akal itu. Fakhruroozi, salah satu tokoh pendahulunya mengatakan, "Hasil
telaah sepanjang umur kami tidak memberikan manfaat kecuali hanya dapat
mengumpulkan katanya… dan katanya…", yang lainnya berkata, "Aku tidak
menemukan apa-apa kecuali meletakkan telapak tangan di atas dagu,
kebingungan, dan merasakan penyesalan sepanjang masa…" Begitulah keadaan
setiap yang menentang dan berpaling dari wahyu (Kitab dan Sunnah).
Allah berfirman, "Maka
jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya,
sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling,
sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)…" (QS Al Baqarah: 137).
Allah juga berfirman, "…
dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan
hati, tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna
sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat
Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka
memperolok-olokannya." (QS Al Ahqaaf: 26).
ISLAM MEMULIAKAN AKAL
Sesungguhnya
Allah Ta’ala telah menjadikan pondasi perkara agamanya dan membangunnya
di atas ittiba’, kemudian memposisikan akal dalam hal itu adalah yang
mengikuti. Perkara agama secara keseluruhan tidaklah bertentangan dengan
pengetahuan-pengetahuan akal. Maka akal yang jernih tidak akan mungkin
-sampai kapanpun- bertolak belakang dengan nash yang shohih -sanadnya
maupun dilalahnya- justru keduanya sebagai sumber yang memperkuat.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Tidak didapatkan di dalam Kitab
dan Sunnah maupun ijma’ul ummah sedikitpun yang menyelisihi akal yang
jernih, sebab yang menyelisihi akal jernih adalah bathil sementara tidak
ada dalam Kitab dan (Sunnah) maupun ijma’ul ummah hal yang bathil, akan
tetapi didapatkan padanya lafadz-lafadz yang kadang tidak dapat
difahami oleh sebagian orang, atau memahaminya tapi dengan makna yang
bathil, maka kekeliruan itu berasal dari mereka bukan dari Kitab dan
Sunnah." (Majmu’ul Fatawa 2/37).
Sungguh
Islam telah memuliakan akal dengan semulia-mulianya, Islam
memuliakannya ketika ia -akal- dijadikan tempat pembebanan hukum pada
manusia dan dengannya Allah lebihkan manusia daripada makhluk-makhluk
ciptaannya yang lain. Islam telah memuliakannya ketika mengarahkannya
untuk melihat, memahami diri, alam semesta, sebagai pelajaran dan ibroh.
Islam memuliakannya dari akan terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak
menjadikannya baik dan tidak pula membukakan jalan yang mengarah ke
sana, sebagai tanda kasih sayang dan perhatian Islam terhadapnya. Di
antara yang menunjukkan akan hal itu:
Pertama:
Allah subhanahu wa ta’ala membatasi orang-orang yang dapat mengambil
manfaat dari peringatan dan pelajaran hanyalah orang-orang yang berakal.
Allah berfirman, "Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)." (QS Al Baqarah: 269).
Firman Allah lainnya, "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal." (QS Yusuf: 111).
Serta firmanNya, "Dan sesungguhnya kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal." (QS Al Ankabuut: 35).
Kedua:
Allah Ta’ala mengkhususkan orang-orang yang berakal dengan pengetahuan
yang sempurna terhadap tujuan-tujuan ibadah dan hukum-hukum syariat.
Allah berfirman -setelah menyebutkan sejumlah hukum-hukum haji-, "… dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal." (QS Al Baqarah: 197).
Allah juga berfirman -setelah penyebutan hukum-hukum qishaash-, "Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal…" (QS Al Baqarah: 179).
Ketiga:
Allah Ta’ala telah menyebutkan orang-orang yang berakal dan menyatukan
mereka dalam hal melihat kekuasaan-kekuasaanNya dan memahami
ayat-ayatNya serta kontinyu dalam mengingatNya, merasa diawasi olehNya,
dan ibadah kepadaNya.
Allah berfirman, "Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang
yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi
(seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan
sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya
Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam
neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi
orang-orang yang dzalim seorang penolong pun. Ya Tuhan kami,
sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu):
Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami,
ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami
kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang
berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang Engkau telah janjikan
kepada kami dengan perantaraan rosul-rosul Engkau. Dan janganlah Engkau
hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi
janji.’" (QS Ali Imran: 190-194).
Keempat:
Allah Ta’ala mencela para muqollid, pembebek ajaran nenek moyang-nenek
moyangnya, yang demikian itu -taqlid- terjadi ketika mereka membiarkan,
menonaktifkan akal-akalnya, dan ridho dengan apa yang telah diperbuat
para nenek moyangnya.
Allah berfirman, "Dan
apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan
Allah,’ mereka menjawab: ‘(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang
telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka
akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui
suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang yang
menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil
binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka
tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti." (QS Al Baqarah: 170-171).
Kelima:
Islam mengharamkan menyakiti akal, karena hal itu akan melenyapkannya
dari mengetahui hal-hal yang bermanfaat, misalnya saja Islam telah
mengharamkan seorang muslim untuk meminum minuman yang memabukkan dan
membahayakan serta setiap yang akan merusak akal.
Allah berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi,
(berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan
keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan." (QS Al Maaidah: 90).
Dari Ummu Salamah, bahwa "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari setiap yang memabukkan dan membahayakan." (HR Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Shohih Jaami’us Shaghir).
Juga
Islam mencegah dengan keras dari mendalami atau mempercayai hal-hal
yang diingkari oleh akal dan yang dapat mengkaburkannya, seperti
mendatangi para dukun, paranormal, dan yang lainnya yang mengaku
mengetahui hal yang ghaib, serta berbagai macam kesyirikan-kesyirikan.
Para
pembaca -semoga dirahmati Allah-, adalah para salaf bila salah seorang
di antara mereka ditanya tentang masalah aqidah, ia akan menjawab dengan
nash-nash Kitab dan Sunnah, seperti yang telah dilakukan oleh Ja’far
ibnu Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ketika raja Najasyi (raja Habasyi)
bertanya kepadanya tentang hakikat Isa ‘alaihis salam, beliau menjawab
dengan apa yang ada dalam Surat Maryam, raja Najasyi pun memahaminya,
dan kejadian itu menjadi sebab keislamannya raja Najasyi.
Demikianlah, dan sebagai kalimat penutup, "Janganlah
engkau jadikan akal sebagai hakim secara mutlak, sebab telah ada hakim
yang mutlak yaitu syariat. Yang wajib adalah mendahulukan apa yang
menjadi haknya untuk didahulukan -yakni syariat- dan mengakhirkan apa
yang menjadi haknya untuk diakhirkan -yakni akal-, tidak sah
mendahulukan yang bersifat kurang dan serba membutuhkan atas yang
sempurna dan serba kecukupan. Karena yang demikian itu penyelisihan
terhadap akal dan naql." Semoga Allah memberikan taufik kepada apa yang dicintai dan diridhoiNya. Wal ‘ilmu ‘indallah.