Sunday, April 19, 2015

AKAL Antara Islam dan Filsafat

AKAL Antara Islam dan Filsafat

letak Akal

Al Ustadz Abu Hamzah Yusuf Al Atsary

Akal dalam diri manusia tak ada bedanya dengan sifat sempurna lainnya, ia sekalipun sempurna bagi manusia tetapi tetap mempunyai batasan-batasan yang tidak dapat dijangkaunya, sebab manusia adalah makhluk, maka tentu sifat-sifatnya juga makhluk yang tidak bisa lepas dari kekuatan, kelemahan, dan kekurangan. Allah Ta’ala telah menjadikan batasan bagi akal -dalam mengetahui beberapa perkara- berhenti padanya dan tidak akan mampu melewatinya, sebaliknya Allah Ta’ala juga tidaklah menjadikan akal sebagai sarana untuk mengetahui segala macam perkara, karena kalau demikian, maka akan menyamai Al Aliim -yang Maha Mengetahui- subhanahu wa ta’ala pencipta akal itu sendiri. Al Qur’an telah menyinggung dalam banyak ayat tentang para pengguna akal, antara pujian dan celaan.
Allah berfirman, "… Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rosul) dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya?" (QS Yusuf: 109).
"Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain, hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu)." (QS Al Furqaan: 44).

LETAK AKAL DALAM TUBUH MANUSIA
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, kalangan ahlul ‘ilmi telah berselisih mengenai letak akal pada tubuh manusia, Al Ahnaf (pengikut Hanafi) dan Al Hanabilah mengatakan bahwa akal itu letaknya fiddimaagh yakni di kepala, dalilnya adalah jika kepala itu dipukul dengan benda keras, maka akan hilang akalnya, mereka mengatakan lagi bahwa orang-orang Arab menyebut orang yang berakal dengan "waafiruddimagh" (penuh / sempurna akalnya) sedangkan pada yang lemah akal dengan "khofiifuddimaagh" (ringan / kurang sempurna kepalanya).
Adapun Malikiyah dan Syafi’iyah serta sebagian dari Al Hanabilah mengatakan letaknya akal adalah di hati, dan pendapat ini juga dinisbatkan kepada para dokter -yakni ahli kedokteran yang dulu-, dalil mereka adalah firman Allah, "Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?…" (QS Al Hajj: 46). Berdalil juga dengan perkataan Umar ibnul Khatthab yang ditujukan pada Ibnu Abbas, "Ia adalah pemuda yang berhati dapat memahami." Dan kesimpulannya ialah bahwasanya akal mempunyai kaitan dengan kepala dan hati secara bersamaan, di mana tempat munculnya pemikiran dan ide adalah kepala, sedangkan munculnya kemauan dan maksud dari dalam hati. Jadi seorang yang berkeinginan tidaklah akan berkeinginan kecuali setelah ada gambaran yang diinginkan, sementara gambaran itu tempatnya di kepala.
EKSPLOITASI AKAL
Semenjak berbaurnya umat Islam dengan umat lainnya, dan awal merasuknya peradaban Yunani, sebagian umat Islam mulai terpengaruh dengan pola pikir Barat, mereka berusaha mengemas pemikiran ini dalam bentuk kemasan baru dengan harapan agar mendapatkan legitimasi di tengah-tengah masyarakat Islami. Maka, nampaklah orang-orang yang ingin menyatukan antara filsafat dan Islam -seperti tokoh kondangnya dewasa ini Abu Ali Al Husein ibnu Abdillah ibnu Sina, yang lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Sina, pemikirannya murni pemikiran Ariestoteles- serta berupaya menyembunyikan perbedaan antara keduanya. Di sisi lain juga banyak yang merasa kagum dengan pengagungan para filosof terhadap akal hingga menjadikannya sebagai sumber segala pengetahuannya dan jalan yang menghantarkan pada hakekat segala sesuatu, lebih ironisnya lagi di antara mereka ada yang menyatakan bahwa argumen-argumen yang bersandar dari wahyu adalah lemah, terbatas bahkan kadang mengandung sesuatu yang kontradiktif berbeda dengan argumen akal, dalil akal adalah dalil yang qoth’i dan logis sedangkan dalil sam’i (wahyu) adalah dzonni, sehingga ketika dalil sam’i bertolak belakang dengan kemampuan akal, menurut mereka wajib mendahulukan akal secara mutlak. Akhirnya hal yang bid’ah dibantah dengan bid’ah, yang bathil dibantah dengan yang bathil pula. Muncullah ideologi-ideologi baru dalam agama, para pentakwil, para analogis, serta manusia-manusia yang berideologi setan, yang oleh agama lain pun tidak pernah tergambarkan untuk sampai pada tahapan seperti ini. Sungguh telah ada istilah penamaan bagi golongan seperti ini yaitu dengan sebutan ahli kalam, aqlaniyyun, mu’tazilah, dan asya’iroh serta orang-orang yang sejalan dengan mereka yang menjadikan akal sebagai landasan ilmunya adapun Al Qur’an dan keimanan serta As Sunnah sifatnya hanya mengikuti karena dianggap mengakibatkan debilitas mentis, jumud, dan lain sebagainya. Hal-hal yang logis bagi mereka adalah pijakan utama dan konsep yang universal.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah- sejarah perjalanan para pendahulu mereka, menjadi saksi akan kehancuran dan kebinasaan para eksploitir akal itu. Fakhruroozi, salah satu tokoh pendahulunya mengatakan, "Hasil telaah sepanjang umur kami tidak memberikan manfaat kecuali hanya dapat mengumpulkan katanya… dan katanya…", yang lainnya berkata, "Aku tidak menemukan apa-apa kecuali meletakkan telapak tangan di atas dagu, kebingungan, dan merasakan penyesalan sepanjang masa…" Begitulah keadaan setiap yang menentang dan berpaling dari wahyu (Kitab dan Sunnah).
Allah berfirman, "Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu)…" (QS Al Baqarah: 137).
Allah juga berfirman, "… dan Kami telah memberikan kepada mereka pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi pendengaran, penglihatan, dan hati mereka itu tidak berguna sedikit juapun bagi mereka, karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan mereka telah diliputi oleh siksa yang dahulu selalu mereka memperolok-olokannya." (QS Al Ahqaaf: 26).
ISLAM MEMULIAKAN AKAL
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan pondasi perkara agamanya dan membangunnya di atas ittiba’, kemudian memposisikan akal dalam hal itu adalah yang mengikuti. Perkara agama secara keseluruhan tidaklah bertentangan dengan pengetahuan-pengetahuan akal. Maka akal yang jernih tidak akan mungkin -sampai kapanpun- bertolak belakang dengan nash yang shohih -sanadnya maupun dilalahnya- justru keduanya sebagai sumber yang memperkuat. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, "Tidak didapatkan di dalam Kitab dan Sunnah maupun ijma’ul ummah sedikitpun yang menyelisihi akal yang jernih, sebab yang menyelisihi akal jernih adalah bathil sementara tidak ada dalam Kitab dan (Sunnah) maupun ijma’ul ummah hal yang bathil, akan tetapi didapatkan padanya lafadz-lafadz yang kadang tidak dapat difahami oleh sebagian orang, atau memahaminya tapi dengan makna yang bathil, maka kekeliruan itu berasal dari mereka bukan dari Kitab dan Sunnah." (Majmu’ul Fatawa 2/37).
Sungguh Islam telah memuliakan akal dengan semulia-mulianya, Islam memuliakannya ketika ia -akal- dijadikan tempat pembebanan hukum pada manusia dan dengannya Allah lebihkan manusia daripada makhluk-makhluk ciptaannya yang lain. Islam telah memuliakannya ketika mengarahkannya untuk melihat, memahami diri, alam semesta, sebagai pelajaran dan ibroh. Islam memuliakannya dari akan terjerumus ke dalam hal-hal yang tidak menjadikannya baik dan tidak pula membukakan jalan yang mengarah ke sana, sebagai tanda kasih sayang dan perhatian Islam terhadapnya. Di antara yang menunjukkan akan hal itu:
Pertama: Allah subhanahu wa ta’ala membatasi orang-orang yang dapat mengambil manfaat dari peringatan dan pelajaran hanyalah orang-orang yang berakal.
Allah berfirman, "Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)." (QS Al Baqarah: 269).
Firman Allah lainnya, "Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal." (QS Yusuf: 111).
Serta firmanNya, "Dan sesungguhnya kami tinggalkan daripadanya satu tanda yang nyata bagi orang-orang yang berakal." (QS Al Ankabuut: 35).
Kedua: Allah Ta’ala mengkhususkan orang-orang yang berakal dengan pengetahuan yang sempurna terhadap tujuan-tujuan ibadah dan hukum-hukum syariat.
Allah berfirman -setelah menyebutkan sejumlah hukum-hukum haji-, "… dan bertakwalah kepadaKu hai orang-orang yang berakal." (QS Al Baqarah: 197).
Allah juga berfirman -setelah penyebutan hukum-hukum qishaash-, "Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal…" (QS Al Baqarah: 179).
Ketiga: Allah Ta’ala telah menyebutkan orang-orang yang berakal dan menyatukan mereka dalam hal melihat kekuasaan-kekuasaanNya dan memahami ayat-ayatNya serta kontinyu dalam mengingatNya, merasa diawasi olehNya, dan ibadah kepadaNya.
Allah berfirman, "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang dzalim seorang penolong pun. Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman, (yaitu): Berimanlah kamu kepada Tuhanmu, maka kamipun beriman. Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti. Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang Engkau telah janjikan kepada kami dengan perantaraan rosul-rosul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.’" (QS Ali Imran: 190-194).
Keempat: Allah Ta’ala mencela para muqollid, pembebek ajaran nenek moyang-nenek moyangnya, yang demikian itu -taqlid- terjadi ketika mereka membiarkan, menonaktifkan akal-akalnya, dan ridho dengan apa yang telah diperbuat para nenek moyangnya.
Allah berfirman, "Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab: ‘(tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami.’ (Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk? Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti penggembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu, dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti." (QS Al Baqarah: 170-171).
Kelima: Islam mengharamkan menyakiti akal, karena hal itu akan melenyapkannya dari mengetahui hal-hal yang bermanfaat, misalnya saja Islam telah mengharamkan seorang muslim untuk meminum minuman yang memabukkan dan membahayakan serta setiap yang akan merusak akal.
Allah berfirman, "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan." (QS Al Maaidah: 90).
Dari Ummu Salamah, bahwa "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dari setiap yang memabukkan dan membahayakan." (HR Abu Daud dan Ahmad, dishahihkan Al Albani dalam Shohih Jaami’us Shaghir).
Juga Islam mencegah dengan keras dari mendalami atau mempercayai hal-hal yang diingkari oleh akal dan yang dapat mengkaburkannya, seperti mendatangi para dukun, paranormal, dan yang lainnya yang mengaku mengetahui hal yang ghaib, serta berbagai macam kesyirikan-kesyirikan.
Para pembaca -semoga dirahmati Allah-, adalah para salaf bila salah seorang di antara mereka ditanya tentang masalah aqidah, ia akan menjawab dengan nash-nash Kitab dan Sunnah, seperti yang telah dilakukan oleh Ja’far ibnu Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, ketika raja Najasyi (raja Habasyi) bertanya kepadanya tentang hakikat Isa ‘alaihis salam, beliau menjawab dengan apa yang ada dalam Surat Maryam, raja Najasyi pun memahaminya, dan kejadian itu menjadi sebab keislamannya raja Najasyi.
Demikianlah, dan sebagai kalimat penutup, "Janganlah engkau jadikan akal sebagai hakim secara mutlak, sebab telah ada hakim yang mutlak yaitu syariat. Yang wajib adalah mendahulukan apa yang menjadi haknya untuk didahulukan -yakni syariat- dan mengakhirkan apa yang menjadi haknya untuk diakhirkan -yakni akal-, tidak sah mendahulukan yang bersifat kurang dan serba membutuhkan atas yang sempurna dan serba kecukupan. Karena yang demikian itu penyelisihan terhadap akal dan naql." Semoga Allah memberikan taufik kepada apa yang dicintai dan diridhoiNya. Wal ‘ilmu ‘indallah.
Sumber: Buletin Al Wala’ Wal Bara’