Judul tersebut bukan mau menandingi sebuah novel laris manis karya sarjana Al Azhar Mesir yang fenomenal nan monumental, bukan pula mau menandingi pemerintah yang sedang gencar di mass media dalam mengkampanyekan pemberhentian sistem bahan bakar bersubsidi, bahkan bukan pula membahas tentang urusan halal ataupun haramnya pacaran (karena kami yakin, teman-teman lain penulis di situs ini telah menyiapkan soal tersebut). Tulisan ini ditujukan hanya untuk mengasah daya nalar dalam berfikir dan menyadari sebuah realita yang ada aja kok, gak lebih.
Pacaran, sebuah kata yang udah gak tabu lagi buat diucapkan. Bahkan varian demam cinta ini tak hanya melanda hubungan berbeda jenis saja. Tapi pacaran juga berlaku buat mereka yang memiliki hubungan khusus dengan sesama jenis. Nah lho!
Muda-mudi jaman sekarang, bisa dibilang kuper kalo belum pernah ngalamin yang namanya pacaran dalam hidupnya. Justru pujian bagus buat mereka yang suka gonta-ganti pacar, dari mulai play boy sampai buaya darat. Istilah hubungan percintaan bertajuk pacaran emang layak buat dijadikan komoditas publik. Banyak untaian lagu cinta pilihan yang pas buat mereka yang ngerasa sedang pacaran. Menambah suasana pacaran lebih indah dan berkesan. Bukan cuma sekedar pegangan tapi menjurus kesentuhan pun ada. Realita yang sulit buat para aktivis dakwah menutup mata. Sebuah kenyataan yang mudah untuk ditemukan disekitar lingkungan rumah kita.
Sebagian besar mereka yang berpacaran, tentunya memiliki motif tersendiri. Dari yang bersifat umum hingga bersifat khusus. Bersifat umumnya yaa sebagian besar cuma membutuhkan perhatian sampai dorongan semangat, sedangkan yang bersifat khusus adalah pelampiasan hawa nafsu yang liar tak terkendali.
Anehnya dikalangan penganut mazhab pacaran, terselip para pemuda yang masih berseragam dan berjenjang pendidikan wajib belajar. Mereka latah karena mungkin kakaknya, tantenya, omnya, bapaknya, ibunya juga dahulu berpacaran. Jadi legitimasi atas hak asasi untuk berpacaran mesti dibolehkan. Dan orang tua sebagai pengasuh justru malah gak jarang mendukung apa yang dilakukan anaknya yang masih berseragam.
Lebih anehnya lagi segala modal diberikan karena anaknya berubah drastis dari kehidupan sebelumnya gara-gara pacaran. Bener khan?. Kebalik dan sungguh telah terbalik, malah membuat rancu sistem pacaran itu sendiri. Jadi membuat bingung juga sebenarnya yang pacaran itu siapa? Ataukah orang tuanya atau anaknya? Sebab tiap kali sang anak mau memberikan sesuatu ke si pacar, bisa jadi ngajak jalan atau sekedar ngapel dirumah bersangkutan. Pasti yang keluar dana adalah si orang tua. Apa gak malu tuh pacaran masih disubsidi, apa kata dunia!
Namun pemahaman ajaib juga terjadi lagi, ketika banyak mereka para ortu yang melegalkan anaknya pacaran beserta memberikan sokongan dalam pendanaan. Para aktivis dakwah yang justru ingin menghalalkan perbuatan pacaran tersebut dalam kerangka pernikahan lebih cepat, malah dicemooh sebagai barang yang aneh dan baru (kejadian langka ibaratnya). Para ortu tersebut tidak berani memberikan subsidi bagi anaknya yang ingin menikah, tapi malah memberikan subsidi buat kakaknya yang sedang pacaran! Dengan banyak dalih bagi anaknya yang shalih dan ingin menjaga dirinya dengan menikah dituduh sebagai masih kecil dan belum pantas buat menikah...ajiib. kakaknya yang sudah besar lebih gak pantas lagi buat pacaran! Seharusnya demikian.
Itulah ketika kebenaran telah sukses diputar balikkan dengan kebiasaan, sebagian besar orang sekarang menganggap bahwa sebuah kebenaran ialah yang banyak dilakukan dan terbiasa dilihat serta dilaksanakan. Salah satunya adalah pacaran, sedangkan proses sesuai syariat dan kebenaran demi menghilangkan fitnah justru dianggap keanehan. Sungguh sama, persis hari ini dengan kemarin.
Tapi tunggu dulu, ortu bakal kelimpungan ketika para anak yang disayang ketika menyayangi anak orang lain menjadi binal dan sembarangan. Sang pacar pun tekdung alias MBA (Married By Accident) terlebih dulu. Aib pun tersebar dan ortu mengelus dada dengan menikahkan anaknya tanpa rencana. Semua terbengkalai, sebab harusnya pacaran tersebut jadi penyemangat pendidikan sang anak, justru malah menjadi penghancur pendidkan. Sungguh sangat disayangkan.
Sepantasnya bagi orang tua untuk menjaga anaknya yang diamanahkan oleh Allah, bukan malah justru dibantu dalam rangka mendurhakai Allah Ta’ala. Niatnya ingin mendapat cinta dari sang anak, eh justru malah si orang tua memasukkan anaknya kedalam neraka. Ketahuilah pak-bu, bahwasanya pacaran itu adalah pintu menuju perzinahan, dan perzinahan adalah bentuk kekejian yang berasal dari kemaksiatan kepada Allah Ta’ala. Jadi hentikan subsidi kemaksiatan tersebut kepada sang anak.
Jika memang ingin mendapatkan keridhaan dari Allah Ta’ala hendaklah dinikahkan anak tersebut agar tidak meluas fitnah baik di lingkungan maupun di keluarga. Sebab berapa banyak orang tua yang membiarkan anaknya berpacaran dengan seseorang, hasil yang didapat lebih banyak kekecewaan dan kesedihan. Dan itu pasti, disebabkan mereka mengawali jalinan cinta tidak dengan hubungan yang disyariatkan.
Jadi mulai sekarang hentikan kebiasaan yang tidak disyariatkan oleh Islam sebelum semuanya terlambat dan nikahkanlah anak bila memang telah layak. Sedangkan apabila belum mampu maka hendaklah bertakwa kepada Allah Ta’ala.