Waraqah bin Naufal berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidaklah ada seorang pun yang datang membawa ajaran seperti ajaran yang kamu bawa kecuali dia pasti akan dimusuhi.”(HR. Bukhari dalam Kitab Bad’u al-Wahyi [3] dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha)
Permusuhan kepada Islam dan para pembawa panji kebenaran akan selalu berlangsung. Inilah sunnatullah atas hamba-hamba-Nya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Dan demikianlah untuk setiap nabi Kami menjadikan musuh, yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan.” (QS. Al-An’am: 112)
Permusuhan yang telah mendarah daging dan turun temurun di dalam tubuh setiap pembela kebatilan demi merongrong dan meruntuhkan dakwah kebenaran. Inilah yang terus terjadi dan berulang dalam lembaran sejarah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demikianlah setiap kali seorang rasul yang datang kepada orang-orang sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, “Dia itu penyihir atau orang gila.” (QS. Adz-Dzariyat: 52)
Inilah takdir yang Allah gariskan kepada orang-orang beriman. Ujian, fitnah, hambatan, dan godaan dalam mengemban hidayah kepada seluruh alam. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Alif lam mim. Apakah manusia itu mengira dia dibiarkan begitu saja mengucapkan ‘Kami beriman’ kemudian mereka tidak diuji? Sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, agar Allah benar-benar mengetahui siapakah orang-orang yang jujur dan siapakah orang-orang yang dusta.” (QS. Al-’Ankabut: 1-3)
Loyalitas Seorang Muslim
Sahabat seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allah. Sebagai seorang muslim, tentu kita memiliki rasa cemburu terhadap agama kita. Kita tidak senang jika agama dan ajaran yang hanif ini diinjak-injak serta dilecehkan. Kita juga tidak senang berteman dan berkasih sayang dengan orang-orang yang menginfakkan umur dan hartanya untuk memerangi dakwah Islam dan mencabik-cabik kehormatan kaum muslimin. Tentu kita tidak rela.
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Tidak akan kamu jumpai suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir mereka justru berkasih sayang dengan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya, walaupun mereka itu adalah bapak-bapak mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, atau sanak keluarga mereka sendiri…” (QS. Al-Mujadilah: 22)
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya),
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian menjadikan musuh-Ku dan musuh kalian sebagai penolong-penolong -untuk kalian- dimana kalian membocorkan kepada mereka -rahasia kaum muslimin- dengan rasa cinta dan kasih sayang…” (QS. Al-Mumtahanah: 1)
Di dalam tafsirnya, Imam al-Qurthubi rahimahullah menerangkan, “Surat ini [Al-Mumtahanah] adalah dalil pokok yang menunjukkan larangan memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [20/398])
Seorang muslim tentu saja lebih cinta kepada Allah dan Rasul-Nya daripada apa pun yang dia punya. Ini merupakan bagian keimanan yang tak bisa dipisahkan dari hidup dan kehidupannya. Ini adalah nafas dan darah yang mengalir di dalam tubuhnya. Tak akan hidup dan tenang jiwanya tanpa mengabdi dan menuruti kehendak Rabb yang telah menciptakan dirinya. Inilah yang membuahkan rasa manis dan lezat di dalam lubuk hatinya. Sehingga beratnya ketaatan, pedihnya siksaan, jauhnya jarak perjalanan, dan banyaknya musuh yang menghadang, itu semua tidak akan menggoyahkan akidah dan tauhid seorang muslim yang cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Hatinya pun akan tetap merasa tentram dengan keimanan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tiga perkara, barangsiapa yang ketiga hal itu ada pada dirinya niscaya dia akan merasakan manisnya iman. Yaitu tatkala Allah dan Rasul-Nya jauh lebih dicintainya daripada segala sesuatu selain keduanya. Kemudian, tidaklah dia mencintai seseorang kecuali karena kecintaannya kepada Allah. Dan dia juga tidak senang kembali kepada kekafiran setelah Allah selamatkan dirinya dari kekafiran itu sebagaimana halnya dia tidak suka apabila dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Iman [16] dan Muslim dalam Kitab al-Iman [43] dari Anas bin Malikradhiyallahu’anhu)
Loyalitas Tidak Mengikis Prinsip Keadilan
Sahabat seakidah dan seperjuangan yang dirahmati Allah. Meskipun demikian, itu bukan berarti Islam mengajarkan kepada kita untuk bertindak semena-mena. Islam tegak di atas keadilan. Islam tidak membenarkan segala praktek dan unsur kezaliman. Sekalipun terhadap orang bukan Islam.
Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya),
“Dan apabila kamu memutuskan hukum diantara manusia, maka sudah semestinya kamu memutuskan hukum itu dengan keadilan.” (QS. An-Nisaa’: 58)
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),
“Janganlah kebencian kalian kepada suatu kaum membuat kalian tidak berlaku adil kepada mereka. Berlakulah adil, karena hal itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Ma’idah: 8)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menerangkan, maksud dari perintah ‘berlakulah adil’ yaitu baik kepada sesama kawan ataupun kepada lawan/musuh (lihat Zaadul Masiir, hal. 364). Keterangan serupa disampaikan oleh Imam al-Baghawi rahimahullah dalam tafsirnya (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 364)
Kekafiran dan kemusyrikan memang harus dibenci dan dimusuhi. Namun, bukan berarti segala sesuatunya terputus, sehingga tidak ada lagi komunikasi ataupun bakti. Seorang anak yang muslim kalau seandainya dia memiliki orang tua yang kafir sekalipun, maka dia tetap wajib berbakti kepadanya selama bukan untuk bermaksiat dan kufur kepada Allah ta’ala.
Imam Bukhari rahimahullah -Amirul mukminin fil hadits- telah membuat bab yang sangat indah di dalam kitabnya al-Adab al-Mufrad dengan judul: Bab. Berbakti Kepada Orang Tua Yang Musyrik. Di dalamnya beliau bawakan riwayat dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu’anhu. Beliau menceritakan bahwasanya ibunya -yang musyrik- bersumpah untuk tidak makan dan tidak minum sampai Sa’ad mau berpisah meninggalkan ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka, Allah pun menurunkan firman-Nya (yang artinya), “Dan apabila mereka berdua -orang tuamu- memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan apa-apa yang jelas tidak ada ilmu/hujjah bagimu terhadapnya, maka janganlah kamu patuhi mereka berdua, dan tetaplah bersahabat dan bergaul dengan mereka berdua dalam kehidupan dunia ini dengan cara yang baik.” (QS. Luqman: 15) (lihat Rasyul Barad Syarh al-Adab al-Mufrad, hal. 18 oleh Dr. Muhammad Luqman as-Salafi)
Di dalam Shahih Muslim disebutkan, bahwa ibu Sa’ad berkata, “Engkau mengatakan bahwa Allah memerintahkanmu untuk berbakti kepada kedua orang tuamu, sedangkan aku ini adalah ibumu. Dan aku perintahkan kamu untuk melakukan hal ini.” Yaitu meninggalkan agama Islam. Maka Allah pun menurunkan ayat tersebut, “Dan apabila mereka berdua memaksamu untuk mempersekutukan Aku dengan apa-apa yang jelas tidak ada ilmu/hujjah bagimu terhadapnya dst.” (QS. Luqman: 15) (lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad [1/40] oleh Syaikh Husain al-’Awaisyah)
Ayat di atas merupakan dalil yang menunjukkan kewajiban menyambung hubungan dengan kedua orang tua meskipun kafir, baik dengan memberikan harta jika mereka miskin, atau dengan melembutkan ucapan serta mengajak mereka kepada Islam dengan lemah lembut (lihat Syarh Shahih al-Adab al-Mufrad [1/41] oleh Syaikh Husain al-’Awaisyah)
Keindahan Ajaran Islam
Nabi pembawa rahmat shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir mu’ahad -orang kafir yang terikat perjanjian damai dengan umat Islam- maka dia tidak akan mencium harumnya surga. Sesungguhnya harumnya surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun lamanya.” (HR. Bukhari dalam Kitab al-Jizyah wa al-Muwada’ah [3166] dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu’anhuma)
Inilah keindahan dan kemuliaan ajaran Islam! Adakah suatu ajaran yang mengajarkan nilai-nilai keadilan dan kehormatan serta menghargai kemanusiaan lebih tinggi daripada apa yang diajarkan oleh Islam? Islam tidak membenarkan praktek-praktek kekerasan yang tidak sejalan dengan nilai keadilan dan kemanusiaan.
Lebih daripada itu, Islam pun tetap menjaga hubungan kemanusiaan dan mendudukkan manusia pada tempat serta kedudukan mereka yang semestinya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidaklah melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian dalam hal agama dan tidak mengusir kalian dari negeri-negeri kalian. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Imam al-Baghawi rahimahullah menceritakan di dalam tafsirnya, dari Abdullah bin az-Zubair, suatu ketika ibu Asma’ binti Abi Bakar radhiyallahu’anha datang menemui putrinya di rumahnya. Padahal,ibu Asma’ adalah musyrik. Ibunya datang dengan membawa hadiah dan oleh-oleh darinya untuk sang anak.
Maka Asma’ pun berkata kepada ibunya, “Aku tidak akan menerima hadiah apapun darimu dan janganlah kamu memasuki rumahku sampai aku minta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Maka Asma’ pun bertanya kepada Nabi lalu turunlah ayat di atas. Kemudian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan Asma’ membawa masuk ibunya, menerima hadiahnya, berbuat baik kepadanya dan memuliakannya (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 1304)
Demikian indahnya Islam mengajarkan kepada kita untuk menghargai dan menghormati manusia.
Bagaimana Sikap Kita?
Sahabat seakidah, para pemuda muslim yang dirahmati Allah… Sesungguhnya kecintaan kepada Islam, kecemburuan terhadap syari’at Islam, pembelaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, itu semua hanya akan bisa kita lakukan dengan benar dan sesuai koridor agama jika kita memiliki bekal ilmu yang benar tentang ajaran Islam itu sendiri.
Karena berbicara tentang Islam, bertindak dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya adalah sesuatu yang sangat besar dan agung dalam pandangan ulama salaf. Tidakkah kita ingat, ucapan yang diriwayatkan dari Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu, “Langit manakah yang akan menaungi diriku, bumi manakah yang akan aku pijak, kemana aku akan pergi, dan bagaimana yang harus aku perbuat jika aku berbicara tentang satu kata di dalam Kitabullah dengan penafsiran yang tidak dikehendaki oleh Allah tabaraka wa ta’ala.” (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [1/60])
Allah ta’ala pun telah menegaskan dalam ayat-Nya (yang artinya), “Katakanlah: Inilah jalanku, aku mengajak (manusia) kepada Allah di atas dasar bashirah/ilmu. Inilah jalanku dan jalan orang-orang yang mengikutiku…” (QS. Yusuf: 108)
Yang dimaksud dengan dakwah ila Allah (mengajak manusia menuju Allah) adalah mengajak mereka untuk mentauhidkan Allah, bukan dalam rangka meraih ambisi dunia, kepimpinan (baca: kursi), dan tidak juga kepada hizbiyah/fanatisme golongan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 45).
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah pun berkata, “Karena sesungguhnya kebanyakan orang jika mengajak/berdakwah kepada kebenaran maka seringkali -menyimpang- sehingga justru berubah mengajak orang lain untuk mengikuti dirinya sendiri.” (lihat Kitab at-Tauhid yang dicetak bersama al-Qaul al-Sadid, hal 28).
Syaikh Walid Saifun Nashr hafizhahullah mengatakan, “Tauhid merupakan kewajiban paling besar atas manusia, bahkan keistimewaan al-Firqah an-Najiyah yang paling besar adalah dakwah tauhid! Tidak boleh berpindah dari tauhid menuju yang lainnya, akan tetapi berpindah ‘bersamanya’ menuju yang lainnya.” (Daurah Shahih Muslim tahun 1430 H di Kaliurang, Yogyakarta).
Perlu diingat pula, bahwa yang dimaksud dengan dakwah tauhid di sini bukanlah sekedar meyakinkan bahwa Allah adalah satu-satunya pencipta, penguasa dan pengatur alam semesta (tauhid rububiyah). Akan tetapi yang dimaksud adalah mengajak mereka untuk bertauhid uluhiyah. Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “…para rasul tidak diutus untuk menetapkan tauhid rububiyah karena hal itu sudah ada, hanya saja hal itu tidak mencukupi. Akan tetapi Allah mengutus mereka untuk menetapkan tauhid uluhiyah, yaitu mengesakan Allah ta’ala dalam beribadah. Itulah agama para rasul dari sejak yang pertama hingga yang terakhir.” (lihat Syarh Kitab Kasyfu Syubuhat, hal. 20).
“Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. (Syaikh Utsaimin)
Kemudian, salah satu sebab utama yang mengacaukan dakwah ini adalah karena kemiskinan ilmu orang yang mendakwahkannya. Syaikh Utsaimin rahimahullah berkata, “.. Sesungguhnya perkara yang paling banyak merusak dakwah adalah ketiadaan ikhlas atau ketiadaan ilmu. Dan yang dimaksud ‘di atas bashirah’ itu bukan ilmu syari’at saja. Akan tetapi ia juga mencakup ilmu mengenai syari’at, ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi, dan ilmu tentang cara untuk mencapai tujuan dakwahnya; itulah yang dikenal dengan istilah hikmah” (lihat al-Qaul al-Mufid ‘ala Kitab at-Tauhid [1/82]).
Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah berkata, “Adapun orang yang berdakwah tanpa bashirah/ilmu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki.” (lihat Syarh al-Manzhumah al-Mimiyah, hal. 111)
Oleh sebab itulah -wahai saudaraku yang sangat bersemangat-, marilah kita bekali diri kita dengan ilmu dari al-Kitab dan as-Sunnah. Bukankah Imam Bukhari rahimahullah telah mengingatkan kita dengan sebuah bab yang beliau tuliskan di dalam Shahihnya, yaitu Bab. Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat? Bahkan, menimba ilmu dan menyebarkannya pun termasuk bagian dari jihad.
Salah seorang sahabat nabi, Abud Darda’ radhiyallahu’anhu berkata, “Barangsiapa yang berpandangan bahwa berangkat di awal siang atau di akhir siang untuk menghadiri majelis ilmu bukanlah jihad, maka sungguh akal dan pikirannya sudah tidak beres.” (lihat al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu, hal. 6). Allahu a’lam.