Pada tiga artikel sebelumnya, telah dijelaskan bahwa istiqomah merupakan anugerah ilahi, hakikat istiqomah ialah meniti jalan yang lurus tanpa menyimpang ke kanan dan ke kiri, dan pokok keistiqomahan itu terletak di dalam hati, jika hati istiqomah, iman seorang hamba pun akan menjadi lurus.
Kiat Keempat:
Lakukan Yang Terbaik! Jika Tidak Bisa, Lakukan Yang Mendekati Terbaik!
Lakukan Yang Terbaik! Jika Tidak Bisa, Lakukan Yang Mendekati Terbaik!
Dari Abū Hurairah raḍiyallāhu’anhu, Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya agama ini mudah. Tidaklah memberat-beratkan di dalam urusan agama ini kecuali orang itu pasti kalah. Lakukanlah yang terbaik dan paling ideal, dan usahakanlah untuk bisa mendekati ideal, serta berikanlah kabar yang menggembirakan (memotivasi).” (HR. Bukhārī)
Yang dimaksud dengan yang terbaik dan paling ideal di sini adalah dengan melaksanakan sesuatu persis sebagaimana tuntunan Sunnah Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Oleh sebab itu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan doa kepada ‘Alī bin Abī Ṭālib raḍiyallāhu’anhu yang bunyinya,
Allāhummahdinī wa saddidnī,“Ya Allāh, berikanlah petunjuk kepadaku dan luruskanlah segala urusanku.”(HR. Muslim)
Syaikh ‘Abdur Razzāq al-Badr hafiẓahullāh berkata, “Maka, seorang hamba dituntut untuk menundukkan hawa nafsunya agar bisa menepati tuntunan dan meneladani petunjuk Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, manhaj dan perilaku hidupnya, serta dia ber-mujahadah (bersungguh-sungguh) dalam menundukkan jiwanya untuk hal itu. Apabila belum memungkinkan, hendaknya dia lakukan yang paling mendekati kebenaran…. ” (lihat ‘Asyara Qawā’id fil Istiqāmah, hal. 19)
Allāh ta’ālā telah mengisyaratkan hal ini dalam firman-Nya (yang artinya),
“Maka istiqomahlah kalian kepada-Nya dan mintalah ampunan kepada-Nya.”(QS. Fuṣṣilāt)
Disebutkannya istighfar setelah istiqomah di dalam ayat ini mengandung isyarat, bahwasanya sebagus apapun manusia dalam ber-istiqomah, pastilah ia mengalami kekurangan dan keteledoran sehingga hal itu mengharuskan dia untuk terus-menerus memohon ampunan Allāh jalla wa ‘ala karena ia menyadari kekurangannya dalam hal mengendalikan diri dan menundukkannya di atas ketaatan kepada Allāh ta’ālā (lihat ‘Asyara Qawa’id fil Istiqāmah, hal. 19)
Oleh sebab itu, Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk mengiringi ketaatan dengan taubat dan istighfar, serta mengganti keburukan dengan kebaikan-kebaikan. Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bertakwalah kepada Allāh dimanapun kamu berada, dan ikutilah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapuskan keburukan…” (HR. Tirmiżi,ḥadīṡ ḥasan)
Dengan demikian, istiqomah akan bisa tercapai apabila seorang hamba menepati Sunnah Nabi dalam hal ucapan maupun amalan dan keyakinan walaupun mewujudkan hal itu adalah sesuatu yang tidak semudah membalik telapak tangan. Sehebat apapun manusia, manusia tetaplah manusia.
Oleh karena itu, tidak selayaknya kita merasa bahwa kita telah menunaikan kewajiban kita di dalam agama ini dengan sebaik-baiknya. Bahkan, orang-orang yang ṣāliḥ sebelum kita telah memberikan teladan sifat takut dan khawatir terhadap amal mereka sendiri. Mereka takut kalau-kalau mereka tergolong kaum munafik. Mereka takut kalau-kalau amal mereka tidak diterima di sisi-Nya.
Imam Bukhārī raḥimahullāh membuat bab di dalam Ṣaḥīḥnya di Kitab al-Imān sebuah bab dengan judul “Bab. Rasa takut seorang mukmin dari lenyapnya amalannya dalam keadaan dia tidak menyadarinya”.
Di dalamnya beliau membawakan perkataan para ulama salaf yang menunjukkan betapa besar rasa takut mereka terhadap hal ini. Takut kalau-kalau apa yang selama ini mereka lakukan ternyata tidak bermanfaat di sisi Allāh ta’ālā. Padahal, mereka adalah mereka.
Imam Ibnū Baṭṭal raḥimahullāh menerangkan bahwa tujuan Imam Bukhārī dengan bab ini adalah dalam rangka membantah sekte Murji’ah yang mengatakan bahwasanya Allāh sama sekali tidak akan mengażab karena kemaksiatan terhadap orang yang telah mengucapkan lā ilāha illallāh. Menurut Murji’ah pula, bahwa amalan para pelaku maksiat itu pun tidak akan terhapus dengan sebab dosa apapun. Dengan latar belakang itulah Imam Bukhārī membawakan di awal bab ini ucapan para imam dari kalangan tabi’in dan juga penukilan dari para ṣaḥabat nabi yang menunjukkan bahwasanya meskipun mereka adalah orang-orang yang memiliki keutamaan dan kesungguhan dalam beramal, ternyata mereka masih menganggap sedikit amalannya, dan mereka takut kalau-kalau dirinya tidak akan selamat dari ażab Allāh (lihat Syarh Ṣaḥīḥ al-Bukhārī karya Ibnū Baṭṭal [1/110])
Ucapan Ibrāhīm at-Taimi
Ibrāhīm at-Taimi raḥimahullāh berkata,
“Tidaklah aku menghadapkan ucapanku kepada perbuatanku kecuali aku khawatir bahwa aku pasti akan didustakan.”
Ibrahim at-Taimi adalah salah seorang fuqaha tabi’in dan ahli ibadah di antara mereka. Maksud ucapan beliau adalah,
“Aku takut orang yang melihat amalanku akan mendustakanku apabila perbuatanku bertentangan dengan apa yang aku katakan sehingga orang itu akan berkata, “Seandainya kamu jujur niscaya kamu tidak akan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ucapanmu.”” (lihat Fath al-Bari [1/136-137])
Ucapan Ibnu Abī Mulaikah
- Ibnu Abī Mulaikah raḥimahullāh berkata, “Aku telah bertemu dengan tiga puluh orang ṣaḥābat nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Mereka semua takut kemunafikan minimpa dirinya. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengatakan bahwa keimanannya sejajar dengan keimanan Jibril dan Mika’il.”
- Para Sabahat yang ditemui oleh Ibnu Abi Mulaikah ketika itu -yang paling mulia diantara mereka- adalah ‘Aisyah, Asma’, Ummu Salamah, Abdullah bin ‘Abbas, Abdullah bin ‘Umar, Abdullah bin ‘Amr, Abu Hurairah, ‘Uqbah bin al-Harits, dan al-Miswar bin Makhramah.
Perasaan itu muncul dalam diri mereka disebabkan seorang mukmin terkadang amalannya tercampuri oleh hal-hal yang bertentangan dengan keikhlasan. Bukan berarti, apabila mereka takut akan hal itu, mereka benar-benar terjerumus ke dalamnya. Akan tetapi, itu semua dikarenakan kesungguhan mereka dalam halwara’/kehati-hatian dan ketakwaan. Mereka sadar, bahwa keimanan manusia tidaklah seperti keimanan Jibril yang tidak pernah tertimpa kemunafikan. Mereka sadar, bahwa keimanan manusia itu bertingkat-tingkat, tidak dalam derajat yang sama, tidak sebagaimana orang-orang Murji’ah yang beranggapan bahwa keimanan orang-orang yang paling baik (kaum ṣiddīqqīn) sama dengan keimanan orang-orang selain mereka (lihat Fath al-Bari [1/137])
Ucapan Al-Ḥasan al-Baṣrī
Al-Ḥasan al-Baṣrī raḥimahullāh juga mengatakan,
“Tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.”
Ja’far al-Firyabi mengatakan, “Qutaibah menuturkan kepada kami. Dia berkata, “Ja’far bin Sulaiman menuturkan kepada kami, dari al-Mu’alla bin Ziyad. Dia berkata, “Aku mendengar Al-Ḥasan bersumpah di dalam masjid ini,
“Demi Allāh, yang tidak ada sesembahan -yang benar- selain Dia. Tidaklah berlalu dan hidup seorang mukmin melainkan dia pasti merasa takut dari kemunafikan. Tidaklah berlalu dan hidup seorang munafik melainkan dia pasti merasa aman dari kemunafikan.” Beliau (Al-Ḥasan Al-Baṣrī) berkata, “Barangsiapa yang tidak khawatir dirinya tertimpa kemunafikan, justru dialah orang munafik.”””” (lihat Fath al-Bārī [1/137])
Ismā’īl bin Isḥāq menyebutkan riwayat dengan sanadnya, dari ‘Aisyah raḍiyallāhu’anhā, bahwa suatu ketika dia bertanya kepada Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tentang orang-orang yang dimaksud oleh ayat (yang artinya), “Orang-orang yang memberikan apa yang telah berikan, sedangkan hati mereka merasa takut.” (QS. al-Mukminūn: 60). Maka, Nabi menjawab,
“Mereka itu adalah orang-orang yang rajin menunaikan ṣālat, berpuasa, dan bersedekah. Meskipun demikian, mereka merasa takut apabila amal-amal mereka tidak diterima di sisi-Nya.” (lihat SyarhṢaḥīḥ al-Bukhārī karya Ibnu Baṭṭal [1/110])
Imam Ibnū Kaṡīr raḥimahullāh berkata, “Bersama dengan kebaikan, keimanan, dan amal ṣaliḥ yang ada pada diri mereka, ternyata mereka juga senantiasa merasa takut dan khawatir akan hukuman Allāh serta makar-Nya kepada mereka, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Ḥasan al-Baṣrī,
“Seorang mukmin memadukan antara berbuat ihsan/kebaikan dengan rasa takut. Adapun orang kafir memadukan antara berbuat jelek/dosa dan rasa aman.”.” (lihat Tafsīr al-Qur`ān al-’Aẓīm [5/350]).
Demikianlah keadaan orang-orang yang tauhidnya lurus. Mereka khawatir diri mereka terjerumus ke dalam hal-hal yang merusak keimanan mereka dalam keadaan mereka tidak menyadarinya. Ibrāhīm ‘alahis salām -seorang Nabi Allāh, Ulul Azmi, bapaknya para Nabi, pemimpin orang-orang yang bertauhid, dan kekasih ar-Rahmān- pun menyimpan rasa takut yang sangat besar dari kemusyrikan.
Allāh ta’ālā mengisahkan doa yang beliau panjatkan,
“(Wahai Rabbku) Jauhkanlah aku dan anak keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim: 35).
Ibrahim at-Taimi pun berkomentar,
“Lantas, siapakah yang bisa merasa aman dari musibah (syirik) setelah Ibrahim?” (lihat Fath al-Majid Syarh Kitāb at-Tauḥīd, hal. 72 cet. Dār al-Ḥādiṡ)
Syaikh Muḥammad bin Ṣāliḥ al-Uṡaimīn raḥimahullāh berkata,
“Ibrāhīm ‘alaihis salām bahkan mengkhawatirkan syirik menimpa dirinya, padahal beliau adalah kekasih ar-Rahmān dan imamnya orang-orang yang ḥanīf/bertauḥīd. Lalu, bagaimana menurut Anda dengan orang-orang seperti kita ini? Maka, janganlah Anda merasa aman dari bahaya syirik. Jangan merasa diri Anda terbebas dari kemunafikan karena tidaklah merasa aman dari kemunafikan kecuali orang munafik dan tidaklah merasa takut dari kemunafikan kecuali orang mukmin.” (lihat al-Qaul al-Mufīd ‘alā Kitāb at-Tauḥīd [1/72] cet. Maktabah al-’Ilmu)
Nah, apabila mereka -dengan segala keutamaan yang Allāh berikan kepada mereka- saja sedemikian takut akan nasib diri dan amalannya, apakah kemudian kita berani membusungkan dada seraya berkata dengan lantang kepada dunia, “Aku telah melakukan segalanya dengan baik dan benar. Tidak ada cacatnya, dan tidak ada sedikit pun kekurangan padanya?”
Wallāhul musta’ān.
artikel: www.pemudamuslim.com
* sumber ilustrasi gambar: http://ht.ly/eU7pQ