Tuesday, February 24, 2015

10 Kiat Menggapai Istiqomah (Bagian 2)

10 Kiat Menggapai Istiqomah (Bagian 2)

Segala puji bagi Allāh. Salawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullāh. Amma ba’du.
Sahabat seakidah, pemuda muslim yang dirahmati Allāh. Telah berlalu nasehat yang pertama dalam kiat-kiat untuk menggapai istiqomah; yaitu bahwasanya istiqomah adalah anugerah dari Allāh. Ia bukanlah hasil dari jerih payah atau usaha manusia semata sehingga kita tidak boleh lupa diri, seolah-olah itu semua merupakan buah kerja keras dan kepandaian kita.
Berikutnya, kiat yang kedua untuk menggapai istiqomah itu adalah memahami dengan baik apa sesungguhnya hakikat istiqomah yaitu meniti jalan lurus (ṣirāṭal mustaqīm); perkara yang senantiasa kita minta setiap hari di dalam ṣalat kita. Bagaimana mungkin kita bisa istiqomah jika kita tidak paham apa itu istiqomah; apa itu jalan lurus yang harus kita tempuh?
Kiat Kedua:
Mengenal Hakikat Istiqomah
Perlu diketahui, bahwa orang yang istiqomah adalah orang yang bertauhid. Yaitu orang yang beribadah kepada Allāh semata serta mengingkari segala sesembahan selain-Nya. Hal itu sebagaimana dijelaskan oleh Abū Bakr aṣ-Ṣiddīq raḍiyallāhu’anhu tatkala menafsirkan ayat (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan Rabb kami adalah Allāh, kemudian mereka istiqomah.” Beliau mengatakan,
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mempersekutukan Allāh dengan sesuatu apapun.” (lihat ‘Asyara Qawa’id fil Istiqomah, hal. 11)
Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu’anhumā juga mengatakan mengenai maksud ‘istiqomah’ pada ayat di atas adalah istiqomah di atas syahadat laa ilaha illallāh. Tafsiran serupa juga diriwayatkan dari Anas, Mujahid, Zaid bin Aslam, ‘Ikrimah, dan lain-lain. Tidak jauh dari makna ini penafsiran Abul ‘Aliyah raḥimahullāh. Beliau berkata, “Maksudnya, kemudian mereka itu mengikhlaskan agama dan amalan untuk-Nya.” (lihat ‘Asyara Qawa’id fil Istiqomah, hal. 12)
Selain itu, orang yang istiqomah adalah yang konsisten melaksanakan amal-amal yang diwajibkan kepadanya. Sebagaimana tafsiran yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu’anhumā mengenai ayat tersebut. “Kemudian mereka istiqomah” maksudnya adalah,
“Kemudian mereka istiqomah dalam menunaikan hal-hal yang diwajibkan oleh-Nya.” (lihat ‘Asyara Qawa’id fil Istiqomah, hal. 12)
Bisa juga dimaknakan dengan makna yang lebih luas; bahwasanya orang yang istiqomah adalah yang tidak melalaikan ketaatan kepada-Nya. Dia terus konsisten dengan ketaatan; yaitu menjalankan perintah-perintah Allāh dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Qatadah raḥimahullāh menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan istiqomah adalah istiqomah di atas ketaatan kepada-Nya (lihat ‘Asyara Qawa’id fil Istiqomah, hal. 13)
Dengan kata lain, istiqomah adalah konsisten di atas ajaran agama Islam. Tegak di atas Sunnah Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam. Tunduk kepada hukum-hukum Allāh dan Rasul-Nya.
Imam Ibnu Rajab al-Hanbali rahimahullah mengatakan,
“Hakikat istiqomah adalah menempuh jalan yang lurus; yaitu agama yang benar ini. Tanpa melenceng ke kanan maupun ke kiri. Sehingga istiqomah itu mencakup segala ketaatan yang dilakukan, lahir maupun batin. Ia pun mencakup tindakan meninggalkan segala larangan -baik yang lahir maupun yang batin, pent-…” (lihat ‘Asyara Qawa’id fil Istiqomah, hal. 13)
Jalan Lurus vs Jalan Setan
Allāh ta’ālā berfirman memberitakan ucapan Nabi ‘Isa ‘alaihis salām (yang artinya),
“Maka bertakwalah kalian kepada Allāh dan taatilah aku. Sesungguhnya Allāh adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Ali Imran: 50-51, lihat juga QS. Az-Zukhruf: 63-64).
Syaikh as-Sa’di raḥimahullāh berkata,
“Inilah, yaitu penyembahan kepada Allāh, ketakwaan kepada-Nya, serta ketaatan kepada rasul-Nya merupakan ‘jalan lurus’ yang mengantarkan kepada Allāh dan menuju surga-Nya. Adapun yang selain jalan itu adalah jalan-jalan yang menjerumuskan ke neraka.” (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 132)
Termasuk dalam cakupan jalan lurus adalah menjauhi segala kekafiran dan kemaksiatan yang itu merupakan syi’ar ajaran setan. Allāh ta’ala berfirman (yang artinya),
“Bukankah Aku telah berpesan kepada kalian, wahai keturunan Adam; Janganlah kalian menyembah setan. Sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagi kalian. Dan sembahlah Aku. Inilah jalan yang lurus.” (QS. Yasin: 60-61).
Syaikh as-Sa’di raḥimahullāh menerangkan, bahwa yang dimaksud beribadah kepada setan adalah menaati ajakan-ajakannya, sehingga ‘menaati setan’ itu mencakup segala bentuk kekafiran dan kemaksiatan. Adapun jalan yang lurus itu adalah beribadah kepada Allāh, taat kepada-Nya, dan mendurhakai setan (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 698)
Dalam memaknai jalan lurus ini memang terdapat beberapa penafsiran di kalangan para ulama.
  • Ibnu ‘Abbas raḍiyallāhu’anhumā mengatakan bahwa yang dimaksud jalan lurus adalah Islam.
  • Ibnu Mas’ud raḍiyallāhu’anhu mengatakan bahwa maksudnya adalah al-Qur`ān.
  • Bakr bin Abdillāh al-Muzani berkata bahwa maksudnya adalah jalan Rasulullāh ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.
Semua penafsiran ini tidak bertentangan dan saling menjelaskan. Barangsiapa yang istiqomah di atas jalan yang lurus yang bersifat maknawi ketika hidup di dunia, kelak di akhirat dia akan selamat ketika meniti ṣiraṭ yang sebenarnya; yaitu jembatan yang dibentangkan di atas neraka.
(lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 21, Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [1/37])
Kesimpulan
Apabila kita cermati keterangan-keterangan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa seorang yang ingin istiqomah harus menjauhi hal-hal sebagai berikut:
  1. Syirik; karena ini merupakan dosa terbesar yang akan melemparkan seorang keluar dari jalan lurus sejauh-jauhnya, dan syirik itulah target utama dakwah setan kepada umat manusia.
  2. Riya’; karena ia bertentangan dengan keikhlasan dan lebih berat dosanya daripada dosa-dosa besar, walaupun memang pelaku riya’ tidak menjadi kafir sebagaimana pelaku syirik akbar.
  3. Melalaikan kewajiban; sebab amal atau ibadah yang wajib lebih dicintai oleh Allāh daripada ibadah-ibadah yang sunnah/mustaḥab. Meninggalkan amal yang wajib mengakibatkan konsekuensi dosa dan siksa, tidak sebagaimana amalan mustaḥab
  4. Menerjang larangan; sebab ketaatan hanya akan terwujud dengan menunaikan kewajiban dan menjauhi larangan. Orang yang senantiasa bergelimang dengan larangan Allāh sulit untuk istiqomah. Termasuk perkara yang dilarang adalah bid’ah.
  5. Kekafiran dan maksiat secara umum; karena orang yang terjerumus dalam kekafiran dan maksiat pada hakikatnya telah berubah menjadi pemuja setan, bukan hamba Allāh yang sejati.
  6. Meninggalkan al-Qur`an; yaitu dengan tidak membacanya, tidak merenungi artinya, tidak melaksanakan ajarannya, tidak membenarkan beritanya, dan tidak tunduk kepada hukum-Nya.
 artikel: www.pemudamuslim.com
—–
* sumber ilustrasi gambar: http://ht.ly/eeAoG