Pendahuluan
Saudaraku seiman, semoga Allah subhaanahu wa ta’aalaa merahmati kita
semua. Baru saja kita meninggalkan tahun 1432 Hijriyyah. Tak terasa
usia kita telah bertambah. Namun saudaraku, sadarkah kita bahwa umur
kita telah berkurang dan kematian semakin mendekati kita?
Sehingga seorang yang cerdas dia akan berusaha mengevaluasi dirinya.
Dia melihat kekurangan yang ada pada masa lalunya untuk kemudian
berusaha memperbaikinya pada masa-masa mendatang.
Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman (yang artinya):
“Allah, Dia-lah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah,
Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat,
Kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha
mengetahui lagi Maha Kuasa.”(Ar-Rum: 54)
Al-Imam Ibnu Katsir asy-Syafi’i rahimahullaah ketika menjelaskan ayat ini berkata, “Allah subhaanahu wa ta’aalaa memperingatkan
(dengan ayat ini -pent) atas perubahan-perubahan (fase) yang terjadi
pada manusia, terkait dengan kondisi mereka tahapan demi tahapan.” (Tafsir Ibnu Katsir 6/327)
LimaFase Kehidupan Seorang Insan
Saudara pembaca, setiap insan yang dikaruniai umur panjang dia pasti
akan melalui, atau melihat orang lain melalui beberapa tahapan dalam
hidupnya.
Al-Imam Ibnul Jauzi rahimahullaah dalam kitabnya Tanbihun Na’imil Ghamir ala Mawasimil ‘Umurmenyebutkan ada 5 tahapan yang mesti dilalui oleh setiap insan. Setiap tahapan membutuhkan ta`ammul(perenungan) dan tafakkur (memikirkan),
agar masing-masing kita bisa melakukan yang terbaik pada setiap tahapan
yang kita lalui tersebut. Berikut penjelasannya:
1.Fase pertama: Dari dilahirkan hingga usia baligh (kurang-lebih 15 tahun)
Masa ini adalah masa-masa untuk menanam, yakni fase pembentukan anak
yang dibentuk dengan selera dan keinginan orang tuanya masing-masing.
Maka pada masa ini tanggung jawab pendidikan mereka lebih ditujukan pada
orang tua atau wali dari masing-masing anak tersebut. Hal ini
sebagaimana sabda Nabishallallaahu ‘alaihi sallam:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fithrah, maka orang
tuanyalah yang menjadikan anaktersebut seorang Yahudi, Nashrani, atau
Majusi.” (HR.Muslim)
Sang anak lahir dalam keadaan mengetahui apa-apa, tidak mengerti apa
saja yang bisa memberi manfaat maupun yang mendatangkan bahaya baginya.
Sehingga pada tahapan ini sangat bergantung pada pendidikan orang tua
kepada anak-anaknya masing-masing. Jika dia mendidik mereka dengan Tarbiyyah Maddiyyah” (pendidikan
materi/duniawi), maka anak tersebut akan tumbuh sebagai anak yang
berorientasi ke dunia (materi) saja. Yang dipikirkan dan dikerjakannya
adalah demi kepentingan duniawi atau meraih materi semata, sebagaimana
yang terjadi pada kaum Hedonis.
Demikian pula sebaliknya, jika yang diupayakan oleh orang tuanya adalah Tarbiyah Diniyyah (pendidikan agama), maka dengan izzin Allah subhaanahu wa ta’aalaa anak tersebut akan tumbuh dan berkembang menjadi anak yang shalih atau shalihah.
Maka yang dituntut untuk berperan aktif pada fase ini adalah para orang tua, agar mereka senantiasa memberikan Tarbiyah Diniyyah kepada anak mereka, sehingga dihasilkan anak-anak yang shalih dan shalihah. Sebagaimana yang telah Allah subhaanahu wa ta’aalaa perintahkan:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”(At-Tahrim: 6)
Dengan cara mengajari dan membenahi akidah (keyakinan), ibadah, muamalah, akhlak, dan adab sang anak, sesuai tuntunan syariat.
Karena masa-masa ini merupakan tahapan yang menentukan bagi
seseorang. Jika orang tua mampu (dengan izin Allah) mencetak
anak-anaknya menjadi anak yang shalih dan shalihah, maka Insya Allah
pada tahap berikutnya akan lebih mudah untuk dilalui. Namun jika orang
tuanya gagal dalam mendidik sang anak pada tahapan ini, maka pada
fase-fase berikutnya akan jauh lebih sulit untuk dilalui.
2. Fase kedua: Dari usia baligh sampai akhir usia syabab (35 tahun)
Pada usia ini seseorang sudah menjadi mukallaf (terbebani
syariat). diperintah oleh syariat untuk mengerjakan sesuatu atau
diperintah oleh Allah untuk meninggalkan sesuatu. Dalam tahapan ini bisa
kita sebut dengan masa jihad, yaitu jihad melawan nafsu dan iblis
beserta bala tentaranya. Sehingga dalam masa ini seseorang dituntut
bersungguh-sungguh untuk berperang melawan hawa nafsunya.
Pada waktu yang sama, sang anak baru saja baligh, yang saat ini
merupakan usia labil. Keumuman mereka lebih mengedepankan hawa nafsu,
belum bisa menimbang mana yang baik dan mana yang buruk. Mereka lebih
mengutamakan dorongan nafsu sepintas. Maka pada fase kedua ini
tergantung dari keberhasilan fase yang pertama.
Jika orang tuanya berhasil mendidik dia pada fase pertama, maka pada
masa ini akan lebih mudah untuk mengarahkan sang anak. Mudah bagi dia
untuk mengenali syahwat yang menggodanya, juga mudah baginya untuk
mengenali syubuhat (kerancuan-kerancuan) yang ada. Dia akan
menjadi pemuda yang shalih, siap berperang melawan hawa nafsunya. Yang
seperti ini karena keberhasilan tarbiyah (pendidikan) yang sebelumnya.
Jika dia berhasil melewati fase ini maka dia tergolong pemuda yang
mulia, memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Rabb Semesta Alam subhaanahu wa ta’aalaa, sebagaimana yang dikabarkan oleh Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam:
“Tujuh golongan yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa akan menaungi
mereka di hari kiamat, yang ketika itu tidak ada naungan kecuali
naungan-Nya: (di antaranya) seorang pemuda yang dia tumbuh berkembang
dalam keadaan taat beribadah pada Rabb-nya.” (Muttafaq ‘alaihi)
Hadits ini menjelaskan adanya pemuda yang berhasil melalui fase kedua
tadi, menang dalam jihad melawan hawa nafsunya. Dia meraih keutamaan
ini dengan melakukan perjuangan yang berat, dengan penuh kesabaran,
karena jarang ada kawula muda yang rela mengorbankan waktunya untuk
duduk, tafaqquh fid din (belajar agama), dan melakukan
ketaatan-ketaatan lainnya. Ini jika dibandingkan dengan mayoritas kawula
muda yang hanyut dalam kemaksiatan, berkubang dalam syahwat, hura-hura,
foya-foya dan semisalnya.
Jika pada fase kedua ini berhasil maka akan lebih mudah bagi dia
untuk melalui fase berikutnya. Namun sebaliknya, jika gagal maka akan
lebih mengerikan. Karena dia akan menjadi seorang pemuda yang hanya
memperturutkan hawa nafsunya, larut dalam melakukan berbagai
kemaksiatan, dan kemungkaran. Wal ‘iyadzu billah
3. Fase ketiga: Dari usia 35 – 50 tahun
Kita bisa menyebutnya dengan masa “aji mumpung,” bisa
bermakna positif dan bisa negatif. Jika sebelumnya dia berhasil menjadi
pemuda yang shalih, maka pada usia ini dia akan menggunakannya secara
positif. Mumpung (selagi masih ada waktu) untuk meneruskan dan terus
melakukan amal shalih, mumpung masih memiliki kekuatan dari sisa-sisa
masa mudanya, untuk terus di atas amalan-amalan ketaatan. Karena
demikianlah yang dia dapatkan dari tarbiyah (pendidikan) sebelumnya.
Di atas umur 40 tahun ketika uban mulai tumbuh, rambut, dan jenggotnya mulai memutih, maka dia akan banyak melakukan muhasabah (introspeksi diri). Dia mencari apa yang kurang pada masa lalunya untuk kemudian dilengkapi, jika ada yang salah maka dia cepat ruju’ (kembali) dan bertaubat kepada Allah. Demikianlah keadaan seorang yang shalih.
Namun sebaliknya jika pada fase sebelumnya gagal, maka ini pun menjadi aji mumpung yang
negatif. Mumpung belum terlalu tua, mumpung masih punya sisa-sisa
kekuatan, maka sekalian saja untuk melampiaskan hawa nafsunya, nanti
saja bertaubatnya kalau sudah tua. Seolah-olah ajal atau kematian ada di
tangannya. Kondisinya semakin mengerikan, kita berlindung kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaadari keadaan yang seperti ini.
4.Fase keempat: Dari usia 50 – 70 tahun
Pada masa ini seorang yang shalih dan shalihah maka dia akan menggencarkan muhasabah (introspeksi
diri). Dia memiliki program untuk mempersiapkan kedatangan maut, banyak
mengingat mati, dan memperbanyak amal shalih.
Adapun sebaliknya seseorang yang pada fase-fase sebelumnya gagal dan
pada usia ini dia masih berprinsip“aji mumpung,” maka sungguh
keterlaluan. Karena secara fisik sudah tidak memadai baginya, karena
umumnya sudah renta, ringkih, dan lemah. Secara usia pun sudah tidak
sepantasnya.
Jika pada masa-masa ini dia masih senang melakukan dosa dan
kemaksiatan, maka dalam islam orang semacam ini akan dilipatgandakan
hukuman untuknya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammengabarkan:
“Ada tiga jenis manusia, yang Allah subhaanahu wa ta’aalaa tidak
mengajak mereka berbicara pada hari kiamat, tidak pula melihat mereka,
dan bagi mereka adzab yang pedih, (satu diantaranya -pent) seorang tua
renta yang melakukan zina.”(HR. Muslim no. 107)
Diterangkan oleh para ulama, dilipatgandakan hukuman baginya karena
faktor-faktor yang mendorong dia untuk berzina sudah sangat lemah, sudah
tidak sepadan dengan umurnya. Tetapi ketika dia masih senang melakukan
perbuatan dosa semisal ini, maka dia termasuk orang tua yang celaka.
5. Fase kelima Dari usia 70 tahun keatas (masa renta dan umumnya pikun)
Pada fase ini seorang yang shalih dia akan memperbanyak istighfar (meminta ampun) dan taubatnya kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa, meningkatkan amal ibadahnya, serta memohon untuk mendapatkan husnul khatimah (akhir kehidupan yang baik).
Penutup
Maka saudaraku, yang penting bagi kita adalah mengetahui pada fase ke
berapakah sekarang kita berada? Sehingga bisa mengoreksi dan
memperbaiki keadaan kita masing-masing. Ketika dianugerahkan kepada kita
keadaan yang baik, maka perbanyaklah syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’aalaa. Namun sebaliknya, jika kondisi buruk yang mencengkeram kita, maka bersegeralah untuk memperbaikinya.
Wallahu A’lam bis Shawab
Catatan:
Artikel dengan judul ini merupakan hasil traskrip dari muhadharah
ilmiah yang disampaik oleh al-Ustadz Muhammad Afifuddin dalam kunjungan
beliau ke Ma’had As-Salafy, Jember