Sebuah kenikmatan yang besar tatkala seorang wanita muslimah diberikan hidayah oleh Allah subhanahu wa ta’ala untuk mengenal dan kemudian berpegang teguh dengan aqidah serta manhaj salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Agar nikmat besar yang tiada taranya ini terus langgeng, maka wajib untuk dijaga dengan mensyukurinya. Di antara bentuk syukur tersebut adalah berusaha bersikap dan berhias dengan beberapa sifat yang menjadi kekhususan wanita salafiyah, yang tidak dimiliki oleh selain mereka.
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah telah menjelaskan beberapa sifat dan perangai wanita salafiyah tersebut, di antaranya adalah:
1. Seorang wanita salafiyah itu berpegang teguh dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam batas-batas kemampuan dia menurut pemahaman as-salafush shalih.
2. Seharusnya bagi seorang wanita salafiyah untuk bermuamalah dengan
kaum muslimin dengan muamalah yang baik, dan bahkan juga terhadap
orang-orang kafir. Allah ‘azza wa jalla berfirman dalam Kitab-Nya yang mulia,
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْناً
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (Al-Baqarah: 83)
Dan Allah juga berfirman,
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian menunaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa’: 58)
Dan Allah subhanahu wata’ala juga berfirman,
وَإِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوا
“Dan apabila kalian berkata, maka hendaklah kalian berlaku adil.” (Al-An’am: 152)
Dan Dia subhanahu wa ta’ala juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ
بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ
الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيّاً أَوْ فَقِيراً
فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا
وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ
خَبِيراً
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian orang yang
benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap diri kalian sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabat kalian.
Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kalian mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari
kebenaran. Dan jika kalian memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala
yang kalian kerjakan.” (An-Nisa’: 135)
3. Wajib pula bagi seorang wanita salafiyah untuk mengenakan pakaian
Islami (yang sesuai dengan syari’at), dan menjauhi sikap tasyabbuh
(menyerupai) musuh-musuh Islam.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad rahimahullah di dalam Musnadnya dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk mereka.”
Dan Allah yang Maha Mulia telah berfirman tentang pakaian (yang syar’i) ini,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلابِيبِهِنَّ
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri kaum mukminin: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Al-Ahzab: 59)
At-Tirmidzi meriwayatkan di dalam kitab Jami’nya dari hadits Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
المَرْأَةُ عَوْرَةٌ، فَإِذَا خَرَجَتْ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ
“Wanita itu aurat, jika dia keluar maka syaithan akan mengikutinya.”
4. Kami juga menasehatkan kepada wanita salafiyah untuk bersikap baik
terhadap suaminya jika dia memang menginginkan kehidupan yang bahagia,
karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلاَئِكَةُ
“Jika seorang suami mengajak istrinya untuk menuju tempat
tidurnya (untuk berhubungan) kemudian si istri tersebut enggan, maka
Malaikat akan melaknatnya (si istri tersebut).” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dan dalam riwayat Muslim dalam shahihnya dengan lafazh,
إِلَّا كَانَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ سَاخِطًا عَلَيْهَا
“… kecuali para penduduk langit akan murka kepadanya.”
5. Demikian pula hendaknya seorang wanita salafiyah itu menjaga dan mendidik anak-anaknya dengan didikan yang Islami.
Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam shahih keduanya dari hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap kalian adalah pemimpin (penanggung jawab), dan
masing-masing kalian akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya (menjadi
tanggung jawabnya).”
Dan kemudian beliau menyebutkan tentang wanita, bahwa dia itu,
رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا
“Pemimpin (penanggungjawab) di rumah suaminya, dan dia akan
ditanya tentang apa yang menjadi tanggung jawab dia di rumahnya
tersebut.”
Dan di dalam ash-Shahihain, dari shahabat Ma’qil bin Yasar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ عَبْدٍ اسْتَرْعَاهُ اللَّهُ رَعِيَّةً، فَلَمْ يَحُطْهَا بِنَصِيحَةٍ، إِلَّا لَمْ يَجِدْ رَائِحَةَ الجَنَّةِ
“Tidaklah ada seorang hamba yang diberi oleh Allah tanggung
jawab, kemudian dia tidak mau untuk mengembannya dengan memberikan
nasehat kepada siapa saja yang dipimpinnya itu, kecuali dia tidak akan
mendapatkan aroma surga.”
Sehingga tidak selayaknya bagi seorang wanita salafiyah itu
tersibukkan dengan dakwah daripada memberikan pendidikan kepada
anak-anaknya.
6. Demikian juga seharusnya bagi seorang wanita salafiyah untuk
meridhai hukum yang telah ditetapkan oleh Allah, yaitu lebih utamanya
seorang laki-laki daripada wanita. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ
“Dan janganlah kalian iri hati terhadap sesuatu yang dikaruniakan
Allah kepada sebahagian kalian, lebih banyak dari sebahagian yang
lain.” (An-Nisa’: 32)
Allah subhanahu wata’ala juga berfirman,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ
اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي
الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian
yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shalih, ialah
yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kalian
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di
tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaati
kalian, maka janganlah kalian mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.”
(An-Nisa’: 34)
Dalam ash-Shahihain dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّهُنَّ خُلِقْنَ
مِنْ ضِلَعٍ، وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ، فَإِنْ
ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ، وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ،
“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para
istri), karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan
sesungguhnya tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang paling atas.
Jika engkau berusaha meluruskannya, maka engkau akan mematahkannya, jika
dibiarkan maka ia akan tetap bengkok.”
Maka sudah seharusnya bagi seorang wanita untuk bersabar terhadap
ketentuan Allah ini kepadanya, berupa keutamaan laki-laki daripada
wanita. Namun bukan berarti bahwa seorang laki-laki itu boleh
“memperbudak” wanita.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda –sebagaimana dalam Kitab Al-Jami karya Al-Imam At-Tirmidzi:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا، فَإِنَّمَا هُنَّ عَوَانٌ
عِنْدَكُمْ ، لَيْسَ تَمْلِكُوْنَ مِنْهُنَّ غَيْرَ ذَلِكَ أَلَا إِنَّ
لَكُمْ فِيْ نِسَاءِكُمْ حَقًّا ، أَلَا وَإِنَّ لِنِسَائِكُمْ عَلَيَكُمْ
حَقًّا ، فَحَقُّكُمْ عَلَيْهِنَّ أَنْ لَا يُوطِئْنَ فُرُشَكُمْ مَنْ
تَكْرَهُونَ وَلَا يَأْذَنَّ فِي بُيُوتِكُمْ مَنْ تَكْرَهُونَ ،
وَحَقُّهُنَّ عَلَيْكُمْ أَنْ تُحْسِنُوا إِلَيْهِنَّ فِي طَعَامِهِنَّ وَ
كِسْوَتِهِنَّ
“Berwasiatlah kalian dengan kebaikan kepada para wanita (para
istri), karena mereka itu seperti tawanan kalian. Kalian tidak memiliki
kekuasaan terhadap mereka sedikitpun selain itu. Ketahuilah bahwa kalian
mempunyai hak-hak yang harus ditunaikan oleh istri-istri kalian, dan
mereka juga mempunyai hak yang harus kalian tunaikan. Adapun hak kalian
yang harus ditunaikan oleh istri kalian adalah mereka tidak boleh
mengijinkan seorangpun berada di tempat tidur kalian dan mereka tidak
mengijinkan masuk ke dalam rumah kalian orang yang tidak kalian sukai.
Sedangkan hak istri kalian yang wajib kalian tunaikan adalah memberikan
makanan dan pakaian dengan baik kepada mereka.” (HR. At-Tirmidzi)
Dan dalam Kitab as-Sunan dan Musnad Al-Imam Ahmad dari shahabat Mu’awiyah bin Haidah, bahwa ada seseorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apa hak istri salah seorang di antara kami terhadap suaminya?” Beliau menjawab,
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا
اكْتَسَيْتَ، أَوِ اكْتَسَبْتَ، وَلَا تَضْرِبِ الْوَجْهَ، وَلَا
تُقَبِّحْ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Hendaknya engkau memberi makan kepadanya ketika engkau makan,
engkau memberikan pakaian kepadanya ketika engkau berpakaian atau telah
bekerja, jangan memukul wajahnya, jangan mencelanya, dan jangan
menghajrnya (memboikotnya) keculi di rumah saja.”
Maka, semoga Allah melimpahkan barakah-Nya kepada kalian, sudah
semestinya bagi kita semua untuk saling membantu di dalam kebaikan.
Seorang suami bergaul dengan istrinya dengan pergaulan yang Islami,
membantu dia untuk menuntut ilmu dan berdakwah kepada Allah. Dan juga
istri hendaknya juga bergaul dengan suaminya dengan pergaulan yang
Islami, membantunya untuk menuntut ilmu dan berdakwah di jalan Allah,
serta membantunya dalam mengatur rumah tangga dengan baik. Karena Allah ‘azza wajalla berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الْأِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kalian di atas kebajikan dan ketaqwaan, dan janganlah tolong-menolong di atas dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2).
Wallahul Musta’an.
Dinukil dari Kitab Majmu’ Al-Fatawa An-Nisa’iyah karya Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah.