Disalin kitab Kaifa Yajibu ‘Alaina Annufasirral Qur’anal Karim, edisi Indonesia Tanya Jawab Dalam Memahami Isi Al-Qur’an, Penulis Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terbitan Pustaka At-Tauhid, penerjemah Abu Abdul Aziz
- Pertanyaan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Syaikh yang mulia! Saya membaca di sebuah kitab kecil satu hadits yang berbunyiArtinya : “Ambillah (ayat) apapun dari Al-Qur’an untuk keperluan apapun yang engkau inginkan” [Adh-Dhoifah No. 557]Apakah hadits ini shahih ? Kami mohon jawaban. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas anda dengan kebaikan.
Jawaban.Dalam beberapa bahasa, hadits tersebut cukup terkenal terutama lewat khutbah-khutbah dan ceramah-ceramah. Tetapi sayang sekali hadits tersebut termasuk hadits yang tidak ada asal-usulnya dalam sunnah. Oleh karena itu kita tidak boleh meriwayatkannya atau menyandarkan perkataan tersebut kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari segi makna, hadits tersebut sangat bertentangan dengan syari’at Islam. Coba kita renungkan.“Ambillah (ayat) apapun dari Al-Qur’an untuk keperluan apapun yang engkau inginkan”Misalnya, seandainya kita duduk-duduk saja di salah satu ruangan di rumah kita, tidak bekerja dan tidak melakukan aktifitas apapun, sementara kita mengharapkan Allah menurunkan rezeki (uang) dari langit, dengan alasan kita mengambil/menggunakan Al-Qur’an untuk medapatkan rezeki dengan cara seperti ini. Apakah kita yang berakal sehat melakukan hal seperti ini?
Ini adalah perkataan yang jelas-jelas batil. Hal seperti di atas hanya dilakukan orang-orang sufi pemalas yang kerjanya hanya duduk-duduk dan berdiam diri di satu tempat yang mereka namakan “tempat pengikatan”. Di tempat tersebut tidak ada yang mereka lakukan kecuali menunggu-nunggu datangnya rezeki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala lewat orang-orang yang menaruh belas kasih terhadap mereka.Ketahuilah bahwa kelakuan seperti ini bukan kebiasaan seorang muslim, sebab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendidik seluruh kaum muslimin untuk memiliki semangat yang tinggi, cita-cita yang luhur, serta kebanggaan diri.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.Artinya : “Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang dibawah. Tangan yang di atas adalah si pemberi, sedang tangan yang di bawah adalah si peminta” [Shahih Bukhari No. 1429 dan Shahih Muslim No. 103]Saya terkejut ketika saya membaca beberapa kisah tentang orang-orang zuhud dan orang-orang Sufi yang sengaja bepergian jauh tanpa membawa perbekalan sedikitpun. Dia mengira yang dilakukannya merupakan suatu bentuk tawakkal kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ketika tiba di suatu tempat di ditimpa kelaparan yang sangat dahsyat dan merasa seolah-olah ajal sudah dekat, tiba-tiba dari kejauhan tampak sebuah perkampungan. Dengan tertatih-tatih dia mendekati kampung tersebut. Kebetulan hari itu adalah hari Jum’at. Karena dari awal dia sudah berniat untuk “bertawaqal” hanya kepada Allah saja, maka dia tidak mau memperlihatkan dirinya yang sedang kelaparan kepada orang-orang yang berada di masjid. Dan untuk lebih menjaga rasa “tawaqalnya”, dia memutuskan untuk tidak ikut shalat Jum’at di masjid kampung tersebut, tetapi malah bersembunyi di bawah mimbar agar tidak diketahui oleh siapapun.Anehnya lagi …. ketika shalat Jum’at telah selesai dan orang-orangpun sudah banyak yang pulang serta pintu-pintu masjid sudah ditutup, dia berdehem berulangkali sambil menggerak-gerakkan badannya. Kemudian beberapa orang menghampirinya dan selanjutnya mereka memberikan pertolongan dengan minuman dan makanan.
Orang sufi itu ditanya oleh orang-orang yang menghampirinya : “Siapa anda ?” Dia menjawab : “Aku adalah seorang yang zuhud dan bertawakkal hanya kepada Allah saja” Salah seorang penduduk kampung tersebut berkata : “Kalau engkau betul-betul bertawaqal kepada Allah, kenapa engkau minta tolong kepada kami dengan cara berdehem-dehem? Kenapa engkau tidak pasrah saja kepada Allah sampai engkau mati denan membawa dosa-dosamu?”. Inilah perumpamaan dari hadits palsu di atas.“Ambillah (ayat) apapun dari Al-Qur’an untuk keperluan apapun yang engkau inginkan”Kesimpulannya adalah bahwa hadits tersebut tidak ada asal-usulnya sama sekali. - Pertanyaan. Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ditanya : Syaikh yang kami muliakan ! Kami mohon keterangan dan penjelasan dari anda terhadap ayat-ayat dan hadits berikut ini.Artinya : “Dan segala sesuatu telah kami terangkan dengan sejelas-jelasnya” [Al-Isra : 12]
Artinya : “Tidak kami tinggalkan di dalam Al-Kitab ini sesuatupun (tidak ada satupun yang tidak kami tulis di dalam kitab ini)” [Al-An'am : 38]Artinya : Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an ini ujungnya ada di tangan Allah dan ujung satunya lagi ada di tangan kalian. Maka berpegang teguhlah kalian dengan Al-Qur’an, sebab kalian tidak akan sesat dan tidak akan binasa selama-lamanya selama kalian berpegang teguh dengannya” [Shahih Targhib wa Tarhib 1/93/35]
Jawaban.Adapun ayat.Artinya : “Tidak satupun yang tidak kami tulis di dalam Al-Kitab” [Al-An'am : 38]Yang dimaksud “kitab” di dalam ayat ini adalah lauh mahfudz (tempat Allah menulis semua kejadian), bukan Al-Qur’anul Karim.
Tentang ayat.Artinya : “Dan segala sesuatu telah kami terangkan dengan sejelas-jelasnya” [Al-Isra : 12]Menurut keterangan dari Allah dan Rasul-Nya (Al-Qur’an dan Hadits) makna dari ayat ini ada dua macam.
- Secara tafshil, yaitu terperinci (seperti : Shalat, zakat, haji, dan seterusnya, -pent-)
- Secara mujmal, yaitu garis besarnya saja atau kaidah-kaidah/batasan-batasannya saja, (seperti masalah khamr, masalah bid’ah, tasyabuh, dan lain-lain, -pent-)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.Artinya : “Tidak ada satupun perintah Allah yang belum aku sampaikan kepada kalian, begitu juga tidak ada satupun larangan Allah yang belum aku sampaikan kepada kalian” [Ash-Shahihah No. 1803]Padahal kalau kita lihat hari ini, jenis khamr dan bid’ah barangkali jumlahnya mencapai puluhan bahkan mungkin ratusan. Apakah puluhan khamr dan ratusan bid’ah ini semuanya diterangkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam satu persatu? Ternyata tidak, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mejelaskan kaidah dan batasan-batasannya saja. Di antara hadits-haditsnya adalah :Artinya : “Tidak boleh menimpakan bahaya kepada diri sendiri dan kepada orang lain” [Shahihul Jaami' No. 7517]
Artinya : “Setiap yang memabukkan adalah khamr, dan setiap khamr adalah haram” [Irwa'ul Ghalil 8/40/2373]Artinya : “Setiap bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat pasti di neraka” [Shahih Targhib wa Tarhib 1/92/34]Inilah kaidah-kaidah umum yang bersifat luas dan menyeluruh yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kaidah-kaidah seperti ini maka seluruh permasalahan yang menyangkut tentang khamr, bid’ah, perbuatan yang membahayakan keselamatan diri sendiri, dan lain-lain, semua bisa kita tentukan hukumnya satu persatu.Hal ini betul-betul menunjukkan bahwa Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menerangkan segala hukum syar’i dengan sejelas-jelasnya. Tapi sekali lagi, keterangan-keterangan tersebut kadang-kadang hanya berupa kaidah-kaidah dan batasan saja. Tidak diperinci satu persatu.Adapun tentang hukum-hukum fiqih seperti tata cara wudhu, shalat, pusa, zakat, haji dan lain-lain, semuanya sudah dijelaskan dan dicontohkan secara rinci di dalam sunnah. Bahkan kadang-kadang dijelaskan langsung oleh Allah di dalam Al-Qur’an. Misalnya tentang hukum faraidh (pembagian warisan).Tentang derajat hadits yang ditanyakan di atas, hadits tersebut shahih. Mengamalkan hadits tersebut adalah dengan cara berpegang teguh dengan Al-Qur’an. Dimana disebutkan dalam hadits tersebut bahwa Al-Qur’an merupakan tali yang ujungnya ada di tangan Allah dan ujung satunya lagi ada di tangan kita. Dan kita harus tahu bahwa kita tidak mungkin bisa berpegang teguh dengan Al-Qur’an tanpa mempelajari dan mengamalkan sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berupa hadits-hadits yang shahih.
Sebagaimana disabdakan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.Artinya : “Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama-lamanya selagi kalian berpegang teguh kepada dua perkara tersebut, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasul”[Misykatul Mashabih 1/66/186
Dari :