Redaksi Al Wala’ Wal Bara’
Dasar-dasar dalam Berdakwah kepada Allah
Sesungguhnya
berdakwah kepada Allah adalah jalannya Rasulullah dan para pengikutnya,
sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya): "Katakanlah: Inilah
jalan (Dien)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kalian)
kepada Allah di atas hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik." (Yuusuf:108)
Bahkan berdakwah kepada Allah adalah sesuatu yang paling dipentingkan oleh para Rasul dan pengikut-pengikutnya semuanya, yang bertujuan untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya, dari kekufuran kepada iman, dari kesyirikan kepada tauhid dan dari neraka menuju surga. Yang dakwah ini harus bersandar di atas tonggak-tonggak dan berdiri di atas dasar-dasar Islam yang kokoh.
Maka
kalau dakwah tersebut kosong dari salah satu saja dari tonggak-tonggak
dan dasar-dasar Islam tersebut maka tidak akan terwujud dakwah yang
benar dan tidak akan menghasilkan buah yang diharapkan meskipun dengan
mengeluarkan segala daya upaya dan menghabiskan waktu sebagaimana hal
ini dapat disaksikan dan yang telah menimpa kebanyakan dakwah-dakwah
jama’ah sekarang yang tidak berdiri di atas tonggak-tonggak dan
dasar-dasar Islam.
Inilah
tonggak-tonggak yang akan terbangun di atasnya dakwah yang benar
sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Kitab dan As-Sunnah, secara ringkasnya
adalah sebagai berikut:
1. Berilmu terhadap apa yang didakwahkan, maka orang yang bodoh tidak layak menjadi da’i, Allah berfirman (yang artinya): "Katakanlah:
Inilah jalan (Dien)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kalian) kepada Allah di atas bashiirah. Maha Suci Allah, dan aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik." (Yuusuf:108), yang dimaksud
bashiirah adalah ilmu. Karena sesungguhnya para da’i mesti akan
menghadapi ‘ulama-’ulama sesat yang akan melontarkan syubhat dan
mendebatnya dengan kebathilan untuk membantah Al-Haq. Allah berfirman
(yang artinya): "Dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An-Nahl:125), dan Rasulullah berkata kepada Mu’adz (yang artinya): "Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab." (Muttafaqun ‘alaih dari Ibnu ‘Abbas)
Maka
apabila seorang da’i tidak bersenjatakan ilmu yang dengannya dapat
menghadapi setiap syubhat dan dapat membantah setiap lawannya maka dia
akan kalah pada awal pertemuaanya dengan lawan dakwahnya dan akan
berhenti di awal perjalanan dakwahnya.
2.
Beramal dengan apa yang didakwahkan sehingga dia menjadi tauladan yang
baik, perbuatannya membenarkan ucapannya dan tidak ada jalan bagi
orang-orang yang bathil untuk menghujjatnya. Allah berfirman tentang
Nabi-Nya Syu’aib bahwasanya dia berkata kepada kaumnya (yang artinya): "Dan
aku tidak berkehendak menyalahi kalian (dengan mengerjakan) apa yang
aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama
aku masih berkesanggupan." (Huud:88)
3.
Ikhlash, yaitu dakwah yang dia jalankan semata-mata untuk mencari Wajah
Allah bukan karena riya`, sum’ah, ketinggian derajat sosial,
kepemimpinan ataupun rakus terhadap dunia. Karena kalau dakwahnya
tercampuri dengan sesuatu dari tujuan-tujuan tersebut maka dakwahnya
bukan untuk Allah tetapi untuk dirinya atau untuk ketamakan yang dia
inginkan. Allah mengkhabarkan tentang para Nabi-Nya yang berkata kepada
ummatnya (yang artinya): "Aku tidak meminta upah kepada kalian." (Al-An’aam:90; Huud:51), "Aku tidak meminta kepada kalian harta (sebagai upah)." (Huud:29)
4.
Memulai dengan yang paling penting kemudian yang penting, yaitu pertama
kali memulai kepada perbaikan ‘aqidah dengan memerintahkan agar
mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah semata dan melarang dari
kesyirikan kemudian memerintahkan untuk menegakkan shalat, menunaikan
zakat, mengerjakan kewajiban-kewajiban dan meninggalkan hal-hal yang
diharamkan yang ini merupakan jalannya semua Rasul sebagaimana Allah
berfirman (yang artinya): "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja),
dan jauhilah Thaghut itu." (An-Nahl:36)
5. Bersabar terhadap apa yang akan dia jumpai dalam berdakwah kepada Allah dari kesulitan-kesulitan dan gangguan-gangguan manusia.
6.
Wajib bagi seorang da’i untuk berhias dengan akhlaq yang baik dengan
menerapkan hikmah dalam dakwahnya karena hal ini lebih memudahkan untuk
diterima dakwahnya. Allah berfirman (yang artinya): "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (An-Nahl:125)
7.
Wajib bagi seorang da’i agar kuat cita-citanya, tidak putus asa dari
pengaruh dakwahnya dan memberikan petunjuk kepada kaumnya dan jangan
berputus asa dari pertolongan Allah walaupun telah lama berdakwah.
Inilah
Nabi Nuh telah berdakwah kepada kaumnya selama 950 tahun. Dan Nabi
Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh berat gangguan
orang-orang kafir kepadanya sampai datang kepadanya malaikat gunung
menawarkan kepadanya agar ditimpakan kepada mereka gunung, tapi
Rasulullah menyatakan: "Biarkan mereka, semoga Allah mengeluarkan dari
keturunan mereka orang-orang yang beribadah kepada Allah semata dan
tidak menyekutukan-Nya sedikitpun."
Maka
barangsiapa yang tidak memiliki sifat (yang ketujuh) ini maka dia akan
berhenti di awal dakwahnya dan akan kembali dengan kegagalan.
Daulah Islamiyyah Sebuah Tujuan?
Daulah Islamiyyah Sebuah Tujuan?
Sesungguhnya
dakwah yang tidak berdiri di atas dasar-dasar tersebut dan tidak tegak
di atas manhaj para Rasul maka dakwah tersebut akan mengalami kegagalan
dan akan lenyap serta hanya akan mendapatkan keletihan yang tidak ada
faidahnya.
Dan
contoh yang dapat dijadikan pelajaran yang menunjukkan kegagalan dakwah
adalah sejumlah jama’ah dakwah yang ada pada masa kini yang membuat
aturan-aturan tersendiri sebagai manhajnya dalam berdakwah yang
menyelisihi manhaj para Rasul. Manhaj dakwah mereka lalai akan seruan
yang sangat prinsip, kecuali hanya sedikit, yaitu seruan penegakan
‘aqidah/tauhid. Mereka justru berkutat habis dalam memperjuangkan
masalah lainnya. Adakalanya menyeru kepada perbaikan sistem
pemerintahan, politik dan tuntutan tegaknya hukum serta pelaksanaan
syariat dalam memutuskan perkara yang timbul di antara manusia.
Walaupun
perjuangan dalam hal-hal tersebut adalah persoalan penting, namun bukan
yang terpenting. Bagaimana kita menuntut ditegakkannya pelaksanaan
hukum Allah terhadap pencuri, pezina dan lainnya sebelum kita menuntut
dilaksanakan hukum Allah atas diri orang musyrik? Bagaimana kita
menuntut ditegakkannya hukum Allah terhadap dua orang yang berselisih
dalam masalah kambing dan unta, sebelum ditegakkannya hukum Allah
terhadap para penyembah berhala dan kuburan, dan terhadap orang-orang
yang mengingkari Asma’ Allah dan Sifat-Nya, yang mereka menolak lafazh
atau makna Sifat-sifat Allah tersebut dan menyimpangkan serta merubah
lafazh atau makna yang sebenarnya?
Apakah
orang-orang musyrik yang lebih durhaka ataukah orang-orang yang berbuat
zina, minum khamr dan mencuri? Sebenarnya zina, mencuri dan sejenisnya
adalah perbuatan yang menyangkut "hak hamba", sedangkan kesyirikan dan
penolakan terhadap Nama-nama dan Sifat-sifat Allah adalah suatu tindak
kejahatan yang menyangkut "hak Allah", bukankah hak Allah ‘Azza wa Jalla
harus ditunaikan lebih dahulu dibandingkan hak hamba?
Berkata
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: "Maka dosa-dosa seperti zina, minum
khamr, mencuri dan yang sejenisnya, selama masih disertai dengan
lurusnya tauhid, adalah lebih baik dibandingkan dengan rusaknya tauhid
walaupun tidak disertai perbuatan-perbuatan dosa tersebut."
(Al-Istiqaamah 1/466)
Di
antara jama’ah yang harus meluruskan manhaj dakwahnya adalah jamaah
yang dalam perjuangannya lebih memfokuskan kepada persoalan syiar-syiar
ta’abbudi dan berusaha keras untuk mengerjakan dzikir-dzikir dengan
mengikuti metode sufisme atau mengutamakan kegiatan rihlah, melakukan
perjalanan dan rekreasi dalam dakwahnya. Mereka berharap dapat
menghimpun manusia sebanyak mungkin dalam kegiatan-kegiatan semacam itu,
namun mereka tidak memberikan perhatian yang cukup bagi penegakkan
‘aqidah.
Inilah
jalan yang ditempuh ahli bid’ah. Mereka memutar-balikkan marhalah
(metode dakwah) yang ditempuh para Rasul, sehingga yang terjadi adalah
yang semestinya di belakang dijadikan di depan; yang seharusnya
diakhirkan malah didahulukan; bermaksud mengobati suatu bagian dari
tubuh namun hakikatnya membiarkan organ yang paling penting bertambah
rusak, sebab ‘aqidah ibaratnya kepala dalam tubuh kita yang merupakan
bagian yang paling pokok.
Yang
harus dilakukan oleh sejumlah jama’ah dakwah yang ada saat sekarang ini
adalah memperhatikan dan mengenali kembali manhaj dakwah kepada Allah
‘Azza wa Jalla dengan mengambil rujukan kepada Kitabullah dan Sunnah
Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Karena
sesungguhnya Allah telah mengkhabarkan bahwa kekuasaan atau Daulah
Islamiyyah -yang merupakan tujuan dakwahnya jama’ah-jama’ah saat ini
yang telah disinggung di atas- tidak akan terwujud kecuali setelah
adanya pembenahan ‘aqidah dengan cara beribadah kepada Allah semata dan
meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya.
Marilah
kita perhatikan janji Allah yang pasti ditepati, jika kita telah
memenuhi syarat-syaratnya dalam firman-Nya berikut ini (yang artinya): "Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kalian
dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan
menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan
orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan
meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan
Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada
dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan
tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang
(tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang
fasik." (An Nuur: 55)
Sedemikian
jelas janji itu, namun kita saksikan sekarang ini sejumlah jama’ah
dakwah menghendaki tegaknya Daulah Islamiyah sementara aqidah-aqidah
Watsaniyyah Al Mutamatstsilah (’aqidah keberhalaan dengan segala
bentuknya) masih menjadi anutan penduduk negerinya. Masih banyak orang
yang menyembah orang mati dan menjalin kontak dengan kuburan-kuburan,
suatu praktek kesyirikan besar yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
para penyembah Latta, ‘Uzza serta Manat, bahkan jauh lebih sesat
darinya.
Jika
kita bersikeras untuk menegakkan hukum syari’at, yang mengandung arti
penegakan hukum perdata maupun pidana, serta penegakan Daulah
Islamiyyah, menjauhi larangan-larangan dan mengerjakan seluruh
kewajiban, yang semuanya itu merupakan perkara-perkara yang termasuk
hak-hak tauhid dan kesempurnaannya, sedangkan tauhid yang prinsip itu
sendiri kita abaikan? Konsekuensi tauhid didahulukan, sedangkan
tauhidnya sendiri tertinggal jauh di belakang? Tidakkah itu berarti
menegakkan yang cabang sedangkan yang paling pokok ditelantarkan?
Kami
melihat bahwa apa yang terjadi pada jama’ah-jama’ah yang berdiri di
atas manhaj yang bertentangan dengan manhaj para Rasul dalam metode
dakwahnya kepada Allah adalah suatu kebodohan, padahal orang yang bodoh
tidak pantas menjadi da’i, sebab termasuk persyaratan terpenting dalam
dakwah adalah ilmu, sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Katakanlah:
Inilah jalan (Dien)-ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak
(kalian) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Maha Suci Allah, dan aku
tiada termasuk orang-orang yang musyrik." (Yuusuf:108)
Kita
perhatikan bahwa jama’ah-jama’ah dakwah yang menisbatkan kepada
kepentingan dakwah, memiliki aturan dan manhaj yang berbeda-beda. Aturan
suatu jama’ah tidak dimiliki jama’ah lainnnya. Ini merupakan satu
indikasi bahwa manhaj jama’ah tersebut bertentangan dengan manhaj para
Rasul, sebab manhaj para Rasul itu hanya satu, tidak terbagi-bagi, tidak
bermacam-macam dan tidak pula ada ikhtilaf, sebagaimana firman Allah
yang tertera pada surat Yuusuf di atas.
Maka
jika benar jama’ah dakwah itu mengikuti manhaj Rasulullah, mengikuti
jalan yang satu ini, pasti mereka tidak saling ikhtilaf. Adanya ikhtilaf
dikarenakan bertentangan dengan jalan ini yaitu jalannya para Rasul.
Allah berfirman (yang artinya): "Dan bahwa (yang Kami perintahkan)
ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kalian
mengikuti jalan-jalan yang lain, karena jalan-jalan itu
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya." (Al-An’aam:153)
Ketika
kita lihat bahwasanya keadaan jama’ah-jama’ah dakwah tersebut saling
berbeda dan bertentangan dalam manhajnya, sedangkan perbedaan dan
pertentangan manhaj antar jama’ah justru membahayakan bagi Islam itu
sendiri, sehingga kita harus mencegah orang yang ingin memasukkannya ke
dalam Islam dan menjelaskan bahwasanya hal itu bukan dari Islam sedikit
pun, sebagaimana firman Allah (yang artinya): "Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka menjadi
bergolong-golongan, tak ada sedikit pun tanggungjawabmu terhadap
mereka." (Al-An’aam:159)
Telah menjadi keyakinan yang pasti bahwa Islam selalu menyeru kepada persatuan (ijtima’) di atas kebenaran, sebagaimana firman-Nya (yang artinya): "Dan hendaklah kalian semuanya berpegang teguh kepada tali (dien) Allah, dan janganlah kalian (sekali-kali) bercerai-berai." (Aali ‘Imraan:103)
Dengan memperhatikan keadaan jama’ah dakwah yang sedemikian memprihatinkan itu, maka wajib bagi bangkitnya sekelompok ‘ulama yang mempunyai kecemburuan terhadap agamanya untuk menjelaskan manhaj jama’ah yang benar, sebagaimana manhaj para Nabi dalam dakwah kepada Allah, serta menyingkap dan membongkar penyimpangan manhaj yang dianut oleh jama’ah-jama’ah dakwah sekarang ini. Dengan demikian diharapkan jama’ah-jama’ah itu dengan penuh kesadaran kembali kepada Al-Haq dan memegangnya dengan kuat, karena sesungguhnya Al-Haq itu merupakan barang yang hilang bagi mukmin (yang harus dicari). Wallaahu A’lam.
Diringkas dari Taqdiim Kitab Manhajul Anbiyaa` fid Da’wati ilallaah oleh Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan
Sumber: Al Wala’ Wal Bara’
Judul Asli: Daulah Islamiyah, Sebuah Tujuan?
Edisi ke-32 Tahun ke-2 / 02 Juli 2004 M / 14 Jumadil Ula 1425 H
Edisi ke-32 Tahun ke-2 / 02 Juli 2004 M / 14 Jumadil Ula 1425 H