A. Hukumnya
Zakaatul fithri hukumnya wajib menurut hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul fithri kepada manusia di bulan Ramadhan." (HR al Bukhori dan Muslim). Dan menurut hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul fithri." (HR Abu Dawud dan an Nasa`i).
Sebagian
ahli ilmu menetapkan bahwa (kedua) hadits tersebut terhapus (mansukh)
dengan hadits dari Qais bin Sa’d bin ‘Ubadah, "Rosulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan kami bershadaqah fithri sebelum turun
ayat (perintah) tentang zakat (maal), maka tatkala turun ayat tersebut
beliau tidak memerintahkan dan tidak melarang kami dan kami masih tetap
mengerjakannya."
Dan al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah telah menjawabnya (3/ 368), "Bahwa dalam sanadnya ada seorang periwayat yang majhul.
Maka berdasarkan ketentuan yang benar, tidak ada dalil akan
penghapusannya, karena kemungkinan merasa cukup dengan perkara
dikarenakan turunnya suatu kewajiban tidak mengharuskan gugurnya
kewajiban yang lain."
Al Khathaabi rahimahullah berkata di dalam Ma’alimus Sunan (2/ 214), "Dan ini tidak menunjukkan bergesernya kewajibannya, yang demikian itu bahwa penambahan yang terjadi di dalam sebuah jenis ibadah tidak mesti menghapuskan yang pokok yang ditambahkan atasnya, hanya saja tempat zakat harta dan posisi zakaatul fithri berdekatan."
B. Siapa yang Wajib Mengeluarkan Zakat?
Zakaatul
fithri wajib bagi anak kecil, orang dewasa, laki-laki, wanita, orang
yang merdeka dan budak dari kaum muslimin menurut hadits Abdullah bin
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mewajibkan zakaatul fithri satu shaa’ kurma atau satu shaa’
gandum bagi budak, orang yang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil dan
orang dewasa dari kaum muslimin." (HR al Bukhori dan Muslim).
Sebagian ahli ilmu berpegang kepada (pendapat) wajib bagi budak yang kafir menurut hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, "Tidak ada shodaqoh yang wajib bagi seorang hamba / budak, kecuali shodaqotul fithri." (HR Muslim).
Dan hadits ini umum, sedangkan hadits Ibnu ‘Umar khusus. Dan yang dimaklumi, bahwa yang khusus itu menetapkan yang umum. Dan yang lain berkata, "Tidak wajib, kecuali atas orang puasa menurut hadits Ibnu Abbas, bahwa Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul fithri sebagai pensuci bagi orang yang berpuasa dari perbuatan yang sia-sia / main-main, keji dan dalam rangka memberi makan orang miskin."
Al
Khathaabi rahimahullah berkata di dalam Ma’alimus Sunan (3/ 214),
"Zakat itu wajib bagi setiap orang yang puasa lagi mampu dan memiliki
kelapangan atau orang fakir yang berusaha semampunya. Apabila
kewajibannya karena alasan pensucian sedangkan semua orang yang berpuasa
sangat membutuhkannya, maka jika mereka bersekutu dalam ‘illat
(sebabnya), mereka pun terkena kewajiban tersebut."
Dan
al Hafizh rahimahullah berkata (3/ 369), "Bahwa penyebutan pensucian
itu telah keluar dari keumuman tidaklah hal itu diwajibkan hanya bagi
orang yang tidak berdosa, seperti orang yang merealisasikan kebaikan
atau seorang yang baru masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari."
Dan
sebagian mereka berpendapat wajibnya bagi janin, kami tidak mengetahui
satu dalil pun dalam masalah itu. Dan janin itu tidaklah dinamakan anak
kecil baik secara bahasa dan kebiasaan.
C. Jenis-jenis Zakaatul Fithri
Zakaatul
fithri dikeluarkan (berupa) satu shaa’ gandum atau satu shaa’ kurma
atau satu shaa’ keju atau satu shaa’ kismis (anggur yang dikeringkan)
atau satu shaa’ salt (gandum tanpa kulit), sesuai dengan hadits Abu
Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, "Dahulu kami mengeluarkan
zakaatul fithri (berupa) satu shaa’ makanan atau satu shaa’ gandum atau
satu shaa’ kurma, satu shaa’ keju atau satu shaa’ kismis." (HR al Bukhori dan Muslim).
Dan juga menurut hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Telah diwajibkan zakaatul fithri satu shaa’ gandum atau satu shaa’ kurma atau satu shaa’ salt." (HR Ibnu Majah dan al Hakim).
Telah
diperselisihkan tentang tafsir lafazh "ath tho’am (makanan)" dalam
hadits Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu, maka dikatakan "al
hinthah (padi)", dan ada yang mengatakan selain itu. Dan pendapat yang
kuat (yang menenangkan jiwa), makanan yang dimaksud di sini bersifat
umum, meliputi seluruh makanan, seperti: padi (beras), jenis-jenis yang
telah disebutkan sebelumnya (tepung dan tepung gandum). Kesemuanya itu
telah dikerjakan pada jaman Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, "Rosulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kami untuk menunaikan
zakat Ramadhan (berupa) satu shaa’ dari makanan bagi anak kecil, orang
dewasa, orang merdeka dan budak, barangsiapa yang mengeluarkan salt akan
diterima darinya dan aku memperkirakan beliau berkata, ‘Barangsiapa
mengeluarkan tepung akan diterima darinya dan barangsiapa mengeluarkan
tepung gandum akan diterima darinya’." (HR Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih).
Dan darinya (Ibnu Abbas) radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, "Shodaqoh
Ramadhan itu satu shaa’ dari makanan, barangsiapa yang datang dengan
membawa biji-bijian akan diterima darinya, yang membawa gandum akan
diterima, yang membawa kurma akan diterima, yang membawa gandum tanpa
biji akan diterima serta barangsiapa datang dengan kismis akan diterima
darinya. Dan aku memperkirakannya beliau telah berkata, ‘Barangsiapa
datang dengan membawa tepung gandum akan diterima darinya’." (HR Ibnu Khuzaimah dengan sanad shahih).
Adapun hadits-hadits yang menafikan keberadaan al hinthah (padi) atau bahwa Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu telah berpendapat mengeluarkan dua mud samra (sejenis padi) dari negeri Syam, bahwa ia sebanding dengan satu shaa’, maka yang demikian itu mungkin karena jarang serta beraneka ragamnya macam dan bentuk jenis lainnya atau keberadaan jenis ini mendominasi pada makanan mereka. Dan pengertian ini telah dikuatkan dengan ucapan Abu Sa’id, "Dan makanan kami adalah gandum, kismis, keju, dan kurma."
Selanjutnya
penjelasan tentang takaran-takarannya dari hadits-hadits yang shahih
lagi jelas akan menghentikan persangkaan orang yang menyelisihi
keberadaan al hinthah (padi), yaitu dua mud darinya sebanding dengan
satu shaa’, maka hendaklah seorang muslim mengetahui kadar kedudukan
para shahabat Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, menempatkan
mereka sesuai dengan tempat dan kedudukannya, bahwa pendapat Mu’awiyah
bukanlah ijtihad dan ro`yunya semata, akan tetapi disandarkan kepada
hadits yang marfu’ sampai kepada Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
D. Ukuran-ukurannya
Seorang
muslim mengeluarkan zakatnya satu shaa’ (satu shaa’ = tiga mud, satu
mud = dua telapak tangan orang dewasa) makanan dari berbagai jenis yang
telah disebutkan sebelumnya dan mereka telah berselisih dalam masalah al
hinthah (padi), ada yang mengatakan setengah shaa’ dan ini yang paling
kuat dan paling shahih, menurut sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam, "Keluarkanlah satu shaa’ dari biji-bijian atau setengah
shaa’ gandum di antara dua atau satu shaa’ kurma atau satu shaa’ gandum
dari setiap orang yang merdeka, budak, anak kecil, dan orang dewasa." (HR Ahmad dari Tsa’labah bin Shu’air, sanad para perawinya tsiqah / tepercaya).
Dan
ukuran satu shaa’ yang diakui adalah ukuran shaa’ penduduk Madinah
sesuai dengan hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata
Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Ukuran timbangan adalah timbangannya penduduk Makkah dan ukuran takaran adalah takarannya penduduk Madinah." (HR Abu Dawud, an Nasa`i, dan al Baihaqi dengan sanad yang shahih).
E. Dari Siapa Seseorang Mengeluarkan Zakat?
Seorang
muslim mengeluarkannya dari dirinya sendiri dan setiap orang yang
menjadi tanggungannya (seperti) anak kecil, orang dewasa, laki-laki,
wanita, orang yang merdeka, dan budak. Hal ini sesuai dengan hadits Ibnu
‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah memerintahkan mengeluarkan shodaqotul fithri dari anak
kecil, orang dewasa, bukan budak maupun budak yang menjadi
tanggungannya." (HR ad Daruquthni dan al Baihaqi, hadits hasan).
F. Sasaran Pengeluarannya
Tidaklah
zakat itu dikeluarkan kecuali kepada yang berhak menerimanya, yakni
fuqara dan kaum miskin sesuai dengan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakaatul
fithri sebagai pensuci bagi seorang yang berpuasa dari segala hal yang
sia-sia / main-main, perbuatan keji dan dalam rangka memberi makan
kepada fakir miskin."
Dan
inilah yang dipilih Syaikhul Islam di dalam Majmu’ul Fatawa (25/ 71-78)
dan muridnya Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’aad (2/ 44). Sebagian ahli
ilmu berpendapat, bahwa zakat diberikan kepada delapan golongan, dan
pendapat ini tidak ada dalilnya. Syaikhul Islam telah menentukannya di
dalam sumber yang telah disebutkan di atas, maka rujuklah, karena itu
penting sekali!
Dan
disunnahkan adanya orang yang mengkoordinir zakat dan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mewakilkan urusan ini kepada Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, "Rosulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan kepadaku agar aku menjaga zakat Ramadhan." (HR Al Bukhori).
Dan
sungguh Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma biasa memberikan zakat itu
kepada orang-orang yang menangani zakat, yakni para amil yang telah
ditunjuk oleh pemerintah untuk mengumpulkannya dan hal itu dilakukan
sehari atau dua hari sebelum ‘Idul Fithri. Telah dikeluarkan oleh Ibnu
Khuzaimah (4/ 83), dari jalan Abdul Waarits, dari Ayyub: Aku berkata,
"Kapan Ibnu ‘Umar biasa mengeluarkan satu shaa’?" Ia berkata, "Bila
telah ditunjuk seorang amil zakat." Aku berkata, "Kapan ditunjuknya
seorang amil itu?" Ia berkata, "Satu hari atau dua hari sebelum ‘Idul
Fithri."
G. Waktunya
Zakaatul
fithri dikeluarkan sebelum keluarnya manusia untuk sholat ‘Id dan tidak
boleh diakhirkan (setelah) sholat atau didahulukan, kecuali satu atau
dua hari sebelum sholat. Hal ini berdasarkan perbuatan Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, maka jika terlambat dikeluarkan jadilah ia sedekah
biasa, sebagaimana hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, "…
Barangsiapa mengeluarkan zakaatul fithri sebelum sholat, maka zakat
tersebut diterima, dan barangsiapa mengeluarkannya setelah sholat, maka
ia sekedar shodaqoh dari shodaqoh-shodaqoh yang ada."
H. Hikmahnya
Zakat
diwajibkan oleh Dzat Yang Maha Bijaksana sebagai pensuci / pembersih
bagi orang yang berpuasa dari segala perbuatan yang sia-sia dan keji,
serta memberi makan fakir miskin, sehingga (zakat itu) akan mencukupi
mereka pada hari yang menyulitkan sesuai dengan hadits Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhuma yang telah lalu.
Diringkas dari terjemah Shifat Shoum Nabi
karya Syaikh Salim Bin ‘Id al Hilaly dan Syaikh ‘Ali Bin Hasan Bin ‘Ali Bin Abdul Hamid
bab Zakaatul Fithri
bab Zakaatul Fithri