Tuesday, May 5, 2015

Tafsir Surat Al Ikhlas

Tafsir Surat Al Ikhlas
 






AL IKHLASH
(Surat ke-12)
Memurnikan Keesaan Allah


Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

1. Katakanlah: " Dia lah Allah, Yang Maha Esa ".
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya
segala sesuatu.
3. Dia tidak beranak dan tiada pula diperanakkan,
4. dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia.

Surat pendek ini termasuk golongan Makiyah berintikan tauhid me-
murnikan keesaan Allah. Surat yang demikian penting, bahkan dalam
suatu hadits shahih dinyatakan kandungannya menyamai 1/3 Al Qur'an,
dan bersama dengan surat Al Kaafirun selalu dibaca Rasulullah dalam
shalat fajar. Mengapa surat pendek ini demikian berkedudukan tinggi?
Jawabnya sederhana saja, bahwa " Keesaan Tuhan " yang dikandung
surat 4 ayat ini adalah misi syiar Rasulullah, inti aqidah Islam,
yang terus diulang dengan tekanan-tekanan berbeda dalam Al Qur'an
mulia.

Katakanlah: " Dia lah Allah Yang Maha Esa, yang bergantung padanya
segala sesuatu, yang tak beranak dan tak diperanakkan, yang tak ada
sesuatu setara denganNya ". Setelah ayat pertama, ayat-ayat yang
menyusul hanyalah penjelas Keesaan Allah, penjelas logis yang menguat-
kan hakekat esa.

Surat ini mengandung nilai paling fundamental dari prinsif-prinsif
dasar mengenai hakekat Islam yang agung. Nilai yang mengikat hati,
membimbing, mengarahkan, dan menjadikan hati tegar terhadap berbagai
tantangan hidup, tantangan dalam menghadapi lawan, tantangan dalam
menghadapi kesusahan panjang yang meletihkan jiwa, dan tantangan
dalam menghadapi kemenangan besar. Nilai keesaan Allah, Entitas
Tunggal, Hakekat Tunggal, "Wujud Yang Esa".

Dia adalah "Wujud Yang Esa", yang ada sebelum waktu t=0 dan akan
tetap ada melampaui waktu takberhingga. KeberadaanNya tanpa proses
mengada, tidak diadakan dan menjadi, sehingga Dia bukan sesuatu
yang baru muncul, karenanya mustahil menjadi tiada. Dia Esa, kekal,
bukan fungsi waktu. Inilah Wujud Hakiki, Wujud Yang Esa, maka tidak
ada hakekat selain hakekatNya dan tidak ada wujud selain wujudNya.
Maka setiap yang ada (maujud), selain dari padaNya, bergantung
penuh kepadaNya, bersandar pada Wujud Hakiki itu. Selain dari Yang
Esa adalah maujud, makhluk, hamba, budak yang tak dapat eksis
tanpa bantuan, pertolongan, dan kasih-sayangNya.

Keesaan Allah menegaskan posisi Khalik-makhluk; Khalik yang tak
bergantung dengan apapun, yang tidak memerlukan amal shaleh manusia,
yang tidak memerlukan shalat dan ketaatan manusia dlsb; dan makhluk
yang memerlukan Khalik, yang butuh penjagaan saat kegelapan datang,
yang butuh perlindungan dari "was-was" yang datang menyelinap dan
dapat menikam hati, yang butuh akan shalat dan taat, agar selalu
berada pada jalan yang lurus, jalan para shiddiiqiin, jalan yang
terjaga. Keesaan Allah pun menegaskan kewajiban makhluk pada Khalik,
keterikatan antara seorang hamba dengan Tuan, dengan Pencipta. Hati
makhluk mesti terikat dan hanya boleh mengikatkan diri pada Allah,
bergantung hanya pada Allah dan merdeka terhadap yang lain, selain
Allah. Loyal dan memberi loyalitas (wa'la) penuh hanya pada Allah,
dan memutuskan/membebaskan (bara') dari keterikatan terhadap hawa
nafsu, ketakutan akan lapar, kekurangan pakaian, penguasa lalim,
dan keterikatan lain selain pada Allah ( Baca posting
Abu Infijaar "makna syahadah", jazakallah akhi abu infijaar )

Ketergantungan penuh pada Allah, Tuhan manusia (Rabbinnaas),
penguasa manusia (Malikinnaas), Sesembahan manusia (Ilahinnaas),
serta takut (roja'), cinta (mahabbah), dan menuju (ghoyyah) hanya
pada Allah Rabbul alamin adalah konsekuensi logis dan menegaskan
hakekat fitri eksistensi manusia. Sedang ajaran Al Islam pada
dasarnya tak lain untuk mengembalikan manusia pada kondisi fitrahnya
(hanif) ini.

Manakala kondisi fitri terjaga, maka segala jenis penghambaan;
penghambaan manusia atas materi, penghambaan manusia atas manusia,
dan penghambaan jenis lainnya tak akan menjadi pemandangan wajar
di hari ini. Maka selamatlah hati dari setiap kabut tebal yang
menutupi, dari segala gejolak, dan dari segala kecenderungan
kepada selain Dia Yang Esa dalam Dzat dan Af'alNya. Hati
menjadi selamat dari penggantungan diri pada sesuatu yang maujud
(penguasa, materi dlsb). Dikala hati telah melepaskan diri dari
ketergantungan pada selain Hakekat Yang Esa, dan tidak merasa ber-
gantung kepa Wujud Hakiki itu, maka di saat itu pulalah hati ter-
bebas dari segala ikatan duniawi, dan merdeka dari segala tekanan
material (dalam segala bentuknya). Bebas dari kecenderungan dan
terlepas dari ketakutan. Maka tertancaplah ketenangan dalam hati,
karena hati telah makrifat telah mengenal bahwa segala kecenderungan
(mahabbah) yang dituntut terdapat di sisi Allah. Kepada Allah lah
ia mencari apa yang ia inginkan. Hati yang sudah makrifatullah,
tak memerlukan pemuas nafsu, karena segala nafsu telah tertundukkan
melalui saluran yang hak--keterikatan, kedekatan hubungan dengan
Khalik. tak ada harap selain ridla Allah, tak ada damba selain
jannah. Dan semuanya tercermin dalam da'wah dan sosok pribadi muslim
yang utuh--jundullah. Agama ini menuntut manusia jalan dalam hakekat
ini, berdiri atas dasar tersebut dalam menjalani hidup sebagai hamba,
sebagai budak, dalam menjalankan tugas sebagai khalifah Allah.
Inilah keyakinan akan Allah Yang Esa, Tuhan manusia, yang bergantung
kepadaNya segala sesuatu, yang tak beranak dan tak diperanakkan,
dan yang tak ada seorang pun setara denganNya--tauhiddul aqidah.

Wallahua'lam bishowab
abu zahra