Wednesday, February 11, 2015

Shalat tidak Menghadap Kiblat

,
Shalat tidak Menghadap Kiblat

Pertanyaan
Keadaan apa sajakah yang membolehkan kita untuk berpaling arah dari kiblat ketika shalat?
Jawaban
Nampaknya yang diinginkan oleh penanya adalah mengetahui pada kondisi apa saja kewajiban menghadap kiblat ketika shalat menjadi gugur dan meski dalam keadaan demikian shalatnya tetap terhitung sah.
Seperti yang dimaklumi bersama diantara syarat sah shalat adalah menghadap kiblat sehingga shalat tidaklah sah jika hal tersebut ditinggalkan, karena Allah telah memerintahkannya dan berkali-kali menyebutnya dalam al-Quran al-Karim. Allah ta’ala berfirman,
Palingkanlah mukamu ke arah Masjid al-Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.
Dahulu ketika nabi pertama kali datang ke Madinah, beliau melaksanakan shalat dengan menghadap ke arah Bait al-Maqdis. Sehingga beliau membelakangi Ka’bah dan menghadap ke Syam. Akan tetapi, setelah itu beliau senantiasa menunggu agar Allah mensyari’atkan hal yang sebaliknya. Oleh karenanya, beliau kerap menengadahkan wajah ke langit sembari menunggu kapan kiranya Jibril turun membawa wahyu yang mengandung perintah menghadap ke arah kiblat sebagaimana yang disinyalir firman Allah ta’ala,
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram.
Allah pun memerintahkan untuk shalat menghadap ke arah Masjid al-Haram. Namun, terdapat beberapa kondisi yang terkecualikan dari hal ini yang dijelaskan ke dalam beberapa poin di bawah ini :
Kondisi pertama
Apabila seorang tidak mampu menghadap kiblat seperti seorang yang sakit dan wajahnya menghadap ke arah selain kiblat. Dirinya tidak mampu menghadapkan wajahnya ke arah kiblat ketika hendak shalat. Maka, dalam kondisi demikian, gugurlah kewajiban menghadap kiblat berdasarkan firman Allah ta’ala,
Bertakwalah kepada Allah sesuai kemampuan [At-Taghabun: 16].
Dan juga firman-Nya,
Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya [Al-Baqarah: 286].
Dan juga sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
Apabila saya memerintahkan kalian, maka laksanakanlah sesuai kemampuan kalian [HR. Bukhari 7288 dan Muslim 1337].
Kondisi kedua
Apabila seorang berada dalam ketakutan yang teramat sangat seperti seorang yang lari dari ancaman musuh, binatang buas, atau dari ombak yang akan menenggelamkannya. Dalam kondisi demikian, dirinya shalat kemanapun dia menghadapkan wajahnya. Dalilnya adalah firman Allah ta’ala,
Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui [Al Baqarah: 239].
Firman-Nya, “Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya)” merupakan lafadz yang umum mencakup segala jenis takut. Adapun firman-Nya, “Kemudian apabila kamu telah aman, maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” menunjukkan dzikir apapun yang ditinggalkan seseorang karena takut tidaklah menimbulkan dosa dan termasuk yang dibolehkan dalam hal ini adalah (meninggalkan) kewajiban menghadap kiblat.
Kondisi ini pun ditunjukkan dalam dua ayat yang mulia dan hadits yang disebutkan sebelumnya yang menyatakan kewajiban itu bergantung kemampuan seseorang dalam melaksanakannya.

Kondisi ketiga
Kewajiban menghadap kiblat ketika shalat juga gugur ketika melaksanakan shalat sunnah di kala safar, baik shalat tersebut dilaksanakan di pesawat, mobil, atau unta. Dalam kondisi ini, seorang diperbolehkan melaksanakan shalat sunnah, baik itu shalat witir, tahajjud, dluha dan shalat sunnah yang lain dengan menghadapkan wajah ke arah manapun.
Patut diketahui pula bahwa seorang musafir dianjurkan mengerjakan shalat sunnah layaknya seorang yang mukim kecuali shalat sunnah rawatib seperti shalat Zhuhur, Maghrib dan Isya’ karena yang sesuai dengan tuntunan adalah tidak mengerjakan ketiganya ketika bersafar.
Jika seorang musafir hendak mengerjakan shalat sunnah, maka dia boleh mengerjakannya ke arah manapun wajahnya menghadap. Hal inilah telah ditetapkan dalam hadits rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dalam Shahihain.
Inilah tiga kondisi dimana kewajiban menghadap kea rah kiblat ketika shalat menjadi gugur.
Adapun seorang yang tidak mengetahui arah kiblat, dirinya tetap berkewajiban shalat menghadap kiblat. Akan tetapi, ketika dia telah berusaha maksimal mencari arah kiblat dan ternyata setelah itu dia mengetahui bahwa dirinya melaksanakan shalat dengan tidak menghadap kiblat, dalam keadaan ini dia tidak berkewajiban mengulangi shalat. Kami juga tidak berpendapat bahwa kewajiban menghadap kilat gugur dari dirinya. Tapi, dia wajib shalat menghadap kiblat dan berusaha maksimal untuk mencari arah kiblat. Dan jika ternyata setelah berusaha maksimal dirinya shalat tidak menghadap kiblat, dia tidak perlu mengulangi shalat.
Dalilnya adalah tindakan para sahabat yang tidak mengetahui perubahan arah kiblat dari Masjid al-Aqsha ke Masjid al-Haram. Pada saat itu mereka melaksanakan shalat Subuh di masjid Quba dan datanglah seorang pria mengatakan, “Sesungguhnya telah turun wahyu kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semalam dan beliau diperintahkan untuk shalat menghada Ka’bah. Maka hendaklah kalian shalat menghadap ke arahnya.” Para sahabat yang semula shalat menghadap Syam kemudian membalikkan badan kea rah Ka’bah [HR. Bukhari (403) dan Muslim (526)].
Sebelumnya Ka’bah berada di belakang mereka dan akhirnya mereka pun menjadikannya di depan mereka. Pada saat itu mereka membalikkan badan kea rah Ka’bah dan tetap meneruskan shalat mereka. Hal ini terjadi di masa nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak mengingkari tindakan mereka sehingga hal ini sejalan dengan syari’at, yaitu jika seorang yang shalat keliru dalam menentukan arah kiblat karena ketidaktahuannya, maka dia tidak wajib mengulanginya. Namun, jika dia mengetahui kekeliruannya tersebut di tengah-tengah pelaksanaan shalat, maka dia harus segera menghadap kiblat.
Menghadap kiblat merupakan salah satu syarat sah shalat. Shalat tidaklah sah jika hal itu tidak dilaksanakan kecuali dalam tiga kondisi yang disebutkan di atas, dan bisa juga dikatakan tercakup dalam pengecualian tersebut adalah ketika seorang yang shalat dan keliru menghadap ke selain kiblat setelah dia berusaha maksimal mencari arah kiblat. [Majmu’ Fatawa Ibn ‘Utsaimin 12/433-435].
Wallahu a’lam.
Sumber : http://islamqa.com/ar/ref/65853