Soal:
Kami
telah mendengar sebagian orang telah membolehkan demonstrasi
dan keluar berbondong-bondong ke jalan-jalan sambil berteriak-teriak.
Mereka berdalil dengan kisah Umar Radhiyallahu 'anhu
ketika masuk Islam, beliau keluar dalam satu barisan dan Hamzah
Radhiyallahu 'anhu pada barisan yang lain, dan kaum muslimin
pun turut keluar ke jalan-jalan di Kota Mekkah mengikuti mereka
berdua. Apakah kisah ini shahih?
Jawab:
Kisah
tersebut tidak shahih. Abu Nu'aim telah meriwayatkan kisah
itu dalam kitabnya "Dalail" dan "Al-Hilyah".
Di dalam sanadnya ada Ishaq bin Abdillah bin Abi Farwah. Menurut
ulama hadits ia adalah seorang perawi yang matruk (1).
Kami telah memeriksa sanad-sanad kisah Umar masuk Islam tersebut
di buku lain, karena tidak mungkin untuk dicantumkan secara
lengkap.
Menurut
hemat kami, perlu ditinjau kembali keabsahan sanad kisah Umar
masuk Islam tersebut, dan kisah pemukulan terhadap saudara wanitanya
hingga berdarah, lalu kisah beliau mendatangi rumah Arqam dan
seterusnya, sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Al-Hafizh
Ibnul Abdil Barr dalam kitabnya "Al-Isti'ab"
menganggap kisah tersebut adalah kisah yang aneh. (Lihat dalam
kitab beliau pada bagian biografi Fathimah binti Khaththab).
Adapun tambahan dalam kisah tersebut, yaitu tentang keluarnya
Umar, Hamzah, dan kaum muslimin ke jalan-jalan, yang dijadikan
dalil berdemonstrasi ala Barat yang sama sekali bukan merupakan
ajaran Islam, telah diriwayatkan dalam hadits Ibnu Abbas dengan
sanad yang talif (rusak). Seharusnya kita tidak seperti
kata pepatah: "dirikanlah bangunan kemudian runtuhkan".
Hendaknya mengetahui dahulu shahih tidaknya suatu dalil sebelum
mempergunakannya. Jangan sebaliknya, berpendapat dahulu, baru
kemudian berdalil.
Tidak
diragukan lagi bahwa demonstrasi merupakan bentuk penentangan
terhadap pemerintah. Dalam timbangan syariat Islam, demonstrasi
dianggap sebagai pembelotan yang dapat menimbulkan kerusakan.
Demikian pula provokasi serta pengerahan masa yang dapat menyeret
kaum muslimin ke dalam fitnah (malapetaka) yang berakibat buruk.
Allah telah menuntunkan kepada kita suatu metoda yang lebih
baik, yaitu nasehat, sebagaimana dalam hadits Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad Dari:
"Agama
itu adalah nasehat." Kami bertanya, "Untuk siapa,
ya Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ? Beliau bersabda,
"Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin
dan bagi kaum muslimin seluruhnya."
Bagi
yang mampu menemui penguasa secara langsung atau melalui surat,
hendaklah dia melakukannya. Dan hendaklah dia bersungguh-sungguh
menasehati mereka karena demikianlah metoda yang Allah wajibkan
kepada alim ulama, yaitu memberikan nasehat yang bisa mengantarkan
kepada kebenaran, kebajikan, dan kebijaksanaan yang penuh hikmah
serta pemberantasan bentuk-bentuk kemungkaran atau menekannya
sekecil mungkin. namun apabila mendatangkan kemungkaran yang
lebih besar, hendaklah metoda ini ditinggalkan. Hendaklah kita
bersabar dan berdoa kepada Allah agar senantiasa melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita. Inilah manhaj (metoda) Ahlus
Sunnah wal Jama'ah.
Kitab-kitab sirah dan aqidah para salaf
banyak memuat penjelasan gamblang tentang manhaj Ahlus
Sunnah wal Jama'ah ini, juga penjelasan tentang bantahan kaum
salaf terhadap orang-orang yang melanggar pedoman manhaj ini.
Wajib bagi kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan agama
mereka. Hendaknya mereka menjauhi cara-cara Yahudi dan Nasrani
karena tidak ada kebaikan sedikitpun pada mereka. Kami meohon
kepada Allah Azza wa Jalla, agar meluruskan para pemimpin kaum
muslimin dan menganugerahkan hati yang bersih kepada mereka
dan memberikan kemampuan kepada kita untuk menasehati mereka
dan bersabar atas kejelekan mereka, serta memberikan petunjuk
yang lurus bagi segala urusan kita dan menganugerahkan kepada
kita kunci-kunci pembuka pintu kebaikan dan penutup segala kejelekan.
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Shalawat dan salam semoga tercurah bagi Nabi Muhammad Shallallahu
'Alaihi wa Sallam dan keluarganya serta sahabat-sahabatnya.
Catatan
kaki:
(1) Matruk
adalah deretan kelima dalam tingkatan jarh (hal cacat pada perawi).
Seorang perawi dikataka matruk apabila: 1) kedapatan berbohong
dalam pembicaraannya sehari-hari, 2) kedapatan meriwayatkan
hadits yang menyelisihi kaidah-kaidah umum agama Islam. Tidak
ada yang meriwayatkan hadits itu melainkan dari jalurnya. (Lihat
"At-Taqrirat As Saniyah Syarh Al Baiquniyah", karangan
Hasan Muhammad Al-Masyath, hal.115)
Diketik
ulang dari "Bunga Rampai Fatwa-Fatwa Syar'iyah Jilid I,
Abul Hasan Musthafa bin Ismail As Sulaimani Al Mishri. Penerjemah:Abu
Ihsan. Penerbit: Pustaka At-Tibyan, cet. I, Agustus 2000. Hal.33-35
No comments:
Post a Comment