Wednesday, November 7, 2018

Rasulullah Telah Menutup Pintu Kesyirikan

Rasulullah Telah Menutup Pintu Kesyirikan

Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia sesungguhnya merupakan nikmat dan rohmat Allah kepada manusia. Maka tidak sepantasnya manusia menolak rohmat Allah tersebut. Bahkan seharusnya mereka menerimanya dengan senang hati. Allah Ta’ala mengingatkan anugerahNya yang agung ini dengan menyebutkan sifat-sifat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan firmanNya:

لَقَدْ جَآءَكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَاعَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ {128
Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, penderitaanmu terasa berat olehnya, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min. (QS. 9:128)

Syaikh Sholih Al-Fauzan berkata: “Allah Ta’ala memberitakan kepada hamba-hambaNya –sebagai bentuk pemberian nikmat- bahwa Dia telah mengutus di kalangan mereka seorang rasul yang agung, dari jenis mereka dan dengan bahasa mereka. Sangat menyusahkan beliau apa yang telah menyusahkan mereka. Dan mengganggu beliau apa yang mengganggu mereka. Beliau sangat menginginkan petunjuk dan terjadinya kebaikan bagi mereka. Beliau sangat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang mu’min secara khusus”.

Beliau juga mengatakan: “Sesungguhnya sifat-sifat yang telah disebutkan pada ayat di atas dalam diri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharuskan bahwa beliau telah memperingatkan umatnya dan telah melarang dari syirik yang merupakan dosa paling besar, karena ini merupakan maksud terbesar di dalam risalah beliau”. (Al-Mulakhos fii Syarh Kitab At-Tauhid, hlm: 149)

DI ANTARA SARANA KEMUSYRIKAN
Barangsiapa mengkaji perjalanan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka dia akan mendapati bahwa beliau memang benar-benar telah menutup berbagai sarana dan pintu yang akan menghantarkan menuju kemusyrikan. Inilah di antara contohnya:
1- Larangan menjadikan kuburan sebagai tempat beribadah.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits shohih di bawah ini:

عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا
Dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Jadikanlah sebagian sholat-sholat kamu di dalam rumah-rumah kamu, dan janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kubur!” (HR. Bukhori, no: 432; Muslim, no: 777)
Di dalam hadits lainnya disebutkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ مَقَابِرَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْفِرُ مِنْ الْبَيْتِ الَّذِي تُقْرَأُ فِيهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ
Dari Abu Huroiroh, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kubur, sesungguhnya syaithon lari dari rumah yang di dalamnya di bacakan surat Al-Baqoroh”. (HR. Muslim, no: 780)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang sabda shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kubur”, yaitu: “Janganlah kamu mengosongkan rumah-rumah kamu dari sholat, doa, dan baca Al-Qur’an di dalamnya, sehingga akan menjadi seperti kubur. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan melakukan ibadah di rumah-rumah, dan melarang melakukannya di dekat kubur-kubur. Ini kebalikan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dari kalangan orang-orang Nashoro dan orang-orang yang menyerupai mereka dari umat ini”. (Fathul Majid, hlm: 230, penerbit: Dar Ibni Hazm)

2- Larangan menjadikan kubur beliau sebagai ‘ied (tempat yang didatangi berulang-ulang).
Ini disebutkan di dalam banyak hadits-hadits yang shohih, inilah di antaranya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَجْعَلُوا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَلَا تَجْعَلُوا قَبْرِي عِيدًا وَصَلُّوا عَلَيَّ فَإِنَّ صَلَاتَكُمْ تَبْلُغُنِي حَيْثُ كُنْتُمْ
 
Dari Abu Huroiroh, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kubur. Dan janganlah kamu menjadikan kuburku sebagai ‘ied. Dan bersholawatlah kepadaku, karena sesungguhnya sholawat kamu akan sampai kepadaku di mana saja kamu berada”. (HR. Abu Dawud, no: 2042; Ahmad 2/367; dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Di dalam hadits lain disebutkan: Dari Ali bin Husain bin Ali, bahwa dahulu ada seorang laki-laki yang datang setiap pagi lalu berziarah ke kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan membaca shalawat Nabi, dia melakukan hal itu sehingga tersiar kabar sampai kepada Ali bin Al-Husain. Maka Ali bin Al-Husain bertanya kepadanya; “Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Dia menjawab: “Aku suka mengucapkan salam kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam “. Ali bin Al-Husain berkata kepadanya: “Maukah engkau aku beritakan sebuah hadits dari bapakku?” Dia menjawab: “Ya”. Maka Ali bin Al-Husain berkata kepadanya: bapakku telah menceritakan kepadaku dari kakekku, bahwa dia berkata: Rasulullah n bersabda:

لَا تَجْعَلُوْا قَبْرِي عِيدًا وَ لَا تَجْعَلُوْا بُيُوتَكُمْ قُبُورًا وَصَلُّوا عَلَيَّ وَسَلِّمُوْا حَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَسَيَبْلُغُنِي سَلاَمُكُمْ وَصَلَاتَكُمْ
 
“Janganlah kamu menjadikan kuburku sebagai ‘ied (tempat yang di datangi berulang-ulang)! Dan janganlah kamu menjadikan rumah-rumah kamu sebagai kubur. Dan bersholawatlah kepadaku serta ucapkanlah salam (kepadaku) di mana saja kamu berada, karena salam dan sholawat kamu akan sampai kepadaku”. (HR. Isma’il Al-Qodhi, di dalam Fadhlush Sholah ‘alan Nabi, no: 20; hlm: 34, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Imam Ibnul Qoyyim berkata: “’Ied adalah apa yang biasa/berulang kedatangannya dan biasa dituju, yang berupa waktu atau tempat. Diambil dari kata mu’aawadah (mengulangi) dan i’tiyad (membiasakan). Jika i’ed digunakan untuk nama tempat, maka artinya tempat yang dituju untuk berkumpul dan didatangi berulang-ulang untuk ibadah atau lainnya. Seperti masjidil haram, Mina, Muzdalifah, Arofah, dan Masya’ir (tempat-tempat ibadah lainnya) yang Allah jadikan sebagai ‘ied dan tempat pertemuan untuk para hunafa’ (orang-orang yang bertauhid). Sebagaimana Allah juga menjadikan hari-hari ‘ied padanya sebagai ‘ied (hari raya). Dahulu orang-orang musyrik memiliki ‘ied-‘ied yang berupa waktu dan tempat, ketika Allah telah mendatangkan agama Islam, Allah membatalkan itu semua, dan Dia menggantikannya untuk para hunafa’ dengan ‘iedul fithri, ‘iedun nahri (‘iedul adh-ha), dan hari-hari Mina. Sebagaimana Dia juga menggantikan dari tempat-tempat ‘ied orang-orang musyrik dengan ka’bah, Mina, Muzdalifah, Arofah, dan Masya’ir”. (Fathul Majid, hlm: 230, penerbit: Dar Ibni Hazm)
3- Larangan bersafar menuju tempat yang dianggap berkah kecuali tiga masjid.
Hal ini disebutkan di dalam banyak hadits-hadits, inilah di antaranya:

عَنْ أَبِيْ سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَا تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ مَسْجِدِ الْحَرَامِ وَمَسْجِدِ الْأَقْصَى وَمَسْجِدِي
Dari Abu Sa’id Al-Khudri, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda: “Tidak boleh bersafar (yakni menuju tempat yang dianggap berkah) kecuali menuju tiga masjid: masjidil harom, masjidil aqsho, dan msjidku”. (HR. Bukhori, no: 1197)
Larangan ini umum, mengenai masjid atau tempat lainnya yang dianggap membawa berkah. Syaikh Abdurrohman bin Hasan Alu Syaikh berkata: “Masuk di dalam larangan ini: bersafar untuk menziarahi kubur-kubur dan petilasan-petilasan”. (Fathul Majid, hlm: 234, penerbit: Dar Ibni Hazm)
Begitu pula yang difahami oleh para sahabat sebagaimana riwayat ini:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ , قَالَ: فَلَقِيتُ أَبَا بَصْرَةَ الْغِفَارِيَّ قَالَ مِنْ أَيْنَ أَقْبَلْتَ فَقُلْتُ مِنْ الطُّورِ فَقَالَ أَمَا لَوْ أَدْرَكْتُكَ قَبْلَ أَنْ تَخْرُجَ إِلَيْهِ مَا خَرَجْتَ إِلَيْهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا تُعْمَلُ الْمَطِيُّ إِلَّا إِلَى ثَلَاثَةِ مَسَاجِدَ إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَإِلَى مَسْجِدِي وَإِلَى مَسْجِدِ إِيلِيَاءَ أَوْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ يَشُكُّ
Dari Abu Huroiroh, dia berkata: “Lalu aku bertemu dengan Abu Bashroh Al-Ghifari. Dia berkata: “Dari mana anda datang?” Aku menjawab: “Dari (bukit) Ath-Thuur”. Maka dia mengatakan: “Seandainya aku bertemu denganmu sebelum engkau pergi ke Ath-Thuur, niscaya engkau tidak akan pergi ke padanya. Aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak boleh kendaraan digunakan (yakni bersafar menuju tempat yang dianggap berkah) kecuali menuju tiga masjid: masjidil harom, masjidku ini, dan masjid Iliya atau baitul maqdis”. (HR. Ahmad 6/7)

Setelah kita mengetahui semua ini, maka sepantasnya kaum muslimin meninggalkan semua jenis kemusyrikan dan sarana-sarana yang menghantarkan menuju kemusyrikan. WAllahul Musta’an (Hanya Allah Tempat memohon pertolongan).
Penyusun Al-Ustadz Al-Fadhil Abu Isma’il Muslim Al-Atsari