Monday, February 9, 2015

Mahrom bagi Wanita (3/5)

Mahrom bagi Wanita (3/5)


Pada bagian ketiga tentang mahrom, akan dibahas jenis mahrom selanjutnya, yaitu mahrom karena mushoharoh. Apa yang dimaksud dengan mushoharoh, dari mana dalil-dalil penyebab mahrom-nya serta siapa sajakah mereka itu? Berikut jawabannya secara singkat mengenai hal itu semua.


2.3 Mahrom Karena Mushoharoh


Pembahasan ini kita bagi menjadi beberapa fasal, yaitu:


2.3.1 a. Definisi Mushoharoh




Mushoharoh berasal dari kalimat: [Ash-Shihr]


Berkata Imam Ibnu Atsir : "Shihr adalah mahrom
karena pernikahan". 




Berkata Syaikh Abdul Karim Zaidan:




"Mahrom wanita yang disebabkan mushoharoh adalah orang-orang
yang, haram menikah dengan wanita tersebut selama-lamanya seperti
ibu tiri, menantu perempuan, mertua perempuan". 



Maka mahrom yang disebabkan mushoharoh bagi ibu tiri adalah
anak suaminya dari istrinya yang lain (anak tirinya), dan mahrom mushoharoh
bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan
bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu laki-laki)."










Firman Alloh:




…Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada
suami mereka,atau ayah mereka,atau ayah suami mereka, atau putra-putra
mereka, atau putra-putra suami mereka… (QS. An Nur:31).



Firman Alloh Ta’ala:




Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu
(ibu tiri)… (QS. An Nisa’:22)



Firman Alloh Ta’ala:




Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak
istrimu (anak: tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah
kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, dan istri-istri
anak kandungmu (menantu)… (QS. An Nisa’: 23).










Berdasarkan ayat-ayat di atas maka dapat kita ketahui bahwa orang-orang
yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab mushoharoh
ada lima yaitu:.





  1. Suami




    Berkata Imam Ibnu Katsir, ketika menasirkan firman Alloh ta’ala surat
    An Nnr: 31:




    "Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan,
    perintah menundukkan pandangan dari orang lain -pent) memang diperuntukkan
    baginya: Maka seorang istri berbuat sesuatu untuk suaminya yang tidak
    dilakukannya dihadapan orang lain." 



    Berkata Imam Qurthubi dan Syaukani:




    "Makna [bu'uulatihinna] adalah suami dan tuan bagi seorang
    budak wanita sebagaimana firman Alloh:


    Dan orang-orang yang menjaga kemaluan mereka kecuali kepada istri
    dan budak mereka, maka mereka itu tidak tercela.. (QS. Al

    Mu’minun: 5-6). 



  2. Ayah mertua (Ayah suami)




    Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah dan ibu suami juga bapak-bapak
    mereka keatas. 



  3. Anak tiri (Anak suami dari istri lain)




    Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki
    maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka. 



    Maka haram bagi seorang wanita untuk menikah dengan anak tirinya,
    begitu juga sebaliknya. Berkata Imam Ibnu Katsir saat menafsirkan
    firman Alloh,




    Janganlah kalian menikah dengan wanita-wanita yang (pernah) dinikahi
    oleh bapak-bapak kalian (An Nisa’: 22):



    "Alloh Ta’ala mengharamkan menikah dengan istri-istri bapak
    (ibu tiri) demi menghormati mereka, dengan sekedar terjadi akad nikah
    baik terjadi jima’ ataupun tidak, dan masalah ini telah disepakati
    oleh para ulama’." 



  4. Ayah tiri (Suami ibu tapi bukan bapak kandungnya).




    Maka haram bagi seorang wanita untuk dinikahi oleh ayah tirinya, kalau
    sudah berjima’ dengan ibunya. Adapun kalau belum maka hal itu dibolehkan.




    Berkata Abdulloh Ibnu Abbas:




    "Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu,
    maka dia haram bagimu." 25


  5. Menantu laki-laki (Suami putri kandung) 


    Dan kemahroman ini terjadi sekedar putrinya di akadkan kepada suaminya.











Catatan Kaki



16

An Nihayah 3/63.

17

Lihat Syarh Muntahal Irodat 3/7.

18

Lihat Al Mufashshol 3/162.

19

Tafsir Ibnu Katsir 3/267.

20

Lihat Tafsir Al Qurthubi 12/153 dan Tafsir Fathul

Qodir 4/23.

21

Lihat Tafsir Sa’di hal: 515 dan Tafsir Fathul Qodir
4/24 dan Tafsir Qurthubi 12/154.


22

Lihat Tafsir Qurthubi 12/154 dan Fathul Qodir 4/24.

23

Tafsir Ibnu Katsir 1/413 dengan sedikit perubahan, lihat
juga Tafsir Qurthubi 5/75.


24

Lihat Tafsir Qurthubi 5/74.

25

Tafsir Thobari 3/318.

26

Lihat Al Mufashshol 3 /162.

27

Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/417.



Dikutip dari majalah Al-Furqon 03/II hal 31 – 32