Ia lahir di desa Hud tahun 1940. Belajar sekolah dasar dalam ilmu syari'ah Islam pada Syaikh Ahmad Faqihi, Mufti Ahlus Sunnah. Setelah ia menamatkan ilmu syari'ah pada Madrasah Sulthan Ulama di kota Lanja, ia pindah ke Madinah Munawarah untuk meneruskan ke Fakultas Syari'ah Universitas Islam Madinah dan tamat pada tahun 1970. Secara luas ia dipandang sebagai murid kesayangan Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Mufti Kerajaan Arab Saudi Arabia.
Seusai menamatkan kuliahnya ia kembali ke Bandar Abas di Iran. Ia bekerja sebagai guru bahasa Arab, khatib dan imam jum'ah di kota itu.
Sejak tahun 1981 pemerintah Iran mulai menekan dirinya. Ia ditangkap setelah melakukan wawancara dengan Majalah Al-Mujtama' (5/10/1982) dan dipenjarakan selama 4 bulan. Lalu ia terus menerus diawasi pihak keamanan dian kemudian ditangkap lagi. Penyebabnya adalah karena Syaikh Dhiya'i mengritik keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa fatwa-fatwa Khomeini diwajibkan bagi seluruh kaum Muslimin. Beliau menolak keputusan pemerintah agar semua kaum Muslimin memberikan loyalitasnya kepada Ali Khomeini sebagai Marja' Taqlid bagi seluruh kaum Muslimin. Syaikh Dhiya'i menolak seruan itu dengan alasan menurut keyakinan Ahlus Sunnah beramal tidak boleh atas dasar taqlid.
Syaikh Dhiya'i sebelum akhir hayatnya berperan aktif dalam memelihara ketenangan di kawasan Ahlus Sunnah Bandan Abas dan Laristan setalah kaum Muslimin melakukan protes terhadap pengahancuran Masjid Sunni di Masyhad bulan Februari 1994. Tekanan justru semakin kuat setelah Syaikh Dhiya'i aktif memprakarsai pengumpulah dana untuk membangun kembali Masjid Masyhad dan membuka kembali Masjid Muzhffaryan di Siraz serta melepaskan ikatan yang dipaksakan atas sekolah-sekolah dan tempat-tempat ibadah kaum Sunni diseluruh Iran.
Rekayasa Pemerintah
Pada tanggal 20 Juli 1994 Kepolisian Iran mengumumkan bahwa Syaikh Dhiya'i meninggal karena kecelakaan mobil. Hal itu diumumkan satu pekan setelah ia raib pada waktu ia memenuhi panggilan pihak keamanan untuk menjalani pemeriksaan dan interogasi. Pada awalnya, Syaikh Dhiya'i yang beru beberapa hari pulang dari Teheran untuk menjalani penyelidikan atas dirinya, dipanggil oleh Walikota Laristan. Dalam panggilan itu ida dinyatakan tidak boleh ditemani oleh siapapun. Sesuai dengan isi panggilan dan ketentuan tanggalnya, Syaikh Dhiya'i pun berangkat.
Tetapi sampai tiga hari kemudian, beliau belum juga pulang, juga tidak ada kabar. Setelah dicek ke kantor Walikota, para penguasa kota itu mengatakan bahwa Syaikh telah diberangkatkan ke Teheran untuk menjalani penyelidikan dan pemeriksaan atas dirinya.
Pihak keluarga lalu memutuskan untuk pergi ke Teheran guna mengetahui nasib Syaikh Dhiya'i. Tetapi mereka tidak mendapat kabar apapun tentang keadaan dirinya dari pihak berwajib di Teheran. Dua hari setalah itu pihak keluarga Syaikh dikejutkan dengan berita kematian beliau.
Pemerintah Bandar Lanjah menghubungi keluarga Syaikh Dhiya'i di daerah Bandar Abbas dan memberitahu bahwa Syaikh telah meninggal akibat mobil yang dikendarainya terbalik. Hal itu terjadi ketika ia menuju Teheran. Demikianlah kisa kematian Syaikh Dhiya'i menurut versi pemerintah dan pihak keamanan.
Mendengar berita itu keluarga Syaikh bergegas pergi menuju tempat terjadinya kecelakaan sebagaimana telah diberitakan oleh pihak kepolisian. Ketika mereka sampai ke suatu tempat di kawasan kota Bastak yang dikatakan sebagai tempat terbaliknya mobil yang ditumpangi Syaikh Dhiya'i, pihak keluarga tidak menemukan sesuatu yang menunjukkan adanya kecelakaan di tempat itu. Pihak keluarga semakin gelisah. Kekhawatiran campur dengan ketakutan semakin menghantui pihak keluarga yang ditinggalkan.
Dua hari kemudian, seorang tentara mendatangi rumah Syaikh Dhiya'i dan mengajak keluarga beliau ke tempat terjadinya kecelakaan yang menyebabkan kematiannya. Tentara itu membawa keluarga Syaikh ke jembatan Mahran yang tingginya mencapai 15 meter dan terletak persis dekat Markas kepolisian Mahran.
Petugas itu mengatakan bahwa mobil yang dikendarai Syaikh berada di bawah jembatan itu. Memang di bawah jembatan itu terlihat sebuah mobil yang berhenti normal dan sedikit rusak dibagian bodinya. Tapi tidak ada tanda-tanda darah bekas satu kecelakaan. Pihak keluarga semakin ragi tentang kebenaran cerita pihak keamanan bahwa kematian Syaikh akibat kecelakaan mobil.
Kepada majalah Al Mujtama' pihak keluarga Syaikh Muhammad Dhiya'i menjelaskan, "Kepala Syaikh rusak berat dan mukanya hancur sehingga sukar dikenali. Meliha kerusakan kepala dan muka seperti itu jelas bahwa kematiannya sama sekali buka karena kecelakaan. Bahan kimia asam telah merusakkan wajah dan mayatnya."
Sayyid Murtadha Husaini, juru bicara keluarga Syaikh Dhiya'i dalam pernyataan yang dikutip berbagai kantor berita pada tanggal 28 Juli 1994 menyatakan, "Mayat Syaikh Dhiya'i yang diterima keluarga benar-benar hancur dan sangat mengerikan." Ia menambahkan, "Kedua lengan dan kakinya remuk. Kepalanya hancur akibat kena pukulan benda keras berkali-kali. Semua itu memastikan bukan karena kecelakaan."
Jujurkah pemerintah Syi'ah Iran terhadap slogan-slogan Islamnya???
Sumber: Majalah Ishlah, edisi khusus awal tahun 1995 dari Majalah Al Mujtama' no. 1111
Seusai menamatkan kuliahnya ia kembali ke Bandar Abas di Iran. Ia bekerja sebagai guru bahasa Arab, khatib dan imam jum'ah di kota itu.
Sejak tahun 1981 pemerintah Iran mulai menekan dirinya. Ia ditangkap setelah melakukan wawancara dengan Majalah Al-Mujtama' (5/10/1982) dan dipenjarakan selama 4 bulan. Lalu ia terus menerus diawasi pihak keamanan dian kemudian ditangkap lagi. Penyebabnya adalah karena Syaikh Dhiya'i mengritik keputusan pemerintah yang menyatakan bahwa fatwa-fatwa Khomeini diwajibkan bagi seluruh kaum Muslimin. Beliau menolak keputusan pemerintah agar semua kaum Muslimin memberikan loyalitasnya kepada Ali Khomeini sebagai Marja' Taqlid bagi seluruh kaum Muslimin. Syaikh Dhiya'i menolak seruan itu dengan alasan menurut keyakinan Ahlus Sunnah beramal tidak boleh atas dasar taqlid.
Syaikh Dhiya'i sebelum akhir hayatnya berperan aktif dalam memelihara ketenangan di kawasan Ahlus Sunnah Bandan Abas dan Laristan setalah kaum Muslimin melakukan protes terhadap pengahancuran Masjid Sunni di Masyhad bulan Februari 1994. Tekanan justru semakin kuat setelah Syaikh Dhiya'i aktif memprakarsai pengumpulah dana untuk membangun kembali Masjid Masyhad dan membuka kembali Masjid Muzhffaryan di Siraz serta melepaskan ikatan yang dipaksakan atas sekolah-sekolah dan tempat-tempat ibadah kaum Sunni diseluruh Iran.
Rekayasa Pemerintah
Pada tanggal 20 Juli 1994 Kepolisian Iran mengumumkan bahwa Syaikh Dhiya'i meninggal karena kecelakaan mobil. Hal itu diumumkan satu pekan setelah ia raib pada waktu ia memenuhi panggilan pihak keamanan untuk menjalani pemeriksaan dan interogasi. Pada awalnya, Syaikh Dhiya'i yang beru beberapa hari pulang dari Teheran untuk menjalani penyelidikan atas dirinya, dipanggil oleh Walikota Laristan. Dalam panggilan itu ida dinyatakan tidak boleh ditemani oleh siapapun. Sesuai dengan isi panggilan dan ketentuan tanggalnya, Syaikh Dhiya'i pun berangkat.
Tetapi sampai tiga hari kemudian, beliau belum juga pulang, juga tidak ada kabar. Setelah dicek ke kantor Walikota, para penguasa kota itu mengatakan bahwa Syaikh telah diberangkatkan ke Teheran untuk menjalani penyelidikan dan pemeriksaan atas dirinya.
Pihak keluarga lalu memutuskan untuk pergi ke Teheran guna mengetahui nasib Syaikh Dhiya'i. Tetapi mereka tidak mendapat kabar apapun tentang keadaan dirinya dari pihak berwajib di Teheran. Dua hari setalah itu pihak keluarga Syaikh dikejutkan dengan berita kematian beliau.
Pemerintah Bandar Lanjah menghubungi keluarga Syaikh Dhiya'i di daerah Bandar Abbas dan memberitahu bahwa Syaikh telah meninggal akibat mobil yang dikendarainya terbalik. Hal itu terjadi ketika ia menuju Teheran. Demikianlah kisa kematian Syaikh Dhiya'i menurut versi pemerintah dan pihak keamanan.
Mendengar berita itu keluarga Syaikh bergegas pergi menuju tempat terjadinya kecelakaan sebagaimana telah diberitakan oleh pihak kepolisian. Ketika mereka sampai ke suatu tempat di kawasan kota Bastak yang dikatakan sebagai tempat terbaliknya mobil yang ditumpangi Syaikh Dhiya'i, pihak keluarga tidak menemukan sesuatu yang menunjukkan adanya kecelakaan di tempat itu. Pihak keluarga semakin gelisah. Kekhawatiran campur dengan ketakutan semakin menghantui pihak keluarga yang ditinggalkan.
Dua hari kemudian, seorang tentara mendatangi rumah Syaikh Dhiya'i dan mengajak keluarga beliau ke tempat terjadinya kecelakaan yang menyebabkan kematiannya. Tentara itu membawa keluarga Syaikh ke jembatan Mahran yang tingginya mencapai 15 meter dan terletak persis dekat Markas kepolisian Mahran.
Petugas itu mengatakan bahwa mobil yang dikendarai Syaikh berada di bawah jembatan itu. Memang di bawah jembatan itu terlihat sebuah mobil yang berhenti normal dan sedikit rusak dibagian bodinya. Tapi tidak ada tanda-tanda darah bekas satu kecelakaan. Pihak keluarga semakin ragi tentang kebenaran cerita pihak keamanan bahwa kematian Syaikh akibat kecelakaan mobil.
Kepada majalah Al Mujtama' pihak keluarga Syaikh Muhammad Dhiya'i menjelaskan, "Kepala Syaikh rusak berat dan mukanya hancur sehingga sukar dikenali. Meliha kerusakan kepala dan muka seperti itu jelas bahwa kematiannya sama sekali buka karena kecelakaan. Bahan kimia asam telah merusakkan wajah dan mayatnya."
Sayyid Murtadha Husaini, juru bicara keluarga Syaikh Dhiya'i dalam pernyataan yang dikutip berbagai kantor berita pada tanggal 28 Juli 1994 menyatakan, "Mayat Syaikh Dhiya'i yang diterima keluarga benar-benar hancur dan sangat mengerikan." Ia menambahkan, "Kedua lengan dan kakinya remuk. Kepalanya hancur akibat kena pukulan benda keras berkali-kali. Semua itu memastikan bukan karena kecelakaan."
Jujurkah pemerintah Syi'ah Iran terhadap slogan-slogan Islamnya???
Sumber: Majalah Ishlah, edisi khusus awal tahun 1995 dari Majalah Al Mujtama' no. 1111